BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam konsep ilmu kewarganegaraan yang
mempunyai tujuan to be a good citizenship. Bila di lihat dari tahapan
kewarganegaraan seorang warganegara yang baik tidak hanya sebatas pada tataran
civic knowledge tetapi sudah mencapai pada tahapan civic disposition.
Sedangkan hukum sendiri mempunyai
tujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang tertib, menjamin keadilan sosial
dalam masyarakat dan sarana penggerak pembangunan. Bila di lihat dari kedua
pengertian diatas maka terdapat satu hubungan anatara keduanya, yaitu bagaimana
mewujudkan suatu masyarakat yang tertib.
Seorang warga negara yang baik adalah
warga negara yang taat pada hukum positif (hukum yang sedang berlaku), tetapi
pada faktanya masih banyak warga negara tidak mentaati peraturan-peraturan
hukum yang ada. Misalnya saja menurut Kapolda Metro Jaya pada tahun 2008 lebih
dari 272 ribu kasus pelanggaran lalu lintas.
Bila dianalisis secara cermat dari
fenomena diatas terdapat suatu permasalahan dimana masih banyaknya suatu pelanggaran
terhadap hukum itu sendiri. Masalah
ini yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih lebih lanjut dalam
makalah yang berjudul “Kesadaran Hukum Berlalu Lintas Masyarakat Jakarta”
BAB
II
PERMASALAHAN
Dewasa ini banyak terjadi kasus
pelanggaran hukum, salah satunya adalah pelanggaran peraturan lalu lintas.
Masyarakat kota metropolitan, Jakarta, setiap harinya pasti terjadi pelanggaran
lalu lintas, sekedar tidak membawa helm, menerobos lampu merah, tidak memiliki
SIM, dan lain-lain. Hal ini didukung data dari Vivanews yang menyebutkan bahwa:
Di Jakarta jumlah pelanggaran lalu
lintas periode 2001 sampai dengan tahun 2007 mengalami tren yang meningkat,
yaitu sebesar 160 persen. Namun sampai dengan bulan Mei tahun 2008, pelanggaran
lalu lintas sebesar 200.175 pelanggaran.
Di tahun 2008, pelanggaran lalu lintas terbesar adalah pemilik SIM
A, yaitu 50 persen, sementara pemilik SIM A Umum sebanyak 16 persen. Sementara,
pelanggaran yang paling sedikit adalah pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik
SIM C, yaitu hanya sebesar 4 persen. Dalam periode 2001
sampai dengan 2007, barang titipan berupa kendaraan dan STUK tertinggi adalah
di tahun 2005, yaitu sebesar 349.748 buah. Dan jumlah barang titipan terendah
dalam periode tersebut adalah di tahun 2002, yaitu sebesar 4.400 buah. Sebuah
fakta yang menarik adalah di tahun 2008, barang titipan berupa STUK adalah
sebesar 1 buah. Barang
titipan berupa STNK dan SIM dalam peride yang sama, tertinggi dicapai di tahun
2007, yaitu sebesar 576.895 buah dan terendah di tahun 2002 yaitu sebesar
159.707 buah. Di tahun 2008, jumlah barang titipan berupa SIM dan STNK sebanyak
197.290 buah, dengan perincian SIM sebanyak 79.992 buah dan sisanya adalah
STNK.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kasus
pelanggaran lalu lintas yang terjadi di Jakarta kebanyakan karena tidak
memiliki SIM. Padahal, pemerintah telah memberikan persyaratan yang cukup mudah
dalam pembuatan SIM.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum merupakan salah satu
ciri bahwa masyarakat telah memahami dan mengerti hukum. Kesadaran hukum warga
negara dapat terlihat dari perilaku di mana dia berada. Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada
setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu
kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara
hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
seyogyanya dilakukan (Scholten, 1954: 166). Sedangkan menurut Krabbe mengatakan
bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum (v. Apeldoorn, 1954: 9).
Kesadaran
hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya konsepsi mengenai kebudayaan
hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-ajaran kesadaran hukum lebih banyak
mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum
dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. (Soerjono
Soekanto, 1987, hlm. 217).
Menurut
Soerjono Soekanto, indikator-indikator dari kesadaran hukum sebenarnya
merupakan petunjuk yang relatif kongkrit tentang taraf kesadaran hukum.
Dijelaskan lagi secara singkat bahwa :
1. Indikator pertama adalah pengetahuan
hukum Seseorang
mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum.
Peraturan hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang
tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum
maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
2. Indikator kedua adalah pemahaman
hukum Seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai
aturan-aturan tertentu,
misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar dari masyarakat tentang
hakikat dan arti pentingnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
3. Indikator yang ketiga adalah sikap
hukum Seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu
terhadap hukum.
4. Indikator yang keempat adalah
perilaku hukum, yaitu dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat warganya
mematuhi peraturan yang berlaku.
Berdasarkan keempat indikator
menurut Soerjono Soekanto, menunjukkan
tingkatan-tingkatan pada kesadaran hukum tertentu di dalam perwujudannya.
Apabila seseorang mengetahui hukum. maka bisa dikatakan bahwa tingkat kesadaran
hukumnya masih rendah. Akan tetapi, kalau seseorang atau
suatu masyarakat telah berperilaku sesuai hukum, maka tingkat kesadaran
hukumnya telah tinggi.
B. Pembuatan SIM di Jakarta
Di Indonesia,
Surat izin mengemudi (SIM) adalah bukti registrasi dan identifikasi yang
diberikan oleh Polri
kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani
dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan
bermotor. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang
dikemudikan (Pasal 77 ayat (1) UU No.22 Tahun 2009).
Peraturan perundang-undangan terbaru adalah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1992. UU No. 14 Tahun 1992 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
tetapi Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 yang menjelaskan UU No. 14
Tahun 1992 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan yang baru berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009.
Prosedur pembuatan
SIM, yaitu:
1. Tes kesehatan: Rp 20.000
2. Pembelian formulir: Rp 75.000
3. Pembelian asuransi: Rp 30.000
4. Tes tertulis: gratis
5. Tes praktik: Rp 5.000 sampai Rp
10.000
6. Foto dan tanda tangan: gratis
C.
Permasalahan
Pembuatan SIM di Jakarta
Permasalahan pembuatan SIM di Indonesia memang
sangat disayangkan. Jakarta yang setiap tahunnya di datangi para pengais rejeki dari daerah lain tentunya
juga menjadi salah salu faktornya. Permasalahan lainnya adalah banyaknya calo
pembuatan SIM yang menyebabkan pembayaran SIM naik berkali lipat.
Selain itu susahnya prosedur pembuatan SIM jalur
test juga menyebabkan orang yang berniat membuat SIM menjadi malas.
Masalah ditambah dengan kesadaran yang
kurang dari masyarakat, masyarakat
kurang mempedulikan ketertiban administrasi itu sendiri.
D. Upaya
Pemerintah
Permasalahan kepemilikan SIM memang sangat
pelik, dimana masih bnayaknya orang yang mengedari kendaraan tapi belum
mempunyai SIM. Kesadaran ini memang tak hanya kesalahn pemerintah semata tapi
juga kesadaran warga negaranya.
Pemerintah
memang sudah memiliki banyak program untuk meminimalisir permaslahan ini
misalnya dengan melakukan pembuatan SIM keliling. Tapi pada faktnya hal ini
belulah efektif karena masih banyak pengendara yang belum meiliki SIM.
Selain itu ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan kesadaran warga negara, yaitu:
1.
Melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat dengan seminar yang dapat
meningkatkan tingkat kesadaran hukum di diri masyarakat Indonesia. Salah satu
contohnya, yaitu: Seminar Tentang Membangun Masyarakat Sadar dan Cerdas Hukum
Mulai dari Usia Dini.
2.
Lewat
pendidikan sejak dini, sesuai dengan kebijakan
pendidikan yang mendorong pertumbuhan penyadaran hukum anak usia dini dilakukan
dengan 2 stategi pendekatan, yaitu:
a.
Secara intra
kurikulum dengan mengintegrasian nilai-nilai Hukum ke dalam mata pelajaran;
b.
Secara ekstra
kurikulum dengan membangun sikap dan taat Hukum di sekolah;
3.
Adanya
pendidikan kewarganegaraan dari jenjang sekolah dasar sampai tingkat perguruan
tinggi.
BAB
IV
PENUTUP
- Kesimpulan
Apabila seseorang
mengetahui hukum, maka bisa dikatakan bahwa tingkat kesadaran hukumnya masih
rendah. Akan tetapi, kalau seseorang atau suatu masyarakat telah berperilaku
sesuai hukum, maka tingkat kesadaran hukumnya telah tinggi. Di Jakarta banyak
terjadi kasus pelanggaran lalu lintas, yang kebanyakan karena tidak memiliki
SIM. Padahal, pemerintah telah memberikan kemudahan dalam prosedur pembuatannya.
Hal ini tergantung pada setiap kesadaran hukum individu masing-masing. Mau atau
tidak mau menaati peraturan.
- Saran
·
Sebaiknya menjadi seorang warga negara yang baik,
tidak hanya perlu mengetahui hukum tetapi harus melaksanakannya sebagai budaya
sadar hukum.
·
Sadar hukum itu dimulai dari diri kita sendiri.
Contohnya: memakai helm saat berkendara, berhenti saat lampu merah, menaati
peraturan lalu lintas, dan hal lain yang bisa kita lakukan di sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
. 2011. “Surat Izin Mengemudi”.
. 2009. “Data Pelanggaran Lalu Lintas”. http://vivanews.26421-data_pelanggaran_lalulintas.html(diakses
tanggal 17
April 2011)
Prof. Dr.
RM. Sudikno Mertokusumo, SH. 2008.
Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat. http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/meningkatkan-kesadaran-hukum-masyarakat.html (diakses
tanggal 7 April 2011)
. 2010. “Potret Kesadaran Hukum Indonesia”. http://de-future.com/potret-kesadaran-hukum-indonesia.html (diakses tanggal 10 April
2011)
. 2011. “Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat”. http://m.kompasiana.com/post/hukum/2011/01/14/tingkat-kesadaran-hukum-masyarakat (diakses tanggal 10 April
2011)
. 2011. “Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat”. http://els.bappenas.go.id/upload/other/Kontradiksi%20Kesadaran%20Hukum-MI.html(diakses tanggal 10 April 2011)
. 2011.
http://www.lantas.metro.polri.go.id/informasi/index.php?id=401(diakses tanggal 17 April
2011)
0 komentar:
Posting Komentar