Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia
buat.Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional.
Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu
bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas,
namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir
generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan
insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther
King, yakni; intelligence plus character... that is the goal of true education
(kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang
sebenarnya).
Memahami
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan usaha sadar dan terencana dalam menanamkan nilai-nilai
sehingga terinternalisasi dalam diri peserta didik yang mendorong dan mewujud
dalam sikap dan perilaku yang baik. Menurut
Thomas Lickona Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu
yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action).Tanpa ketiga aspek ini, maka
pendidikan karakter tidak akan efektif.Dengan pendidikan karakter yang
diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi
cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil
menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Secara lebih rinci, saya kutip
beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa
melekat dengan kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi
(1) religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah,
jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat,
yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian
yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta
mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap
hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju;
dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin
tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki
cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan
universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009:
43-44).
Lickona
(1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya:
(1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada
nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda
merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah
sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak
memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga
keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih
diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5)
Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi
merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu
sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai.
Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa
desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan
terus menjadi guru yang baik, dan (8) Pendidikan karakter yang efektif membuat
sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi
akademik yang meningkat.
Alasan-alasan
di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini
mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks
seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan
sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan
lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan
pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan
bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk
memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan
karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang
hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat,
dan bangsa.
Terdapat sembilan pilar karakter
yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong
dan gotong royong/kerjasama; keenam,
percaya diri dan pekerja keras; ketujuh,
kepemimpinan dan keadilan; kedelapan,
baik dan rendah hati, dan; kesembilan,
karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu,
diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode
knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa
mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the
good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan
mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau
berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan
perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah
terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi
kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini,
sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli
psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat
menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah
terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada
usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari
sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang
merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga,
barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit,
terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat.
Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak
masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman
kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan
ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang
berhadapan langsung dengan peserta didik.
Beberapa faktor pentebab rendahnya
pendidikan karakter adalah : Pertama , sistem pendidikan yang kurang menekankan
pembentukan karakter tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual. Misalnya
saja sistem evaluasi. Pendidikan menekankan aspek kognitif atau akademik,
seperti Ujian nasional. Kedua, kondidi lingkungan yang kurang mendukung
pembangunan karakter yang baik.
Slamet Imam Santoso (1981)
mengemukakan bahwa tujuan tiap pendidikan murni adalah menyusun harga diri yang
kukuh-kuat dalam jiwa pelajar, supaya mereka kelak dapat bertahan dalam
masyarakat. Dibagian lain ia juga mengemukakan bahwa pendidikan bertugas
mengembangkan poetnsi individu semaksimal mungkin dalam batas-batas
kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, terampil, jujur, tahu
kemampuan dan batas kemampuannya , serta mempunyai kehormatan diri. Dengan
demikian, pembinaan watak merupakan gas utama pendidikan
Guru yang memilki makna digugu lan
ditiru (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langsung juga memberikan
pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Oleh karena itu, profil dan
penampilan guru seharusnya memiliki sifat-sifat yang dapat membawa peserta
didiknya kearah pembentukan karakter yang kuat. Dalam konteks ini guru berperan
sebagai teladan peserta didiknya. Keluaran institusi pendidikan seharusnya
dapat mengahsilkan orang pabdai tapi juga orang baik dalam arti luas.
Pendidikan tidak hanya menghasilkan orang pandai tetapi tidak baik, sebaliknya
juga pendidikan tidak hanya menghasilkan yang baik tetapi tidak pandai.
Pendidikan tidak hanya untuk membuay anak pandai, tetapi juga harus mampu
mencipatakan nilai-nilai luhur atau karakter. Oleh jarena itu, penanaman
nilai-nilai luhur harus dilakukan sejak dini.
Mengingat pentingnya karakter dalam
membnagun sumber daya manusia (SDM) yang kuat. Maka perlunya pendidikan
karakter yang dilakukan dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa pembentukan
karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh
karena itu, pendidikan karakter harus menyertai semua aspek kehidupan termasuk
di lembaga pendidikan. Idealnya pembentukan karakter diintegrasikan ke seluruh
aspek kehidupan sekolah.
Lembaga pendidikan, khususnya
sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter siswa.
Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan
perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan kuat.
Sairin,
Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001
0 komentar:
Posting Komentar