Hukum
dan ekonomi, dua kata yang sudah tidak asing di telinga kita. Dua kata ini
merupakan beberapa aspek terpenting dalam kehidupan. Setiap tindak tanduk yang
kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari keduanya. Pengertian
hukum itu sendiri merupakan suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi
tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol sehingga mampu
mewujudkan keadilan dan kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan mahzab utilitarianism
ilmu hukum yang menitikberatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan itu diartikan kebahagiaan (happiness). Hukum bertujuan
menciptakan ketertiban masyarakat dan perintah penguasa dan pencerminan dari
rasio semata sehingga aliran ini dapat dimasukkan dalam positivisme hukum.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang tokoh yang terkemuka dari aliran
utilitarianism yang menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh sistem hukum
dengan prinsip manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
penderitaan.[1]
Apabila ada kejahatan harus disertai hukuman-hukuman yang sesuai dengan tindak
kejahatan. Menurut Rudolph Von Ihering (1818-1892) menjelaskan bahwa hukum
merupakan alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya dan sebagai sarana
untuk mengendalikan individu-individu.[2] Sedangkan
pengertian ekonomi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
manusia mencukupi kebutuhan hidupnya. Ini didasarkan dari asal kata ekonomi
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos dan nomos. Oikos adalah rumah
tangga dan nomos berarti ilmu. Dari gabungan kata tersebut, terbentuklah
pengertian ekonomi. Dimana dalam pengertian tersebut, menunjukkan sebuah
kondisi yang merujuk pada pengertian tentang aktivitas manusia. Khususnya pada
usaha untuk bisa mengolah sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya,
sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lain. Tujuan hukum adalah kebahagiaan. Talak ukur
kebahagiaan seseorang salah satunya dengan terpenuhinya kebutuhan dalam hal
material (sandang, pangan, papan). Dalam pemenuhan kebutuhan itu, manusia harus
berusaha mengolah sumber daya yang ada di lingkungan sekitar (bekerja). Akan
tetapi, dalam pengolahan sumber daya itu terdapat kesewenang-wenangan pihak
tertentu sehingga menimbulkan berbagai konflik dan tidak tercapainya
kebahagiaan. Oleh karena itu, diperlukan suatu hukum untuk mengatur tentang ekonomi.
Indonesia merupakan negara hukum yang menganut
sistem rule of law, hal ini
dikarenakan Indonesia adalah jajahan Belanda secara tidak langsung menganut
sistem ini dengan cara konkordansi. Hukum tentang ekonomi yang pertama kali
digunakan Indonesia yaitu pada Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek) Buku III yang
berjudul Perihal Perikatan (Van Verbintennissen) yang memuat Hukum Harta
Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi
orang-orang.[3]
Dalam buku ke-3 kitab undang-undang
Hukum Perdata berisi tentang Perikatan, yaitu yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Berikut ini beberapa pasal dari bab ke-V
dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Jual-Beli, yaitu:
a. Pasal 1457. Jual-beli adalah suatu
perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.
b. Pasal 1458. Jual-beli itu dianggap
telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini
mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan
itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.
Dalam
perkembangannya Buku III Burgerlijk
Wetboek mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan dari
bangsa Indonesia. Dasar hukum perekonomian Indonesia terdapat di Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 setelah amandemen keempat pasal 33. Berikut isi pasal
33:
a. Pasal
33 ayat 1 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
b. Pasal
33 ayat 2 bahwa cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Pasal
33 ayat 3 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d. Pasal
33 ayat 4 bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.[4]
Banyak ahli berpendapat bahwa bahwa sementara rule
of law memiliki hubungan dengan kapitalisme kompetitif.[5]
Para ahli ini juga berpendapat bahwa sebuah ekonomi pasar yang kompetitif adalah
mengkondisikan rule of law dan outcome-nya.[6]
Ada lima ciri utama dari ekonomi pasar kompetitif, yaitu:
a. Kepemilikan
terhadap property sangat luas
b. Pasar
diorganisir lewat interaksi melalui jual-beli yang dilakukan sejumlah bisnis kecil.
c. Bisnis
secara langsung diatur oleh pemiliknya, bukan manager yang disewa
d. Pekerja
bebas berpindah dari satu pekerjaan ke lain pekerjaan
e. Kegiatan
ekonomi diatur oleh pasar sendiri
Kapitalisme
yang kompetitif yang kompetitif hanya akan bisa berjalan dengan sangat baik
jika itu ditopang oleh tatanan hukum yang didasarkan pada rule of law. Misalnya hukum tidak memihak, memperlakukan manusia
membuat kewajiban-kewajiban kontrak dengan persamaan, procedural, dan jarak
intelektual dengan interest ekonomi tertentu. Maka dengan rule of law, pertukaran di pasar, perencanaan, dan implementasi untuk
membuat keuntungan-keuntungan pribadi, kepemilikan usaha, dan lain-lain diberi
perlindungan yang terukur. Karena kekuatan ekonomi dan pembuatan keputusan
menyebar di masyarakat, maka aturan yang stabil harus diberikan. Ini dalam
rangka membuat hidup bisa diperkirakan. Rule
of law menyediakan tatanan yang stabil untuk individu dan usaha dalam
rangka memperoleh keuntungan atau laba.[7]
Kenyataannya,
hal yang sebaliknya terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hukum yang berfungsi
untuk membatasi ekonomi malah memiliki tujuan ekonomi tersendiri. Mafia
peradilan dan jual beli putusan (kebijakan yang dapat berupa Undang-Undang)
adalah gambaran yang mencerminkan bahwa hukum sudah berubah esensinya. Contoh
lainnya yaitu bisnis lawyering (pengacara). Praktik hukum sudah tidak murni
lagi menjalankan urursan hukum, “melainkan sebagian hukum dan sebagian bisnis
(Raharjo, 2003:23).”[8]
Hal ini meresahkan masyarakat miskin karena keadilan hanya akan diperoleh orang
yang mampu membayarnya. Dengan kata lain “ hukum dapat dibeli dengan uang”. Itulah
realita yang terjadi dalam kehidupan di Indonesia.
Referensi :
Achmad Gunaryo. 2006. Menggagas
Hukum Progresif Indonesia. Semarang : Pustaka Belajar,
C.S.T Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka
Soerjono Soekanto. 2006. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Undang
Undang Dasar 1945 setelah amandemen keempat
http://thedarkancokullujaba.blogspot.com/2012/09/pengertian-ekonomi.html diakses tanggal 28 April 2013
0 komentar:
Posting Komentar