BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pahlawan tanpa
tanda jasa, itulah julukan bagi guru di Indonesia. Dengan tanggung jawab
mencerdaskan generasi bangsa serta membangun moral generasi bangsa agar menjadi
lebih baik.
Guru memegang
tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa karena harus menyiapkan sekian
banyak generasi muda di Indonesia untuk menjadi penerus bangsa. Atas
jasa-jasanya guru sangat layak untuk di hormati.
Di lingkungan
pendidikan para guru biasa menerapkan norma kejujuran dan kedisiplinan. Namun
untuk melaksanakannya tidak mudah, karena ada banyak siswa dengan berbagai
macam karakter yang harus di didik.
Belakangan ini
banyak terjadi berbagai macam kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan yang
berhubungan dengan kekerasan yang di lakukan oleh guru terhadap anak didiknya. Kebanyakan
dari kasus yang terjadi disebabkan oleh penerapan norma kedisiplinan yang
terlalu di paksakan terhadap anak didik. Sedangkan tidak semua anak didik terbiasa
dengan perilaku disiplin. Cara penanaman kedisiplinan yang salah dapat berupa
terjadinya kekerasan baik fisik maupun mental terhadap anak. Hal yang paling
terlihat adalah kekerasan fisik. Tidak jarang hal ini sampai ke pengadilan
karena orang tua siswa merasa di rugikan. Hal ini yang menyebabkan penulis
ingin mengkaji lebih lanjut sehingga pinulis menyusunnya dalam makalah yang
berjudul “MARAKNYA KASUS KEKERASAN DI DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA”
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
yang menyebabkan seringnya terjadi kekerasan di lingkungan pendidikan di
Indonesia?.
2.
Bagaimanakah cara untuk mengatasi terjadinya kekerasan di
lingkungan pendidikan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apakah penyebab seringnya terjadi
kekerasan di lingkungan pendidikan di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui bagaimanakah cara untuk mengatasi terjadinya
kekerasan di lingkungan pendidikan.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat
dari penulisan
makalah ini adalah untuk
memberikan masukan sebagai bahan orientasi bagi guru agar tidak terjadi
kekerasan di dalam lingkungan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kekerasan Pada Siswa
1. Kekerasan
pada siswa adalah suatu tindakan keras yang dilakukan terhadap siswa di sekolah
dengan dalih mendisiplinkan siswa (Charters dalam Anshori, 2007). Ada beberapa
bentuk kekerasan yang umumnya dialami atau dilakukan siswa.
2. Kekerasan
fisik : kekerasan fisik merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat
mengakibatkan luka atau cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dll.
3. Kekerasan
psikis : kekerasan secara emosional dilakukan dengan cara menghina, melecehkan,
mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri,
menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek,
tidak berguna dan tidak berdaya.
4. Kekerasan
defensive : kekerasan defensive dilakukan dalam rangka tindakan
perlindungan, bukan tindakan penyerangan (Rini, 2008).
5. Kekerasan
agresif : kekerasan agresif adalah kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan
sesuatu seperti merampas, dll (Rini, 2008).
B.
Contoh Kasus Kekerasan di Dunia Pendidikan Indonesia
BANYUMAS – Seorang guru Sekolah Dasar Santa Maria di Purwokerto,
Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, tega menganiaya belasan siswanya. Hingga
membuat beberapa kepala siswanya terluka dan memar. Tak rela atas perbuatan
guru tersebut, orang tua korban mengadukan masalah ini kepada pihak
yayasan.“Saya tidak terima atas perlakuan guru terhadap anak saya dan belasan
murid lainnya yang di siksa,” ujar Evan salah satu seorang wali murid yang
melapor kejadian tersebut kepada pihak yayasan, jumat (22/10/2010). Menurut beberapa
siswa, guru agama bernama Theodora kerap kali melakukan penganiayaan pada
murid-muridnya. Bahkan, guru ini tega membenturkan kepala murid-muridnya ke
meja jika sedang emosi.
“Guru Theodora berani membenturkan kepala kami ke meja kalo dia
sedang emosi, kita takut,” kata Marcel, salah seorang murid SD Santa Maria
Purwokerto yang juga menjadi korban kekerasan.Pihak yayasan akhirnya mengajak
belasan orang tua siswa lainnya untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan
dengan berdialog bersama. Dari hasil dialog yang di dapat, pihak yayasan
akhirnya meminta maaf kepada semua orang tua murid yang dirugikan atas
perbuatan guru tersebut.“Kami sudah selesaikan masalah ini secara kekeluargaan,
tapi kami meminta kepada yayasan untuk menindak lanjuti ke kepolisian agar
masalah seperti ini tidak sampai terulang lagi,” jelas Aan, Evan dan Tika, wali
murid usai mengikuti pertemuan dengan yayasan.
Humas yayasan Santa Maria Suminarto mengatakan, Peristiwa yang tidak
diinginkan ini terjadi saat sedang proses belajar dan mengajar, namun secara
keseluruhan masalah ini sudah selesai dan kami pihak yayasan sudah meminta maaf
pada wali murid.Polres Banyumas yang datang ke lokasi kejadian berjanji akan
menyelesaikan kasus ini secara profesional. Meski sudah dilakukan upaya damai
antara pihak yayasan dan pihak wali murid, namun kasus penganiayan belasan
siswa sekolah dasar ini kini tetap dalam penanganan kepolisian.
C.
Faktor Penyebab
Kekerasan Di Dunia Pendidikan
Kekerasan yang terjadi dalam
dunia pendidikan dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1. Dari Guru
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan guru melakukan kekerasan pada siswanya, yaitu:
a. Kurangnya
pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk
memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma
psikologis dan melukai harga diri siswa.
b. Persepsi
yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks
kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang
terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa
yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda / sign dari masalah yang
tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan
siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan / sikap
siswa.
c. Adanya
masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru
yang bersangkutan
menjadi lebih sensitif dan reaktif.
d. Adanya
tekanan kerja : target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum,
materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang
dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar.
e. Pola
authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola
authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas
sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid).
Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi.
Dan, pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity
yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan.
f. Muatan
kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan
kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi
“kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana
belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa
berprestasi.
2. Dari siswa
Salah satu factor yang bisa ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan,
adalah dari sikap siswa tersebut. Sikap siswa tidak bisa dilepaskan dari
dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Kecenderungan sadomasochism
tanpa sadar bisa melandasi interaksi antara siswa dengan pihak guru, teman atau
kakak kelas atau adik kelas. Perasaan bahwa dirinya lemah, tidak pandai, tidak
berguna, tidak berharga, tidak dicintai, kurang diperhatikan, rasa takut
diabaikan, bisa saja membuat seorang siswa clinging pada powerful
/ authority figure dan malah “memancing” orang tersebut untuk
actively responding to his / her need meskipun dengan cara yang tidak
sehat. Contohnya, tidak heran jika anak berusaha mencari perhatian dengan
bertingkah yang memancing amarah, agresifitas,atau pun hukuman. Tapi, dengan
demikian, tujuannya tercapai, yakni mendapat perhatian. Sebaliknya, bisa juga
perasaan inferioritas dan tidak berharga di kompensasikan dengan menindas pihak
lain yang lebih lemah supaya dirinya merasa hebat.
3.
Dari Keluarga
Kekerasan yang
dilakukan baik oleh guru maupun siswa, perlu juga dilihat dari factor
kesejarahan mereka.
a.
Pola Asuh
Anak yang dididik dalam pola asih yang indulgent,
highly privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua
keinginan anak), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense
of responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan
mereka, anak tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan
menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi.
Ini jadi bahaya karena anak merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang
ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi anak
akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga
asalkan tujuannya tercapai. Anak juga tak memiliki sense of responsibility
karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat anak tidak berpikir action-consequences,
aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Anak di sekolah
ingin dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau
memaksa siswa lain memberi contekan dengan ancaman atau pun bribe .
Orang tua yang emotionally or
physically uninvolved, bisa menimbulkan persepsi pada anak
bahwa mereka tidak dikehendaki, jelek, bodoh, tidak baik, dsb. Kalau situasi
ini tidak sempat diperbaiki, bisa menimbulkan dampak psikologi, yakni munculnya
perasaan inferior, rejected, dsb. Unresolved feeling of
emotionally – physically rejected, membuat anak memilih untuk jadi
bayang-bayang orang lain, clinging to strong identity meskipun
sering jadi bahan tertawaan atau hinaan, disuruh-suruh. Atau, anak cenderung
menarik diri dari pergaulan, jadi pendiam, pemurung atau penakut hingga
memancing pihak aggressor untuk menindas mereka. Sebaliknya, orang tua
yang terlalu rigid dan authoritarian, tidak memberikan
kesempatan pada anaknya untuk berekspresi, dan lebih banyak mengkritik, membuat
anak merasa dirinya “not good enough” person, hingga dalam diri mereka
bisa tumbuh inferioritas, dependensi, sikapnya penuh keraguan, tidak percaya
diri, rasa takut pada pihak yang lebih kuat, sikap taat dan patuh yang
irrasional, dsb. Atau, anak jadi tertekan, karena harus menahan semua gejolak
emosi, rasa marah, kecewa, sedih, sakit hati – tanpa ada jalan keluar yang
sehat. Lambat laun tekanan emosi itu bisa keluar dalam bentuk agresivitas yang
diarahkan pada orang lain.
b. Orangtua mengalami masalah psikologis
Jika orangtua
mengalami masalah psikologis yang berlarut-larut, bisa mempengaruhi pola
hubungan dengan anak. Misalnya, orang tua yang stress berkepanjangan,
jadi sensitif, kurang sabar dan mudah marah pada anak, atau melampiaskan
kekesalan pada anak. Lama kelamaan kondisi ini mempengaruhi kehidupan pribadi
anak. Ia bisa kehilangan semangat, daya konsentrasi, jadi sensitif, reaktif,
cepat marah, dsb.
c. Keluarga disfungsional
Keluarga yang
mengalami disfungsi punya dampak signifikan terhadap sang anak. Keluarga yang
salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik atau emosi,
intimidasi anggota keluarga lain; atau keluarga yang sering konflik terbuka
tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang dialami oleh keluarga
hingga menyita energy psikis dan fisik, hingga mempengaruhi interaksi,
komunikasi dan bahkan kemampuan belajar, kemampuan kerja beberapa anggota
keluarga yang lain. Situasi demikian mempengaruhi kondisi emosi anak dan lebih
jauh mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Sering dijumpai siswa
“bermasalah”, setelah diteliti ternyata memiliki latar belakang keluarga yang
disfungsional.
4. Dari Lingkungan
Tak dapat
dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi selama ini juga terjadi karena adanya
faktor lingkungan, yaitu:
- Adanya budaya kekerasan : seseorang melakukan kekerasan karena dirinya berada dalam suatu kelompok yang sangat toleran terhadap tindakan kekerasan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan tersebut memandang kekerasan hal yang biasa / wajar.
- Mengalami sindrom Stockholm : Sindrom Stockholm merupakan suatu kondisi psikologis dimana antara pihak korban dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later on korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka. Contoh, kekerasan yang terjadi ketika mahasiswa senior melakukan kekerasan pada mahasiswa baru pada masa orientasi bersama terjadi karena mahasiswa senior meniru sikap seniornya dulu dan dimasa lalunya juga pernah mengalami kekerasan pada masa orientasi
- Tayangan televisi yang banyak berbau kekerasan : Jika seseorang terlalu sering menonton tayangan kekerasan maka akan mengakibatkan dirinya terdorong untuk mengimitasi perilaku kekerasan yang ada di televisi. Sebab, dalam tayangan tersebut menampilkan kekerasan yang diasosiasikan dengan kesuksesan, kekuatan dan kejayaan seseorang. Akibatnya, dalam pola berpikir muncul premis bahwa jika ingin kuat dan ditakuti, pakai jalan kekerasan.
D. Cara Mengatasi Terjadinya
Kekerasan di Dunia Pendidikan Indonesia
1.
Bagi Sekolah
Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di
sekolah
Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu
pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan “tidak” pada kekerasan
dan menentang segala bentuk kekerasan. Dalam menanamkan pendidikan tanpa kekerasan
di sekolah, guru dapat melakukannya dengan menjalin komunikasi yang efektif
dengan siswa, mengenali potensi-potensi siswa, menempatkan siswa sebagai subjek
pembelajaran, guru memberikan kebebasan pada siswa untuk berkreasi dan guru
menghargai siswa sesuai dengan talenta yang dimiliki siswa (Susilowati, 2007).
Hukuman yang diberikan, berkorelasi
dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi
tanggung jawabnya.Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi
logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan
hukuman yang tidak rasional.
Sekolah terus mengembangkan dan
membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya
pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga
membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb.
Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas
dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari
prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan
pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta
dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru
dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
Konseling. Bukan hanya siswa yang
membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan
dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang
terbaik.
Segera memberikan pertolongan bagi
siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti
kasus tersebut dengan cara adekuat.
Sekolah yang
ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi, kondisi
belajar mengajar yang efektif dan berfokus pada siswa, dan memfokuskan pada
lingkungan yang ramah pada siswa. Menurut Rini (2008), perlu di kembangkan
pembelajaran yang humanistik yaitu model pembelajaran yang menyadari bahwa
belajar bukan merupakan konsekuensi yang otomatis namun membutuhkan
keterlibatan mental, dan berusaha mengubah suasana belajar menjadi lebih
menyenangkan dengan memadukan potensi fisik dan psikis siswa.
2. Bagi Orangtua atau keluarga
Perlu lebih berhati-hati dan penuh
pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk anak-anaknya agar tidak mengalami
kekerasan di sekolah.
Menjalin komunikasi yang efektif dengan
guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan anaknya.
Orangtua menerapkan pola asuh yang lebih
menekankan pada dukungan daripada hukuman, agar anak-anaknya mampu bertanggung
jawab secara sosial
Hindari tayangan televisi yang tidak
mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam
film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan
kekuasaan.
Setiap masalah yang ada, sebaiknya
dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai berlarut-larut. Kebiasaan
menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat masalah jadi
berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain dan saling
mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
Carilah bantuan pihak professional jika
persoalan dalam rumah tangga, semakin menimbulkan tekanan hingga menyebabkan
salah satu atau beberapa anggota keluarga mengalami hambatan dalam menjalankan kehidupan
mereka sehari-hari.
3. Bagi siswa yang mengalami kekerasan
Segera sharing
pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang
dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk
pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kekerasan dapat terjadi
dimana saja, termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh UNICEF (2006) di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar
80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Belakangan ini
masyarakat dikejutkan dengan berita mengenai seorang guru yang menganiaya belasan siswanya. Di televisi juga
pernah marak diberitakan mengenai siswa yang melakukan kekerasan pada siswa
lainnya, contohnya kasus IPDN, dll. Hal ini, tentunya cukup mengejutkan bagi
kita. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan
dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa
sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa yang dilakukan oleh sesama siswa,
guru atau pihak lain di dalam lingkungan sekolah.
B.
Saran
Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru, orang
tua dan siswa untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang
tepat, namun semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat
dan mengurangi terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa untuk
mengatasi masalah ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Susilowati, Pudji. “Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Pada Siswa”.
http://ideguru.wordpress.com/2010/04/25/faktor-faktor-penyebab-kekerasan-pada-siswa/ (diakses tanggal 18 November 2010)
.
“Penganiayaan
Seorang Guru SD Terhadap Belasan Muridnya”. http://rilisindonesia.com/?p=7404 ( diakses tanggal 18 November 2010)
.”Pencegahan Penanganan Kekerasan Sekolah” http://www.kksp.or.id/index.php?pilih=lihat&id=280&topik=1&item=Pencegahan%20dan%20Penanganan%20Kekerasan%20di%20Sekolah” (diakses tanggal 21 November 2010)
0 komentar:
Posting Komentar