BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Busung
pendidikan adalah sebuah indikator terlantarnya pendidikan rakyat oleh
birokrasi. Busung pendidikan terjadi
bukan karena di Indonesia tidak ada pendidikan tetapi karena pendidikan
yang mereka peroleh adalah pendidikan yang tidak layak. Timbulnya fenomena
busung pendidikan merupakan peringatan bahwa pemerintah tidak boleh
terus-menerus mengabaikan kewajibannya dalam pelayanan publik, karena cepat
atau lambat akan berakibat negative terhadap segala segi kehidupan. Kondisi
kependidikan yang negative di kalangan masyarakat yang hampir tidak layak lagi
disebut pendidikan-bukanlah gejala baru. Namun, selama ini fenomena itu tidak
seberapa mengusik bangsa ini, dan tampaknya justru masih diberi toleransi.
Remedinya adalah terus-menerus memperkatakan tentang tentang peningkatan
kualitas. Tetapi kecuali di dalam tampak luarnya, tidak ada tanda yang pasti
bahwa secara essensiil keadaan sudah berubah. Busung kependidikan menjadi
kronis.[1]
Dalam
bangunan sekolah yang tinggal menunggu roboh, dengan perlengkapan yang
seadanya, dan tenaga guru serta berdasarkan kurikulum yang sebisanya. Terlepas
dari kenyataan bahwa mereka masih harus membayar untuk memperoleh hak
pendidikan. Merupakan sedikit gambaran pendidikan di daerah-daerah pelosok di
Indonesia. Di sisi lain, berdiri bangunan megah, kualitas peralatan pendidikan
yang lengkap dan canggih, guru yang professional,dan sekolah yang bertaraf
internasional banyak ditemukan di daerah perkotaan. Tidak sembarangan orang tua
mampu menyekolahkan anak di sekolah yang seperti itu, hanya orang yang mampu
“beruang” yang bisa bersekolah di situ. Satu hal yang menjadi kendalanya adalah
biaya sekolah yang mahal. Sehingga terjadi diskriminasi di lingkup pendidikan
itu sendiri. Sejumlah orangtua siswa bersama aktivis pemerhati masalah
pendidikan mengajukan gugatan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi (MK)
terhadap Pasal 50 ayat 3 UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang mengatur Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Mereka
menganggap RSBI bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, negara perlu memastikan bahwa setiap warga negara
dapat mengakses pendidikan secara mudah dan murah atau bahkan gratis.
Padahal telah
disebutkan dengan jelas di pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen
keempat bahwa[2]
:
(1) Setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan
(2) Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
(4) Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional
Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 juga mempertegas komitmen pemerintah untuk melaksanakan
pendidikan yang bermutu sebagaimana tertulis dalam pasal 5 ayat (1), yang
dirumuskan dalam kalimat berikut: “setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ini berarti bahwa semua anak
Indonesia bukan hanya wajib mengikuti pendidikan yang dibiayai sepenuhnya oleh
pemerintah, melainkan juga berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.[3]
Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2003 ayat (1) c dan (1) d mengatur[4]:
Setiap peserta didik
berhak :
c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d. Mendapatkan
biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikan.
Education must sift in to the
future tense, artinya pendidikan harus berorientasi
pada perubahan masa depan.[5]
Hal ini yang mendasari untuk pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat
Indonesia. Sehingga pendidikan di Indonesia mampu mengikuti perkembangan zaman[6].
Agar tercapai tujuan itu maka dibentuklah Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun
ketidaksesuaian antara pasal demi pasal yang ada di dalam UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat
menunjukkan indikasi tidak tercapainya asas keadilan. Kebijakan politik ekonomi
pendidikan yang diamanatkan undang-undang itu belum seluruhnya bisa dipenuhi
oleh pemerintah.[7]
Seharusnya DPR yang merupakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam pembuatan
Undang Undang, haruslah membuat Undang Undang yang sesuai dengan tujuan
nasional Indonesia yang tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena
itu, penulis tertarik mengambil masalah yang berjudul “Penyimpangan
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan di Indonesia “Analisis Kritis Undang-Undang No
20 Tahun 2003”
B.
Rumusan Masalah
a. Apakah
penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sudah sesuai dengan asas
keadilan?
b. Bagaimanakah
bentuk penyimpangan yang terjadi dengan adanya UU No.20 Tahun 2006?
c. Bagaimana
evaluasi peran serta DPR sebagai lembaga legislative dalam penerapan Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 di kehidupan masyarakat?
C. Tujuan
a. Untuk
mendeskripsikan apakah penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003
sudah sesuai dengan asas keadilan.
b. Untuk
mendeskripsikan bagaimanakah bentuk penyimpangan yang terjadi dengan adanya UU
No.20 Tahun 2006
c. Untuk
mendeskripsikan bagaimana evaluasi peran serta DPR sebagai lembaga legislative
dalam penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 di kehidupan
masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sekilas
tentang Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering
disebut Dewan Perwakilan Rakyat
(disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan
rakyat. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPR terdiri
atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih berdasarkan
hasil Pemilihan Umum. Anggota DPR berjumlah 550 orang. Masa jabatan anggota DPR
adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji. DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Hal
ini sesuai dengan rumusan pasal 20 (baru) berbunyi sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak
mendpat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.[8]
Sebelum adanya perubahan pasal 20
ini, kekuasaan dalam membentuk Undang-Undang adalah hak Presiden. Akan tetapi,
seiring dengan amandemen UUD yang terjadi, hak Presiden hanya mengajukan
rancangan undang-undang (pasal 5). Titik berat kekuasaan legilasi nasional yang
semula berada di tangan Presiden beralih ke DPR.
Pada pasal 20 A, telah dirumuskan
bahwa DPR memiliki fungsi legilasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan.
Diantara ketiga fungsi tersebut, yang paling menarik untuk dibahas adalah
fungsi legislasi yakni tugas sebagai pemrakarasa pembuatan undang-undang
pembuatan undang-undang. Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari
sebelumnya di tangan Presiden dan dialihkan kepada DPR merupakan
langkahkonstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi-fungsi lembaga
negara sesuai bidang tugasnya masing-masing yakni DPR sebagai lembaga pembentuk
Undang-Undang (kekuasaan legislatif) dan presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang
(kekuasaan eksekutif).[9]
Selain itu, disebutkan pula DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat dalam menjalankan fungsinya. Setiap anggota DPR mempunyai
hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat serta hak imunitas.
Jadi, dengan kata lain yang
menentukan suatu undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Walaupun
Presiden yang merumuskan suatu undang-undang, tapi masih akan diseleksi DPR,
kalaupun sudah diterima DPR maka rancangan Undang-Undang tersebut harus
disahkan oleh Presiden. Disini, hak tolak Presiden terhadap suatu rancangan
undang-undang menjadi tidak berfungsi karena suatu rancangan undang-undang yang
telah disetujui akan tetap menjadi undang-undang tampa pengesahan Presiden
(pasal 20 ayat 5 UUD 1945). Balance yang diharapkan antara Presiden dan DPR
dalam hal mengenai pembentukan undang-undang menjadi tidak nampak. Hal ini
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesimpangsiuran hukum serta membawa
dampak negative bagi kehidupan bangsa ini.
B. Kontroversi
Penerapan Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003
Implikasi
adanya ketidakpastian hukum dari tidak andanya balance antara DPR dan Presiden
adalah terbentuknya undang-undang bermasalah. Salah satunya adalah
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Undang-undang ini banyak mendapat
kritikan pedas dari masyarakat. Penerapan Undang-Undang Sisdiknas menimbulkan
kontroversi dari beberapa pihak masyarakat maupun pejabat. adanya diskriminasi
akibat dari pungutan biaya-biaya sekolah yang tinggi termasuk uang gedung
dan biaya pendaftaran untuk siswa yang ingin belajar di sekolah RSBI dan
SBI. Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang
memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki
sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan
tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat
di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang
bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut
gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.” Hal ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa kesempatan mendapatkan pendidikan masih tetap terbatas
(limited capacity)[10]. Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha. Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan
mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu.
Hal ini dilakukan karena pendanaan dari pemerintah yang belum memadai.[11] Akibatnya,
akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan
terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial,
antara yang kaya dan miskin. Selain itu, adanya suatu bentuk liberalism
pendidikan dalam Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang tidak sesuai
dengan UUD 1945.
Dinas
pendidikan yang hanya berperan sebagai implementator, sering berperan sebagai
pelaksana atas dasar instruksi dari penentu kebijakan.[12]
C. Penerapan
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dilihat dari perspektif Teori Keadilan
Setelah
mengetahui berbagai kontroversi dalam penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 dari sisi masyarakat. Selanjutnya, akan dibahas mengenai penerapan Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dikaji dengan teori keadilan. Sebelum membahas hal
tersebut, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dari teori
keadilan itu sendiri. Menurut Adam
Smith yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan
komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan
antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak yang lain.
Ada 3 prinsip pokok keadilan komutatif menurut Adam Smith,
yaitu:
a. Prinsip No Harm
Menurut Adam Smith prinsip paling pokok dari keadilan adalah
prinsip no harm atau prinsip tidak merugikan orang lain. Dasar dari prinsip ini
adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia beserta hak-haknya yang
melekat padanya, termasuk hak atas hidup.
b. Prinsip non intervention
Prinsip non intervention adalah prinsip tidak ikut campur
tangan. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan
kepentingan setiap orang tidak diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam
kehidupan dan kegiatan orang lain.
c. Prinsip pertukaran yang adil
Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang
fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. [13]
Sedangkan menurut John Rawls, “justice ad fairness” maksudnya
prinsip keadilan mana yang paling “fair” itulah yang harus dipedomani.[14]
Dari dua teori ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori
keadilan memuat dua prinsip, yaitu:
a. Prinsip
kebebasan
Prinsip ini menekankan
bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asalkan tidak
menyakiti orang lain.
b. Prinsip
kejujuran
Ketiidaksamaan social
dan ekonomi yang dianggap tidak adil kecuali jika ketidaksamaan ini menolong
seluruh masyarakat yang menuju kebahagiaan sendiri bagi masyarakat.
Jika keadilan dimaknai
sebagai kebahagiaan social, maka kebahagiaan social tersebut akan tercapai jika
kebutuhan individu social terpenuhi. Tata aturan yang adil adalah tata aturan
yang dapat menjamin pemenuhuan kebutuhan tersebut. Keadilan yang paling besar
adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. [15]
Jadi, penyimpangan yang
terjadi mengenai penerapan Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 sesuai
pemaparan diatas bertentangan atau tidak sesuai dengan teori keadilan. Karena
pada intinya belum tercapai kebahagiaan social yang merupakan tujuan dari
keadilan. Masih banyak masyarakat yang mengeluhkan betapa buruknya sistem
pendidikan nasional, terutama masyarakat kurang mampu.
D. Analisis
Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003
1.
Pasal 6 (1)
“Setiap
warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar”
Pasal
11 (2)
“Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warganegaranya yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun.”
Pasal
34 (2)
“Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Kalau dilihat dari pengertian wajib belajar sebagai
terjemahan compulosory education,
sesungguhnya Indonesia belum berlaku wajib belajar, bahkan untuk tingkat SD
sekalipun. Realitanya untuk masuk SD saja masih ada pungutan dan banayak anak
usia SD yang berkeliaran tidak sekolah . lebih-lebih pada tingkatan SMP. Pada
periode penerimaan murid baru SMP negeri, masih ada seleksi dan banyak lulusan
SD yang tidak mendapat tempat di SMP negeri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
hakikat pasal-pasal diatas belum dapat diimplementasikan dengan baik. [16]
Di dunia pendidikan, masyarakat yang secara ekonomi mampu pasti akan beruntung
dalam hal memilihkan pendidikan anaknya. Sebab jika anak tersebut tidak
diterima di sekolah negeri, umumnya dapat memilih sekolah swasta yang bermutu
karena mendapat dukungan ekonomi.[17]
2.
Pasal 49 (1): “Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara
dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen
dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi
korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen. Dalam APBN 2005
hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (Kompas, 10/5/2005).
Implementasinya,
berdasarkan keputusan MK tahun 2008, anggaran 20 persen sudah termasuk gaji
guru dan dosen serta pendidikan kedinasan.[18]
3.
Pasal 11 (1): “Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”
Pasal 50 (3): “Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional.”
Pasal ini sangat frontal bagi masyarakat, karena
pertama, diskriminasi yang dilakukan negara terhadap warganya. Negara
berkewajiban menyediakan pendidikan untuk seluruh warga negara, tidak peduli
kaya atau miskin, tanpa melihat golongan ataupun wilayahnya. Sementara itu,
sekolah-sekolah berlabel RSBI atau SBI hanya memfasilitasi siswa dari kalangan
berpunya, dengan secara langsung ataupun tidak, memutus akses bagi siswa miskin
untuk memperoleh fasilitas yang sama.Selain itu, ada diskriminasi di bidang
anggaran. Pemerintah memperlakukan secara berbeda antara sekolah RSBI/SBI dan
sekolah umum biasa. Sekolah RSBI/SBI mendapat gelontoran dana besar melalui
mekanisme block grant selain dana BOS yang memang diberikan kepada setiap
sekolah. Padahal, kewajiban negara adalah menyiapkan anggaran yang cukup untuk
semua sekolah, tanpa diskriminasi terlihat
pada pasal 11 ayat 1. Kedua pasal ini bertolak belakang.
4.
Pasal 54
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan
meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,
pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai
sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Dibukanya
peran serta masyarakat secara luas merupakan contoh konkrit liberalisasi yang
terjadi dimana negara mulai diminimalkan sementara masyarakat sipil justru
dikuatkan. Ketika liberalisasi masuk ke ranah pendidikan, maka peran serta
masyarakat dalam pendidikan ditumbuhkan dan perlahan-lahan negara hanya menjadi
regulator saja. Tanggung jawab terhadap pendidikan pun akhirnya beralih dari
negara ke masyarakat. Oleh karena itu pendukung liberalisasi selalu
menginginkan masyarakat sipil yang kuat untuk menopang dirinya sendiri Pergeseran
keempat yang terjadi dan diatur dalam UU Sisdiknas adalah kebijakan ‘pintu
terbuka’ bagi pendidikan asing.
E.
Evaluasi Peran DPR terkait UU No 20
Tahun 2003
Melihat penjabar diatas mengenai
berbagai penjelasan mulai dari ketimpangan asas keadilan, kontroversi, dan
analisis penerapan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Seharusnya DPR segera
melakukan revisi terhadap UU Sisdiknas. Hal ini diungkapkan oleh Dewan pakar
komunitas peduli pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rahmatullah
menyambut baik adanya revisi UU Sisdiknas. Ia menilai, banyak kebijakan
pendidikan yang bertentang dengan UU Sisdiknas. Akibatnya, sistem pendidikan
nasional selalu mendapat rapor merah alias disclaimer oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Menurutnya, ada beberapa hal yang membuat UU itu harus
direvisi. Di antaranya masalah wajib pendidikan 12 tahun, Ujian Nasional (UN),
keberadaan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang dinilai diskriminasi
dan tidak transparan. Begitu juga Dedi Gumelar, Anggota Komisi X DPR dari
Fraksi PDI-P, mengaku sedang mengkaji pasal-pasal mana yang akan direvisi
karena banyak pasal yang tak sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan
Indonesia. Seperti, wajib belajar 12 tahun. Demikian pula Zulfadhli, anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai
Golkar, pun berpendapat yang sama, adanya keinginan Komisi X untuk berinisiatif
mengajukan revisi UU Sisdiknas. Momentum yang diambil ketika UU Sisidiknas
memasuki usia 10 tahun, yakni tahun 2013.[19]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ü Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
atau sering disebut Dewan Perwakilan
Rakyat (disingkat DPR-RI
atau DPR) adalah salah satu lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Fungsi legislasi dari DPR yakni memiliki wewenang membuat Undang-Undang dan
Presiden hanya memberi persetujuan
ü Implikasi
adanya ketidakpastian hukum dari tidak andanya balance antara DPR dan Presiden
adalah terbentuknya undang-undang bermasalah. Salah satunya adalah
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Penerapan Undang-Undang Sisdiknas
menimbulkan kontroversi dari beberapa pihak masyarakat maupun pejabat. adanya
diskriminasi, masalah tentang liberalisme dalam pendidikan, biaya, dan
lain-lain.
ü Penyimpangan
yang terjadi mengenai penerapan Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 sesuai
pemaparan diatas bertentangan atau tidak sesuai dengan teori keadilan. Karena
pada intinya belum tercapai kebahagiaan social yang merupakan tujuan dari
keadilan. Ada beberapa pasal yang tidak sesuai, yakni pasal 6 ayat 1, ayat 11
ayat 1 dan 2, 34 ayat 2, 49 ayat 1, 50
ayat 3, dan 54 ayat 1, 2, dan 3
B. Saran
ü DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memiliki tugas untuk membuat
undang-undang hendaknya benar-benar serius dalam mengolah dan menyeleksi
rancangan undang-undang yang diajukan. Sehingga mampu memenuhi asas keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan berat sebelah tangan dan menimbulkan
banyak kontrovesi dalam penerapannya.
ü Undang-Undang
No 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas harus dirancang pendidikan dasar yang dapat
secara efektif melahirkan generasi muda yang mampu berekompeten menjadi SDM
berkualitas, berakhlak mulia, dan bermoral; tidak mendiskriminasi rakyat; dan
sesuai dengan UUD 1945.
DAFTAR
PUSTAKA
A Malik Fadjar. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta
: PT RajaGarfindo Persada.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Baedhowi. 2007. Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan.
Semarang : UPT UNNES Press.
Isjoni. 2008. Bersinergi
dalam Perubahan Menciptakan Pendidikan Berkualitas di Era Global. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Jimly
Assiddiqie. 2006. Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Hal 18.
Muhamad Nurdin. 2005. Pendidikan yang menyebalkan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Ni’Matul Huda. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
Undang-Undang
Dasar 1945 pasca amandemen keempat.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.
Winarno Surakhmad. 2009. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
.2012.http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/18/19370066/DPR.Berencana.
Merevisi.UU.Sisdiknas diakses tanggal 4 April 2013
Rima
Vien PH. Tujuan hukum. 2013. Slide
ppt kuliah politik hukum
0 komentar:
Posting Komentar