Soal
Adapun
konflik yang dipicu ideologi dan budaya cenderung abstrak dan punya aspek yang
fundamental yang terlibat konflik sangat tergantung pada sudut pandang mereka
tentang sumber tujuan dan cara penyelesaian konflik. Kumpulkan data yang
terkait tentang itu dan bagaimana mereka menyelesaikannya pada masing-masing
konflik yang terjadi. Pilihlah penyelesaian yang terbaik menurut Anda!
Jawab:
Sebagai negara dengan penduduk dari berbagai
kelompok dan kelas sosial, sejak awal Indonesia rawan mengalami berbagai bentuk
disintegrasi sosial. Dua dekade terakhir konflik sering terjadi karena berbagai
sebab. Konflik horizontal ataupun vertikal bahkan terjadi dalam skala yang
sangat keras, menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan hilangnya nyawa.
Selain itu, ada konflik yang dipicu oleh ideologi dan budaya yang cenderung
abstrak dan memilki aspek fundamental itu sendiri. Ada berbagai faktor
penyebab, sumber konflik, akibat, dan solusi. Sebelum membahas hal tersebut,
perlu diketahui pengertian dari konflik, ideologi, dan budaya itu sendiri.
Konflik berasal
dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Ideologi
adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada
akhir abad ke-18
untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara
memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara
umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis
(lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang
dominan pada seluruh anggota masyarakat.
Budaya
atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Kemudian penjelasan
dari sumber konflik, faktor-faktor yang mempengaruhi, akibat dan solusi.
Persepsi sumber konflik
Sepuluh tahun terakhir konflik bisa terjadi
dalam berbagai bentuk dengan berbagai dimensi pemicu: ekonomi, politik, budaya,
dan ideologi. Konflik-konflik yang berdimensi ekonomi dan politik acap kali
terkait dengan siapa mendapat apa, siapa kehilangan apa, dan berapa banyak
kehilangannya. Konflik berdimensi ekonomi cenderung bersifat riil. Konflik yang
berdimensi budaya dan ideologi memiliki aspek yang lebih fundamental dan karena
itu cenderung abstrak. Bentuk-bentuk aksi para pihak yang terlibat konflik
sangat bergantung pada bagaimana mereka melihat sumber, tujuan konflik, dan
cara penyelesaian konflik. Secara teoretis, apa pun jenis konfliknya, ada dua
elemen utama yang sering berkombinasi menjadi sumber hakiki konflik.
Pertama, elemen identitas atau potent identity-based
factors. Kelompok-kelompok sosial dimobilisasi dengan membawa identitas komunal
kelompok, seperti ras, agama, ideologi, dan kepentingan kelompok.
Kedua, elemen persepsi terhadap distribusi sumber
ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat. Ketika elemen potent
identity-based factors dan elemen persepsi tentang ketidakadilan ekonomi-sosial
ini bercampur, potensi konflik menjadi sangat tinggi dan memicu konflik yang
mengakar (deep-rooted conflict).
Di Indonesia, konflik identitas yang berlatar
belakang isu SARA paling potensial meledak. Isu Kristenisasi, pelarangan
pembangunan gereja di sejumlah wilayah, syak wasangka antarkelompok pemeluk
agama, isu pribumi versus nonpribumi, dan sejenisnya adalah hal-hal yang masih
sering muncul. Karakteristik konflik horizontal yang berdimensi identitas
adalah sifatnya yang persisten dan sering tumpang-tindih dengan isu-isu
kesenjangan ekonomi. Konflik-konflik yang berbasis SARA ini bercampur dengan
konflik distribusi sumber produksi, wilayah, ekonomi, dan prospek lapangan
kerja sehingga penanganannya lebih rumit.
Dalam konflik (latent) ideologi, seperti di
Temanggung, Jawa Tengah, dan Pandeglang, Banten, salah satu faktor penting
adalah menyangkut persepsi. Inilah penentu apakah hubungan antarkelompok
mengarah pada tindak kekerasan atau tidak. Di berbagai daerah, ada kecenderungan
kelompok agama tertentu dianggap ancaman terhadap stabilitas, kelangsungan
hidup, kedaulatan, kultur, sosial, dan kepentingan vital lain sehingga pada
tingkat kelompok kompromi sulit dicapai.
Faktor- faktor
penyebab konflik secara umum
a.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia
adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya.
b. Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang
atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda..
d. Perubahan-perubahan
nilai
yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi
nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
Akibat konflik secara
umum
a.
meningkatkan solidaritas sesama
anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b. keretakan
hubungan antar kelompok yang bertikai.
c. perubahan
kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
dll.
d. kerusakan
harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
e. dominasi
bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik
Sistem peringatan dini
Agar konflik tidak berkembang, yang dibutuhkan
adalah mekanisme sistem peringatan dini sosial (social early warning system).
Prinsip dasar mekanisme deteksi dini adalah pemerintah secara proaktif
mendeteksi, memantau, menganalisis, dan menangani setiap benih konflik sedini
dan secepat mungkin. Deteksi dini diutamakan pada titik-titik kelompok
strategis di tingkat lokal ataupun pada titik-titik persentuhan pemerintah
dengan masyarakat lokal. Dalam pengembangan mekanisme peringatan dini, beberapa
hal perlu mendapat perhatian.
Pertama, menentukan siapa yang pantas menjadi penghubung dan pendeteksi
kemungkinan terjadinya keresahan sosial di masyarakat. Pendeteksi tidak harus
aparat keamanan, tetapi bisa juga berasal dari orang-orang yang benar-benar
mengenali daerahnya. Dalam hal ini, kelompok-kelompok sekunder di masyarakat,
seperti organisasi berbasis komunitas (community based organization), tokoh
masyarakat, dan tokoh agama potensial menjadi pemantau. Tugas pendeteksi
menjadi mata dan telinga atas berbagai desas-desus dan ketidakpuasan warga
masyarakat.
Kedua,
menentukan dan menawarkan kepada masyarakat bentuk penyaluran keluhan keresahan
sosial. Dari yang informal, semi-informal, hingga formal. Yang penting, saluran
benar-benar dipercaya masyarakat, transparan, serta melindungi identitas dan
keselamatan warga masyarakat yang melaporkan keresahan di wilayahnya. Posisi
pemerintah daerah, baik di tingkat desa, kecamatan, maupun tingkat yang lebih
tinggi, tidak boleh serba dominan, apalagi represif. Pejabat setempat harus
bijak dan apa pun keluhannya justru harus direspons secara proporsional.
Cara penanganan konflik
Ada beberapa cara penanganan
konflik, yaitu:
Untuk menangani konflik dengan
efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri
sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk
menangani konflik antara lain :
sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk
menangani konflik antara lain :
- Introspeksi diri
- Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat
- Identifikasi sumber konflik
- Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima
tindakan yang dapat kita lakukan dalam
penanganan konflik :
penanganan konflik :
- Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita
mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan
tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan
yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat
vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan
terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi
konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan
– bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di
atas kepentingan bawahan.
- Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah
satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis.
Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah
terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing
pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara.
Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik
meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena
merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
- Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan
mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan
dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal
ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita
ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut
- Kompromi
indakan ini dapat dilakukan jika ke
dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama –sama penting dan hubungan
baik menjadi yang uatama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya
untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)
- Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menag
dengan saling bekerja sama. Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan
konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja,
kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita
pertimbangkan.
Contoh spesifik dari konflik
yang dipicu oleh ideologi:
Detik.com Kerusuhan bernuansa SARA juga meletup di Temanggung, Jawa Tengah.
Massa yang tak puas terhadap tuntutan 5 tahun terhadap Antonius Richmond
Bawengan, terdakwa penistaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung, mengamuk.
Massa menilai vonis ini terlalu ringan.
“Ada pengadilan penodaan agama divonis hari ini. Vonisnya sudah
maksimum sesuai tuntutan jaksa yakni 5 tahun. Tapi massa menghendaki hukuman
mati. Massa marah,” kata Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Edward Aritonang saat
dihubungi detikcom, Selasa (8/2/2011). Meskipun Edward menyebutkan vonis, namun
agenda sidang yang betul adalah tuntutan.
Edward mengatakan, massa kemudian menggulingkan sebuah truk Polri dari
kesatuan Dalmas yang ada di sekitar pengadilan. Polisi mencoba menghadapi massa
secara persuasif karena kasus ini menyangkut agama.
“Siapa pun ya marah kalau soal agama. Tapi kita coba memahami. Hakim
juga sudah memvonis maksimum,” ujarnya.
Polisi sudah mengevakuasi terdakwa ke Semarang. Menurut Edward, situasi
di pengadilan sudah mulai kondusif. “Kejadiannya tadi pukul 10.00 WIB, sekarang
sudah mulai kondusif. Saya lagi di jalan menuju lokasi,” ungkap Edward yang
berkedudukan di Semarang ini.
Sidang kasus ini selalu dihadiri pengunjung dari berbagai ormas dan
sering terjadi kericuhan. Menyitir Media Indonesia Online edisi Kamis, 20
Januari 2011, kasus yang menjerat warga asal Manado ini terjadi pada 3 Oktober
2010. Ketika itu Antonius yang menggunakan KTP berdomisili di Kebon Jeruk,
Jakarta menginap di tempat saudaranya di Dusun Kenalan, Desa/Kecamatan
Kranggan, Temanggung.
Sedianya ia hanya semalam di tempat itu untuk melanjutkan pergi ke
Magelang. Namun waktu sehari tersebut digunakan untuk membagikan buku dan
selebaran berisi tulisan yang dianggap menghina umat Islam. Karenanya, sejak 26
Oktober 2010, ia ditahan.
Dalam selebaran dan buku itu antara lain ditulis dinding Kabah yang
terpasang hajar aswad merupakan kelamin wanita. Tempat pelemparan jumroh
yang merupakan bangunan setengah lingkaran itu disebut terdakwa berkelamin
laki-laki. Selain itu, terdakwa menggambarkan wajah Islam sebagi bengis dan
kejam. Tulisan ini memancing emosi umat Islam. (gus/nrl)
detik.com juga memberitakan, Kerusuhan di Temanggung merupakan buntut
dari sikap massa yang tidak puas dengan sikap jaksa yang hanya menuntut
terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmond Bawengan. Massa meminta Jaksa
Penuntut Umum (JPU) mendakwa terdakwa dengan hukuman mati.
Berikut kronologi singkat proses hukum Antonius seperti yang dituturkan
Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri Brigjen Pol I Ketut Untung Yoga Ana saat
ditemui wartawan di ruang kerjanya, Jl Trunojoyo, Jaksel, Selasa (8/2/2011).
23 Oktober 2010, Antonius yang merupakan warga Duren Sawit, Jakarta
Timur, diketahui tertangkap tangan menyebarkan selebaran yang berisi penistaan
agama. Salah satu selebaran itu diletakkan di depan rumah warga.
Warga yang mengetahui perbuatan Richmond langsung melaporkannya ke
Polres Temanggung dan kemudian polisi menangkap dan menjebloskannya ke penjara
sambil menunggu jadwal sidang.
Sidang telah berlangsung 3 kali di PN Temanggung, yaitu pada tanggal
20, 27 Januari, dan 8 Februari. Sidang hari ini berupa pembacaan tuntutan.
Saat persidangan berlangsung, tidak terjadi keributan di dalam ruang
sidang. Namun, massa yang berada di luar ruangan mulai memanas usai pembacaan
tuntutan oleh jaksa. Polisi berusaha menenangkan namun massa bergerak dan
melakukan perusakan.
Mabes Polri mencatat ada 3 gereja yang dirusak oleh massa yang tidak
puas dengan sidang kasus penistaaan agama di PN Temanggung, Jawa Tengah. 2 Truk
milik kesatuan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Temanggung dirusak.
“Tiga buah gereja dirusak, dua di antaranya dibakar. Mobil polisi dua,
beberapa yang mengalami luka akibat benturan, tapi nggak ada yang serius,” kata
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Untung Yoga
Ana di kantornya, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (8/2/2011)..
Sementara itu Kabag Penum Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafli Amar
menyatakan, pihaknya masih belum mengetahui siapa massa yang melakukan tindak
anarkis tersebut. Namun siapa pun mereka, polisi tidak akan menolerir tindakan
tersebut dan akan menindak tegas.
“Kita belum tahu. Siapapun yang terlibat harus ditindak tegas,”
ujarnya.
Hingga kini, lanjut Boy, polisi masih melokalisir tempat, mengumpulkan
sejumlah saksi, dan barang bukti serta menangkap para pelaku.
“Kita sangat menyesalkan adanya kejadian tersebut yang terkait sidang
terdakwa Antonius soal penistaan agama,” ungkapnya.
Massa yang mengamuk di depan PN Temanggung, Jawa Tengah semakin bengis.
Tak cuma membakar mobil Dalmas di depan pengadilan, 3 gereja pun diserang.
Sejumlah kendaraan yang terparkir di gereja tersebut dibakar.
3 Gereja yang diserang yakni Gereja Bethel Indonesia Jl Soepeno, Gereja
Kristen Protestan Kanisius, dan Gereja Katolik Temanggung.
Di Gereja Bethel, massa membakar 5 motor dan pos satpam. Pintu gereja
juga ikut dijebol. Kantin gereja, kantor serta sekolah Kristen Shekinah yang
berada di halaman gereja dirusak.
Seorang satpam Gereja Bethel, Heru mengatakan, sekitar pukul 10.30 WIB,
tiba-tiba ada segerombolan orang datang dan menyerang gereja. Massa melempari
gereja dengan batu dan balok-balok kayu. Sontak Heru dan sejumlah guru di
sekolah menyelamatkan diri dari serangan batu massa.
“Saat itu saya sedang berada di dalam pos satpam. Tiba-tiba segerombolan
massa datang dan melempari batu. Saya lari mengamankan diri, begitu juga dengan
guru-guru di sini,” ujar Heru.
Tak puas dengan melempari batu, massa kemudian membakar pos satpam dan
5 motor yang tengah di parkir di halaman gereja. Setelah itu massa pun pergi.
Massa lalu menyerang Gereja Kanisius. Di gereja ini, massa membakar 3
mobil. Kemudian massa beralih ke Gereja Katolik. Di Gereja Katolik, massa
melempari gereja dan menjebol pintu masuk.
VIVAnews, memberitakanTemanggung, Jawa
Tengah, selama ini dikenal sebagai kota yang sejuk dan tenang. Kesejukan itu
juga terlihat dalam kehidupan sosial. Kerukunan dan keharmonisan sesama umat
beragama sangat terjaga.
Hari ini, Selasa 8 Februari 2011, kesejukan kota itu robek oleh
kerusuhan. Tiga gereja dirusak massa lantaran mereka dihalangi polisi
menghadiri sidang yang mengadili Antonius Richmond Bawengan, seorang Kristen
Protestan yang didakwa melakukan penodaan agama. Polisi cemas massa akan
melakukan tindakan anarkis di ruang sidang.
Perusakan tempat ibadah ini, menurut Romo Aloysius Budi Purnomo, Ketua
Komisi Hubungan Antar Agama Gereja Katolik yang bertugas di Semarang, merupakan
pelampiasan ketidakpuasan massa terhadap tuntutan jaksa lima tahun penjara
kepada Antonius.
Tradisi kerukunan di Temanggung, kata Romo Budi, sebetulnya sudah
berlangsung turun-temurun dan selama ini tidak pernah terganggu aksi rusuh
semacam itu. Romo Budi tidak mau berprasangka buruk ada dalang di balik aksi
ini. Dia percaya pihak yang berwajib akan dapat segera mengungkapnya.
Kasus yang menjerat Antonius ini, kata Romo Budi, bermula sekitar
setahun lalu, yaitu di tahun 2010. Saat itu, Antonius yang memegang KTP
Jakarta, datang ke Temanggung untuk mengunjungi rumah sanak saudaranya. Di
Temanggung, dia malah terjerat hukum karena menyebarkan pamflet-pamflet dan
buku yang isinya memprovokasi sekaligus melecehkan agama Katolik maupun Islam.
“Salah satu isinya, dia menyebarkan pamflet anti Bunda Maria. Itu kan
pengingkaran iman Katolik seutuhnya. Nah, dalam rangka itu, dia juga mengutip
Alquran,” kata Romo Budi.
Bunda Maria sangat dimuliakan dalam Gereja Katolik.
Setelah selesai disidik, Selasa ini, 8 Februari 2011, sidang pembacaan
tuntutan terhadap terdakwa dilangsungkan di PN Temanggung. Mendengar jaksa
menuntut Antonius lima tahun penjara, massa yang menghadiri persidangan marah.
Dengan beringas, mereka lalu merusak gedung pengadilan, termasuk
membakar dan merusak tiga gereja Katolik dan Kristen Protestan.
Romo Budi heran kenapa massa merusak gereja, dan juga merusak Gereja
Katolik Santo Petrus dan Paulus. Padahal, kata Romo Budi, Katolik sendiri
sebenarnya ikut dinodai oleh tindakan ngawur Antonius.
Dalam perkara ini, Gereja Katolik setempat tidak ikut mengadukan
Antonius ke pihak berwajib. “Provokasi yang dilakukan Antonius itu sangat
merugikan iman Katolik dan juga iman saudara kami yang Muslim,” kata Romo Budi.
(kd)
• VIVAnews
VIVAnews – Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengecam keras tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang
yang membakar rumah peribadatan dan fasilitas lain di Temanggung, Jawa Tengah.
Selain itu, aparat keamanan diminta melakukan tindakan tegas.
“Presiden mengecam,” kata Menko Polhukam, Djoko Suyanto dalam pesan
singkatnya yang diterima VIVAnews.com di Jakarta, Selasa malam 8
Februari 2011.
Presiden, kata dia, memerintahkan Polda Jawa Tengah segera mencari
pelaku tindakan anarkis tersebut dan segera ditindaklanjuti dengan proses hukum
yang berlaku.
Selain itu, Djoko menuturkan, Presiden juga meminta aparat Pemda dan
keamanan di daerah agar meningkatkan deteksi, dan tindakan pencegahan dini,
serta menindak tegas setiap tindakan anarkis apapun alasan yang
melatarbelakanginya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kerusuhan ini bermula dari sidang
penistaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung. Massa yang tidak puas,
merangsek ke luar pengadilan dan melakukan perusakan. Tiga gereja jadi korban,
ada yang dibakar dan dirusak. Sejumlah mobil dna motor dibakar. Sebanyak
sembilan warga terluka dan sempat dibawa ke RSUD Temanggung.
Contoh konflik yang dipicu
perbedaan budaya:
Sebuah penelitian mengenai konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura
pernah dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005, penelitian tersebut
berjudul Resolusi Konflik berbasis Pranata Adat Pamabakng dan Pati Nyawa
pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Hasil penelitian
tersebut salah satunya menyebutkan bahwa konflik-konflik kekerasan yang terjadi
antara Suku Dayak dan Suku Madura disebabkan oleh faktor-faktor struktural yang
dilandasi oleh faktor faktor kultural; apabila faktor-faktor struktural dan
kultural ini tidak diatasi dengan tuntas dan sepanjang resoluasi konflik tidak
mengedepankan resolusi yang berbasis pada budaya dan kepercayaan masyarakat
maka konflik kekerasan diperkirakan akan terus berulang (2005 : vi).
Yohanes juga menyebutkan bahwa
konflik kekerasan antara Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat selama
ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku Dayak, namun
sebenarnya bukan tradisi ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan lebih
sebagai akibat dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan
kekerasan terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri
kekerasan tidak pernah dikaitkan dengan isu-isu keagamaan (2005:312-313).
Di sisi Suku Madura, perilaku dan
tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan Barat, baik yang sudah lama
maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di
tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan merespon amarah atau
kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan pula
(Yohanes Bahari, 2002:314). Karena itu, kecenderungan kekerasan ini pulalah
yang mudah dipicu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.
Penelitian lainnya yang peneliti
angkat sebagai referensi untuk penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Julia
Magdalena Wuysang. Wuysang (2003) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh
Stereotip etnik, Prasangka Sosial dan Kecenderungan Berperilaku terhadap Jarak
Sosial Antaretnik Melayu dan Etnik Madura di Kota Pontianak. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dalam interaksi antara Etnik Melayu dan Etnik
Madura, salah satu pesan yang disampaikan yakni ciri, sifat, dan atribut
negatif yang dilekatkan pada suatu etnik tertentu. Perasaan negatif terhadap
etnik lain ini merupakan prasangka yang akan menjadi penghambat komunikasi.
Padahal, perasaan negatif tersebut sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi
karena perbedaan penafsiran pesan yang dibawa komunikator dan komunikan hingga
akhirnya memperbesar jarak sosial.
Wuysang juga menemukan bahwa
individu dari kedua etnik itu memiliki kecenderungan berperilaku diskriminatif
dalam mereaksi pesan dari etnik lain, misalnya etnik Melayu cenderung
berperilaku diskriminatif terhadap etnik Madura, atau sebaliknya. Hal tersebut
dilakukan dengan kecenderungan untuk tidak menerima komunikator etnik lain
dengan berbagai cara.
Dalam kesimpulannya, Wuysang
meyatakan bahwa stereotip etnik, prasangka sosial dan kecenderungan berperilaku
diskriminatif yang ada di antara etnik akan memperbesar jarak sosial
antaretnik. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga mempengaruhi jarak sosial
antara kedua etnik itu adalah : faktor budaya asal, orang tua, kelompok
pergaulan dan guru, kepribadian individu, tingkat pendidikan, pekerjaan,
perkawinan, media massa, tempat tinggal, pemukiman dan lama tinggal, serta
pola-pola interaksi intraetnik dan antaretnik. Dari penelitian tersebut,
Wuysang memperoleh beberapa konsep, yakni:
- Perbedaan karakteristik etnik merupakan hal yang alami, esensinya adalah mencari dan mengembangkan persamaan di dalam hubungan antar etnik;
- Mengenali hambatan di dalam komunikasi antarbudaya dapat mengeliminir akibat yang ditimbulkannya.
Selain penelitian yang berkaitan
dengan penyebab konflik, peneliti juga melakukan kajian pustaka terhadap
kondisi setelah konflik. Salah satu yang menarik dan sangat relevan dengan
penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Sikwan pada tahun
2003. Penelitian tersebut berjudul Model Program Pemberdayaan Dalam Rangka
Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Pengungsi Etnik Madura Asal Sambas di Kota
Pontianak, Kalimantan Barat (Empowerment Program Model to Increase The Welfare
of Madurese Refugees from sambas In Pontianak, West Kalimantan). Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
pengungsi Etnik Madura asal Sambas yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah
setempat (aparat birokrasi) tidak melibatkan partisipasi aktif seluruh
masyarakat pengungsi secara luas dalam setiap kegiatan program pemberdayaan.
Padahal, pembangunan masyarakat (dalam hal ini adalah pengungsi) adalah proses
yang dirancang untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi yang lebih maju dan
sehat bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif mereka, serta
berdasarkan kepercayaan yang penuh terhadap prakarsa mereka sendiri. Jadi,
pemerintah membuat program tanpa meminta masukan dari pengungsi, hingga
akhirnya program-program tersebut tidak relevan bagi pengungsi.
Penelitian Sikwan ini secara
tersirat menunjukkan bahwa pada akhirnya pengungsi etnik Madura harus
memutuskan sendiri hal-hal apa yang harus mereka lakukan baik secara sosial
maupun ekonomi untuk dapat kembali kepada kehidupan yang normal. Bagi saya,
hasil penelitian Sikwan ini menyiratkan bahwa dalam berkomunikasi dan menjalin
kembali hubungan dengan etnik lain, khususnya Dayak dan Melayu, pengungsi Etnik
Madura ternyata tidak dibimbing dan dibina oleh aparat pemerintah sebagai
pelaksana program pemberdayaan. Etnik Madura bergerak atas prakarsa dan kemauan
mereka sendiri, karena program-program yang dilakukan pemerintah tidak mencakup
bagaimana mereka dapat kembali bersosialisasi dengan etnik lain.
Soulusinya
Khususnya bagi setiap individu harus bisa mengkontrol emosi, dan bisa berpikir dengan jernih, tidak usah saling melakukan kekerasan. Dan pihak-pihak terkayit harus berfikir secara bijak agar tidak terjadi perang besar antar sekelompk orang masyarakatbaik dari suku Dayak maupun Madura.
Khususnya bagi setiap individu harus bisa mengkontrol emosi, dan bisa berpikir dengan jernih, tidak usah saling melakukan kekerasan. Dan pihak-pihak terkayit harus berfikir secara bijak agar tidak terjadi perang besar antar sekelompk orang masyarakatbaik dari suku Dayak maupun Madura.
Konflik Poso
Menurut sebagian besar pengamat, konflik yang
terjadi di Poso merupakan konflik horisontal antar agama, meskipun konflik
tersebut tidaklah sederhana, karena melibatkan juga persilangan antar etnik,
baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta
masuknya kekuatan luar seperti laskar jihad maupun militer. Disisi lain ada
yang menjelaskan bahwa konflik Poso terjadi bukan karena masalah agama, namun
adanya rasa ketidakadilan. Awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi
yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua
kekuasaan. Meskipun pada awalnya yang disepakati dalam muspida setempat selalu
diusahakan adanya keseimbangan. Seperti jika Bupatinya berasal dari kalangan
Kristen maka Wakil Bupatinya akan dicarikan dari Islam, begitu pula sebaliknya.
Terlepas dari semua itu, konflik yang terjadi di Poso adalah bagian dari
konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat
dipisahkan dan bertalian satu sama lain.
Akhirnya konflik tersebut terjadi pada akhir
tahun 1998 dan berlarut-larut sampai dengan enam jilid. Pendapat mengenai akar
dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut
persoalan suku dan agama. Serta ketidakadilan dan diskriminatif terhadap
masyarakat. Kesinambungan politik juga merambah dalam melatarbelakangi masalah
ini dimana pengasaan struktur pemerintahan oleh satu pihak dalam arti tidak ada
keseimbangan jabatan dalam pemerintahan.
Konflik di Poso yang muncul
di permukaan lebih terlihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar
golongan). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konfli Poso lebih
didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial
ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso
yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan
Gorontalo. Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan
Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke
Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara.
Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis
yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah
Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan
cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan
bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah
yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan
wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas
Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah
(dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana
proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.
Langkah awal pemerintah
dalam rangka penanganan pengungsi Poso pasca deklarasi Malino antara lain
1.
Penyelesaian permasalahan
pengungsi melalui upaya rekonsiliasi yang intensif serta dukungan dari berbagai
pihak baik yang tertikai, lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk mengupayakan
situasi yang lebih kondusif.
2.
Sosialisasi kepada masyarakat
mengenai rencana penyelesaian masalah pengungsi secara menyeluruh.
3.
Implementasi pelaksanaan deklarasi
Malino yang meliputi rehabilitasi prasarana dan sarana umum serta rehabilitasi
perumahan.
Faktor- faktor yang memicu konflik budaya:
Perbedaan
Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka adalah sifat negative terhadapsesuatu. Dalam
kondisi prasangka untuk menggapai akumulasi materi tertentu atau untuk status social
bagi suatu individu atau suatu kelompok social tertentu. Seorang yang
berprasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkanya.
Etnosentrisme
Suku bangsa ras cenderung menganggap kebudayaan sebagai
salah satu yang prima, riil, logis, sesuai kodrat alam,dsb. Etnosentrisme
merupakan gejala social yang universal. Etnosentrik
merupakan akibat etnosentrisme penyebab utama kesalah pahaman berkomunikasi.
Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap Chauvinisme pernah dianut orang –
orang Jerman zaman Nazi.
Sebab Timbulnya Prasangka :
Berlatar belakang sejarah.
Dilatar belakangi oleh perkembangan
sosiokultural dan situsional.
Bersumber dari factor kepribadian.
Berlatar belakang dari perbedaan
keyakinan dan agama
Daya Upaya
Untuk Mengurangi Prasangka dan Diskriminasi
Perbaikan kondisi social ekonomi, pemerataan
pembangunan, dan usaha peningkatan pendapatan bagi WNI yang masih di bawah
garis kemiskinan. Perluasan kesempatan belajar.
Sikap terbuka dan lapang harus selalu kita sadari.
Sikap terbuka dan lapang harus selalu kita sadari.
Contoh Kasus
:
Masalah diskriminasi antara umat Muslim dan Nasrani
yang terjadi di Poso. Kasus Tibo adalah sebuah kasus mengenai penyelesaian
Kerusuhan Poso. Tibo sendiri merupakan salah satu terdakwa dari tiga terdakwa
dalam kasus ini. Tiga orang terdakwa dalam kasus ini adalah Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka ditangkap pada Juli dan Agustus
2000. Dan dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan
kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan
memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan
perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko
Baru.
Solusi:
Pemerintah harus menangkap oknum-oknum dari pihak muslim dan nasrani sebagai dalang provokator masalah tersebut. Melakukan perundingan antara tokoh utama Muslim dan Kristen.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan landasan dalam mengelola sikap
terhadap konflik, yaitu:
1.
Bersikap dan bertindak bijak
terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain (orang tua, pasangan hidup,
sahabat atau orang yang kurang kita sukai). Sikap bijak lahir dari kesadaran
diri bahwa tiada manusia yang sempurna. Kekurangan orang lain kerap kali
menyulut konflik ketika kita tidak siap dan tidak mau menerimanya. Kelebihan
orang lain pun tak jarang membuat kita merasa iri, benci memusuhi dan akhirnya
jadi dengki… Naudzubillah. Kekurangan seseorang, baik moral maupun material
bukan untuk dihakimi. Kekurangan adalah sisi ketidaksempurnaan yang patut kita
lengkapi dengan pengertian, serta keikhlasan untuk membantu memperbaikinya.
Sedangkan kelebihan orang merupakan anugerah Alloh SWT yang sangat pantas kita
syukuri. Berani mengakui kelebihan orang dan menghargainya adalah bagian dari
memuliakan Yang Maha Bijaksana. Memang tidak mudah merealisasikannya karena
butuh keikhlasan untuk melakukannya. Namun, dengan belajar dan berlatih
memahami orang lain akan menuntun kita pada sikap dan tindakan yang bijak.
(saya juga sedang belajar)
2.
Bersikap dan bertindak bijak
terhadap diri sendiri dengan mensyukuri kelebihan yang kita miliki,
memanfaatkan kelebihan diri dengan rendah hati di jalan kebaikan dan kebenaran,
serta menyadari kekurangan diri dan selalu berupaya memperbaiki diri.
Sebaik-baik manusia adalah yang tidak sibuk mengutuk kekurangan diri, tetapi
selalu berusaha memperbaiki diri. Banyak di antara kita yang mungkin masih
menganggap kekurangan (diri sendiri dan orang lain) sebagai aib yang harus
di-genocida secara mutlak. Padahal, kekurangan bisa membuat kita dicintai
selama kita terus berusaha memperbaikinya dan tidak selalu mengharap
dikasihani. Menyadari kekurangan diri akan mmbenamkan hati kita ke dalam
keinsyafan bahwa kita membutuhkan orang lain untuk berbagi, saling mengisi dan
saling melengkapi.
3.
Melunakkan hati dan memaafkan.
Untuk melakukan kedua hal ini diperlukan kesabaran dan ketulusan. Konflik
seringkali membuat kita merasa tersakiti dan ingin mengakhiri sebuah hubungan
dengan siapa saja. Itu mah jalan pintas. Nafsu harus dikendalikan agar tidak
memicu konflik yang berkepanjangan.
Memaafkan kesalahan orang lain memang tidak mudah. Butuh waktu, kesabaran, keikhlasan dan lagi-lagi pengertian. Orang berbuat salah tidak selalu disengaja. Seperti yang pernah diungkapkan K.H. Abdullah Gymnastiar dalam tausyiahnya bahwa ada orang yang berbuat salah karena ia tidak menyadari bahwa ia salah dan ada orang yang melakukan kesalahan kemudian ia mengetahui perbuatannya salah, tetapi ia belum sanggup memperbaikinya. Mungkin orang lain yang berkonflik dengan kita juga menganggap kita yang salah dan tidak bisa dimaafkan. Makanya, agama menyuruh kita untuk saling memaafkan, selalu mengingat kebaikan orang lain terhadap kita dan melupakan jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain agar kita dapat melatih diri mengelola emosi (nafsu amarah). Dengan melupakan jasa diri terhadap orang lain, kita bisa menghilangkan rasa sakit hati ketika orang tersebut tidak menghargai kebaikan kita. Dengan mengingat kebaikan orang lain, kita dapat melunakkan hati kita untuk tidak memasung hati dalam kebencian. Bagaimanapun, kebencian yang kita tanam akan membuat hati semakin keras dan angkuh (merasa diri tak pernah berbuat salah).
Memaafkan kesalahan orang lain memang tidak mudah. Butuh waktu, kesabaran, keikhlasan dan lagi-lagi pengertian. Orang berbuat salah tidak selalu disengaja. Seperti yang pernah diungkapkan K.H. Abdullah Gymnastiar dalam tausyiahnya bahwa ada orang yang berbuat salah karena ia tidak menyadari bahwa ia salah dan ada orang yang melakukan kesalahan kemudian ia mengetahui perbuatannya salah, tetapi ia belum sanggup memperbaikinya. Mungkin orang lain yang berkonflik dengan kita juga menganggap kita yang salah dan tidak bisa dimaafkan. Makanya, agama menyuruh kita untuk saling memaafkan, selalu mengingat kebaikan orang lain terhadap kita dan melupakan jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain agar kita dapat melatih diri mengelola emosi (nafsu amarah). Dengan melupakan jasa diri terhadap orang lain, kita bisa menghilangkan rasa sakit hati ketika orang tersebut tidak menghargai kebaikan kita. Dengan mengingat kebaikan orang lain, kita dapat melunakkan hati kita untuk tidak memasung hati dalam kebencian. Bagaimanapun, kebencian yang kita tanam akan membuat hati semakin keras dan angkuh (merasa diri tak pernah berbuat salah).
Sejatinya, konflik
merupakan pembelajaran sikap hidup, pendewasaan berpikir dan pematangan jiwa
seseorang. Dengan adanya konflik, kita mengetahui sifat dan karakter seseorang
yang mungkin selama ini tertutupi. Konflik juga mendidik kita untuk belajar
memahami orang lain, menghargai perbedaan dan mengamalkan nilai-nilai
kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari yang berbhineka.
DAFTAR PUSTAKA
Kompas,
17 Februari 2011
Sianturi, Eddy MT. Konflik Poso dan solusinya. (http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=7
0 komentar:
Posting Komentar