Minggu, 24 Maret 2013

TUGAS UK 4 INTEGRASI NASIONAL



Soal
Adapun konflik yang dipicu ideologi dan budaya cenderung abstrak dan punya aspek yang fundamental yang terlibat konflik sangat tergantung pada sudut pandang mereka tentang sumber tujuan dan cara penyelesaian konflik. Kumpulkan data yang terkait tentang itu dan bagaimana mereka menyelesaikannya pada masing-masing konflik yang terjadi. Pilihlah penyelesaian yang terbaik menurut Anda!

Jawab:
Sebagai negara dengan penduduk dari berbagai kelompok dan kelas sosial, sejak awal Indonesia rawan mengalami berbagai bentuk disintegrasi sosial. Dua dekade terakhir konflik sering terjadi karena berbagai sebab. Konflik horizontal ataupun vertikal bahkan terjadi dalam skala yang sangat keras, menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan hilangnya nyawa. Selain itu, ada konflik yang dipicu oleh ideologi dan budaya yang cenderung abstrak dan memilki aspek fundamental itu sendiri. Ada berbagai faktor penyebab, sumber konflik, akibat, dan solusi. Sebelum membahas hal tersebut, perlu diketahui pengertian dari konflik, ideologi, dan budaya itu sendiri.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Kemudian penjelasan dari sumber konflik, faktor-faktor yang mempengaruhi, akibat dan solusi.
*      Persepsi sumber konflik
Sepuluh tahun terakhir konflik bisa terjadi dalam berbagai bentuk dengan berbagai dimensi pemicu: ekonomi, politik, budaya, dan ideologi. Konflik-konflik yang berdimensi ekonomi dan politik acap kali terkait dengan siapa mendapat apa, siapa kehilangan apa, dan berapa banyak kehilangannya. Konflik berdimensi ekonomi cenderung bersifat riil. Konflik yang berdimensi budaya dan ideologi memiliki aspek yang lebih fundamental dan karena itu cenderung abstrak. Bentuk-bentuk aksi para pihak yang terlibat konflik sangat bergantung pada bagaimana mereka melihat sumber, tujuan konflik, dan cara penyelesaian konflik. Secara teoretis, apa pun jenis konfliknya, ada dua elemen utama yang sering berkombinasi menjadi sumber hakiki konflik.
Pertama, elemen identitas atau potent identity-based factors. Kelompok-kelompok sosial dimobilisasi dengan membawa identitas komunal kelompok, seperti ras, agama, ideologi, dan kepentingan kelompok.
Kedua, elemen persepsi terhadap distribusi sumber ekonomi, politik, dan sosial dalam masyarakat. Ketika elemen potent identity-based factors dan elemen persepsi tentang ketidakadilan ekonomi-sosial ini bercampur, potensi konflik menjadi sangat tinggi dan memicu konflik yang mengakar (deep-rooted conflict).
Di Indonesia, konflik identitas yang berlatar belakang isu SARA paling potensial meledak. Isu Kristenisasi, pelarangan pembangunan gereja di sejumlah wilayah, syak wasangka antarkelompok pemeluk agama, isu pribumi versus nonpribumi, dan sejenisnya adalah hal-hal yang masih sering muncul. Karakteristik konflik horizontal yang berdimensi identitas adalah sifatnya yang persisten dan sering tumpang-tindih dengan isu-isu kesenjangan ekonomi. Konflik-konflik yang berbasis SARA ini bercampur dengan konflik distribusi sumber produksi, wilayah, ekonomi, dan prospek lapangan kerja sehingga penanganannya lebih rumit.
Dalam konflik (latent) ideologi, seperti di Temanggung, Jawa Tengah, dan Pandeglang, Banten, salah satu faktor penting adalah menyangkut persepsi. Inilah penentu apakah hubungan antarkelompok mengarah pada tindak kekerasan atau tidak. Di berbagai daerah, ada kecenderungan kelompok agama tertentu dianggap ancaman terhadap stabilitas, kelangsungan hidup, kedaulatan, kultur, sosial, dan kepentingan vital lain sehingga pada tingkat kelompok kompromi sulit dicapai.
*      Faktor- faktor penyebab konflik secara umum
a.       Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
b.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.       Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda..
d.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya.
*      Akibat konflik secara umum
a.       meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b.      keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
c.       perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
d.      kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
e.       dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik
*      Sistem peringatan dini
Agar konflik tidak berkembang, yang dibutuhkan adalah mekanisme sistem peringatan dini sosial (social early warning system). Prinsip dasar mekanisme deteksi dini adalah pemerintah secara proaktif mendeteksi, memantau, menganalisis, dan menangani setiap benih konflik sedini dan secepat mungkin. Deteksi dini diutamakan pada titik-titik kelompok strategis di tingkat lokal ataupun pada titik-titik persentuhan pemerintah dengan masyarakat lokal. Dalam pengembangan mekanisme peringatan dini, beberapa hal perlu mendapat perhatian.
Pertama, menentukan siapa yang pantas menjadi penghubung dan pendeteksi kemungkinan terjadinya keresahan sosial di masyarakat. Pendeteksi tidak harus aparat keamanan, tetapi bisa juga berasal dari orang-orang yang benar-benar mengenali daerahnya. Dalam hal ini, kelompok-kelompok sekunder di masyarakat, seperti organisasi berbasis komunitas (community based organization), tokoh masyarakat, dan tokoh agama potensial menjadi pemantau. Tugas pendeteksi menjadi mata dan telinga atas berbagai desas-desus dan ketidakpuasan warga masyarakat.
Kedua, menentukan dan menawarkan kepada masyarakat bentuk penyaluran keluhan keresahan sosial. Dari yang informal, semi-informal, hingga formal. Yang penting, saluran benar-benar dipercaya masyarakat, transparan, serta melindungi identitas dan keselamatan warga masyarakat yang melaporkan keresahan di wilayahnya. Posisi pemerintah daerah, baik di tingkat desa, kecamatan, maupun tingkat yang lebih tinggi, tidak boleh serba dominan, apalagi represif. Pejabat setempat harus bijak dan apa pun keluhannya justru harus direspons secara proporsional.
*      Cara penanganan konflik
Ada beberapa cara  penanganan konflik, yaitu:
Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri
sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk
menangani konflik antara lain :
    •  Introspeksi diri
    • Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat
    • Identifikasi sumber konflik
    • Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam
penanganan konflik :
  1. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan – bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
  1. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
  1. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut
  1. Kompromi
indakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)
  1. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menag dengan saling bekerja sama. Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.

Contoh spesifik dari konflik yang dipicu oleh ideologi:
Detik.com Kerusuhan bernuansa SARA juga meletup di Temanggung, Jawa Tengah. Massa yang tak puas terhadap tuntutan 5 tahun terhadap Antonius Richmond Bawengan, terdakwa penistaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung, mengamuk. Massa menilai vonis ini terlalu ringan.
“Ada pengadilan penodaan agama divonis hari ini. Vonisnya sudah maksimum sesuai tuntutan jaksa yakni 5 tahun. Tapi massa menghendaki hukuman mati. Massa marah,” kata Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Edward Aritonang saat dihubungi detikcom, Selasa (8/2/2011). Meskipun Edward menyebutkan vonis, namun agenda sidang yang betul adalah tuntutan.
Edward mengatakan, massa kemudian menggulingkan sebuah truk Polri dari kesatuan Dalmas yang ada di sekitar pengadilan. Polisi mencoba menghadapi massa secara persuasif karena kasus ini menyangkut agama.
“Siapa pun ya marah kalau soal agama. Tapi kita coba memahami. Hakim juga sudah memvonis maksimum,” ujarnya.
Polisi sudah mengevakuasi terdakwa ke Semarang. Menurut Edward, situasi di pengadilan sudah mulai kondusif. “Kejadiannya tadi pukul 10.00 WIB, sekarang sudah mulai kondusif. Saya lagi di jalan menuju lokasi,” ungkap Edward yang berkedudukan di Semarang ini.
Sidang kasus ini selalu dihadiri pengunjung dari berbagai ormas dan sering terjadi kericuhan. Menyitir Media Indonesia Online edisi Kamis, 20 Januari 2011, kasus yang menjerat warga asal Manado ini terjadi pada 3 Oktober 2010. Ketika itu Antonius yang menggunakan KTP berdomisili di Kebon Jeruk, Jakarta menginap di tempat saudaranya di Dusun Kenalan, Desa/Kecamatan Kranggan, Temanggung.
Sedianya ia hanya semalam di tempat itu untuk melanjutkan pergi ke Magelang. Namun waktu sehari tersebut digunakan untuk membagikan buku dan selebaran berisi tulisan yang dianggap menghina umat Islam. Karenanya, sejak 26 Oktober 2010, ia ditahan.
Dalam selebaran dan buku itu antara lain ditulis dinding Kabah yang terpasang  hajar aswad merupakan kelamin wanita. Tempat pelemparan jumroh yang merupakan bangunan setengah lingkaran itu disebut terdakwa berkelamin laki-laki. Selain itu, terdakwa menggambarkan wajah Islam sebagi bengis dan kejam. Tulisan ini memancing emosi umat Islam. (gus/nrl)
detik.com juga memberitakan, Kerusuhan di Temanggung merupakan buntut dari sikap massa yang tidak puas dengan sikap jaksa yang hanya menuntut terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmond Bawengan. Massa meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa terdakwa dengan hukuman mati.
Berikut kronologi singkat proses hukum Antonius seperti yang dituturkan Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri Brigjen Pol I Ketut Untung Yoga Ana saat ditemui wartawan di ruang kerjanya, Jl Trunojoyo, Jaksel, Selasa (8/2/2011).
23 Oktober 2010, Antonius yang merupakan warga Duren Sawit, Jakarta Timur, diketahui tertangkap tangan menyebarkan selebaran yang berisi penistaan agama. Salah satu selebaran itu diletakkan di depan rumah warga.
Warga yang mengetahui perbuatan Richmond langsung melaporkannya ke Polres Temanggung dan kemudian polisi menangkap dan menjebloskannya ke penjara sambil menunggu jadwal sidang.
Sidang telah berlangsung 3 kali di PN Temanggung, yaitu pada tanggal 20, 27 Januari, dan 8 Februari. Sidang hari ini berupa pembacaan tuntutan.
Saat persidangan berlangsung, tidak terjadi keributan di dalam ruang sidang. Namun, massa yang berada di luar ruangan mulai memanas usai pembacaan tuntutan oleh jaksa. Polisi berusaha menenangkan namun massa bergerak dan melakukan perusakan.
Mabes Polri mencatat ada 3 gereja yang dirusak oleh massa yang tidak puas dengan sidang kasus penistaaan agama di PN Temanggung, Jawa Tengah. 2 Truk milik kesatuan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Temanggung dirusak.
“Tiga buah gereja dirusak, dua di antaranya dibakar. Mobil polisi dua, beberapa yang mengalami luka akibat benturan, tapi nggak ada yang serius,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Untung Yoga Ana di kantornya, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (8/2/2011)..
Sementara itu Kabag Penum Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafli Amar menyatakan, pihaknya masih belum mengetahui siapa massa yang melakukan tindak anarkis tersebut. Namun siapa pun mereka, polisi tidak akan menolerir tindakan tersebut dan akan menindak tegas.
“Kita belum tahu. Siapapun yang terlibat harus ditindak tegas,” ujarnya.
Hingga kini, lanjut Boy, polisi masih melokalisir tempat, mengumpulkan sejumlah saksi, dan barang bukti serta menangkap para pelaku.
“Kita sangat menyesalkan adanya kejadian tersebut yang terkait sidang terdakwa Antonius soal penistaan agama,” ungkapnya.
Massa yang mengamuk di depan PN Temanggung, Jawa Tengah semakin bengis. Tak cuma membakar mobil Dalmas di depan pengadilan, 3 gereja pun diserang. Sejumlah kendaraan yang terparkir di gereja tersebut dibakar.
3 Gereja yang diserang yakni Gereja Bethel Indonesia Jl Soepeno, Gereja Kristen Protestan Kanisius, dan Gereja Katolik Temanggung.
Di Gereja Bethel, massa membakar 5 motor dan pos satpam. Pintu gereja juga ikut dijebol. Kantin gereja, kantor serta sekolah Kristen Shekinah yang berada di halaman gereja dirusak.
Seorang satpam Gereja Bethel, Heru mengatakan, sekitar pukul 10.30 WIB, tiba-tiba ada segerombolan orang datang dan menyerang gereja. Massa melempari gereja dengan batu dan balok-balok kayu. Sontak Heru dan sejumlah guru di sekolah menyelamatkan diri dari serangan batu massa.
“Saat itu saya sedang berada di dalam pos satpam. Tiba-tiba segerombolan massa datang dan melempari batu. Saya lari mengamankan diri, begitu juga dengan guru-guru di sini,” ujar Heru.
Tak puas dengan melempari batu, massa kemudian membakar pos satpam dan 5 motor yang tengah di parkir di halaman gereja. Setelah itu massa pun pergi.
Massa lalu menyerang Gereja Kanisius. Di gereja ini, massa membakar 3 mobil. Kemudian massa beralih ke Gereja Katolik. Di Gereja Katolik, massa melempari gereja dan menjebol pintu masuk.
VIVAnews, memberitakanTemanggung, Jawa Tengah, selama ini dikenal sebagai kota yang sejuk dan tenang. Kesejukan itu juga terlihat dalam kehidupan sosial. Kerukunan dan keharmonisan sesama umat beragama sangat terjaga.
Hari ini, Selasa 8 Februari 2011, kesejukan kota itu robek oleh kerusuhan. Tiga gereja dirusak massa lantaran mereka dihalangi polisi menghadiri sidang yang mengadili Antonius Richmond Bawengan, seorang Kristen Protestan yang didakwa melakukan penodaan agama. Polisi cemas massa akan melakukan tindakan anarkis di ruang sidang.
Perusakan tempat ibadah ini, menurut Romo Aloysius Budi Purnomo, Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Gereja Katolik yang bertugas di Semarang, merupakan pelampiasan ketidakpuasan massa terhadap tuntutan jaksa lima tahun penjara kepada Antonius.
Tradisi kerukunan di Temanggung, kata Romo Budi, sebetulnya sudah berlangsung turun-temurun dan selama ini tidak pernah terganggu aksi rusuh semacam itu. Romo Budi tidak mau berprasangka buruk ada dalang di balik aksi ini. Dia percaya pihak yang berwajib akan dapat segera mengungkapnya.
Kasus yang menjerat Antonius ini, kata Romo Budi, bermula sekitar setahun lalu, yaitu di tahun 2010. Saat itu, Antonius yang memegang KTP Jakarta, datang ke Temanggung untuk mengunjungi rumah sanak saudaranya. Di Temanggung, dia malah terjerat hukum karena menyebarkan pamflet-pamflet dan buku yang isinya memprovokasi sekaligus melecehkan agama Katolik maupun Islam.
“Salah satu isinya, dia menyebarkan pamflet anti Bunda Maria. Itu kan pengingkaran iman Katolik seutuhnya. Nah, dalam rangka itu, dia juga mengutip Alquran,” kata Romo Budi.
Bunda Maria sangat dimuliakan dalam Gereja Katolik.
Setelah selesai disidik, Selasa ini, 8 Februari 2011, sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa dilangsungkan di PN Temanggung. Mendengar jaksa menuntut Antonius lima tahun penjara, massa yang menghadiri persidangan marah.
Dengan beringas, mereka lalu merusak gedung pengadilan, termasuk membakar dan merusak tiga gereja Katolik dan Kristen Protestan.
Romo Budi heran kenapa massa merusak gereja, dan juga merusak Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus. Padahal, kata Romo Budi, Katolik sendiri sebenarnya ikut dinodai oleh tindakan ngawur Antonius.
Dalam perkara ini, Gereja Katolik setempat tidak ikut mengadukan Antonius ke pihak berwajib. “Provokasi yang dilakukan Antonius itu sangat merugikan iman Katolik dan juga iman saudara kami yang Muslim,” kata Romo Budi. (kd)
• VIVAnews
VIVAnews – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  mengecam keras tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang yang membakar rumah peribadatan dan fasilitas lain di Temanggung, Jawa Tengah. Selain itu, aparat keamanan diminta melakukan tindakan tegas.
“Presiden mengecam,” kata Menko Polhukam, Djoko Suyanto dalam pesan singkatnya yang diterima VIVAnews.com di Jakarta, Selasa malam 8 Februari 2011.
Presiden, kata dia, memerintahkan Polda Jawa Tengah segera mencari pelaku tindakan anarkis tersebut dan segera ditindaklanjuti dengan proses hukum yang berlaku.
Selain itu, Djoko menuturkan, Presiden juga meminta aparat Pemda dan keamanan di daerah agar meningkatkan deteksi, dan tindakan pencegahan dini, serta menindak tegas setiap tindakan anarkis apapun alasan yang melatarbelakanginya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kerusuhan ini bermula dari sidang penistaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung. Massa yang tidak puas, merangsek ke luar pengadilan dan melakukan perusakan. Tiga gereja jadi korban, ada yang dibakar dan dirusak. Sejumlah mobil dna motor dibakar. Sebanyak sembilan warga terluka dan sempat dibawa ke RSUD Temanggung.

Contoh konflik yang dipicu perbedaan budaya:
Sebuah penelitian mengenai konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura pernah dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005, penelitian tersebut berjudul Resolusi Konflik berbasis Pranata Adat Pamabakng dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Hasil penelitian tersebut salah satunya menyebutkan bahwa konflik-konflik kekerasan yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura disebabkan oleh faktor-faktor struktural yang dilandasi oleh faktor faktor kultural; apabila faktor-faktor struktural dan kultural ini tidak diatasi dengan tuntas dan sepanjang resoluasi konflik tidak mengedepankan resolusi yang berbasis pada budaya dan kepercayaan masyarakat maka konflik kekerasan diperkirakan akan terus berulang (2005 : vi).
Yohanes juga menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat selama ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku Dayak, namun sebenarnya bukan tradisi ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan lebih sebagai akibat dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan kekerasan terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri kekerasan tidak pernah dikaitkan dengan isu-isu keagamaan (2005:312-313).
Di sisi Suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan Barat, baik yang sudah lama maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan merespon amarah atau kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan pula (Yohanes Bahari, 2002:314). Karena itu, kecenderungan kekerasan ini pulalah yang mudah dipicu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.
Penelitian lainnya yang peneliti angkat sebagai referensi untuk penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Julia Magdalena Wuysang. Wuysang (2003) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Stereotip etnik, Prasangka Sosial dan Kecenderungan Berperilaku terhadap Jarak Sosial Antaretnik Melayu dan Etnik Madura di Kota Pontianak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam interaksi antara Etnik Melayu dan Etnik Madura, salah satu pesan yang disampaikan yakni ciri, sifat, dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu etnik tertentu. Perasaan negatif terhadap etnik lain ini merupakan prasangka yang akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena perbedaan penafsiran pesan yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya memperbesar jarak sosial.
Wuysang juga menemukan bahwa individu dari kedua etnik itu memiliki kecenderungan berperilaku diskriminatif dalam mereaksi pesan dari etnik lain, misalnya etnik Melayu cenderung berperilaku diskriminatif terhadap etnik Madura, atau sebaliknya. Hal tersebut dilakukan dengan kecenderungan untuk tidak menerima komunikator etnik lain dengan berbagai cara.
Dalam kesimpulannya, Wuysang meyatakan bahwa stereotip etnik, prasangka sosial dan kecenderungan berperilaku diskriminatif yang ada di antara etnik akan memperbesar jarak sosial antaretnik. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga mempengaruhi jarak sosial antara kedua etnik itu adalah : faktor budaya asal, orang tua, kelompok pergaulan dan guru, kepribadian individu, tingkat pendidikan, pekerjaan, perkawinan, media massa, tempat tinggal, pemukiman dan lama tinggal, serta pola-pola interaksi intraetnik dan antaretnik. Dari penelitian tersebut, Wuysang memperoleh beberapa konsep, yakni:
  1. Perbedaan karakteristik etnik merupakan hal yang alami, esensinya adalah mencari dan mengembangkan persamaan di dalam hubungan antar etnik;
  2.  Mengenali hambatan di dalam komunikasi antarbudaya dapat mengeliminir akibat yang ditimbulkannya.
Selain penelitian yang berkaitan dengan penyebab konflik, peneliti juga melakukan kajian pustaka terhadap kondisi setelah konflik. Salah satu yang menarik dan sangat relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Sikwan pada tahun 2003. Penelitian tersebut berjudul Model Program Pemberdayaan Dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Pengungsi Etnik Madura Asal Sambas di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Empowerment Program Model to Increase The Welfare of Madurese Refugees from sambas In Pontianak, West Kalimantan). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pengungsi Etnik Madura asal Sambas yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah setempat (aparat birokrasi) tidak melibatkan partisipasi aktif seluruh masyarakat pengungsi secara luas dalam setiap kegiatan program pemberdayaan. Padahal, pembangunan masyarakat (dalam hal ini adalah pengungsi) adalah proses yang dirancang untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi yang lebih maju dan sehat bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif mereka, serta berdasarkan kepercayaan yang penuh terhadap prakarsa mereka sendiri. Jadi, pemerintah membuat program tanpa meminta masukan dari pengungsi, hingga akhirnya program-program tersebut tidak relevan bagi pengungsi.
Penelitian Sikwan ini secara tersirat menunjukkan bahwa pada akhirnya pengungsi etnik Madura harus memutuskan sendiri hal-hal apa yang harus mereka lakukan baik secara sosial maupun ekonomi untuk dapat kembali kepada kehidupan yang normal. Bagi saya, hasil penelitian Sikwan ini menyiratkan bahwa dalam berkomunikasi dan menjalin kembali hubungan dengan etnik lain, khususnya Dayak dan Melayu, pengungsi Etnik Madura ternyata tidak dibimbing dan dibina oleh aparat pemerintah sebagai pelaksana program pemberdayaan. Etnik Madura bergerak atas prakarsa dan kemauan mereka sendiri, karena program-program yang dilakukan pemerintah tidak mencakup bagaimana mereka dapat kembali bersosialisasi dengan etnik lain.
Soulusinya
Khususnya bagi setiap individu harus bisa mengkontrol emosi, dan bisa berpikir dengan jernih, tidak usah saling melakukan kekerasan. Dan pihak-pihak terkayit harus berfikir secara bijak agar tidak terjadi perang besar antar sekelompk orang masyarakatbaik dari suku Dayak maupun Madura.
Konflik Poso
Menurut sebagian besar pengamat, konflik yang terjadi di Poso merupakan konflik horisontal antar agama, meskipun konflik tersebut tidaklah sederhana, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar seperti laskar jihad maupun militer. Disisi lain ada yang menjelaskan bahwa konflik Poso terjadi bukan karena masalah agama, namun adanya rasa ketidakadilan. Awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Meskipun pada awalnya yang disepakati dalam muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan. Seperti jika Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakil Bupatinya akan dicarikan dari Islam, begitu pula sebaliknya. Terlepas dari semua itu, konflik yang terjadi di Poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain.
Akhirnya konflik tersebut terjadi pada akhir tahun 1998 dan berlarut-larut sampai dengan enam jilid. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam hal ini menyangkut persoalan suku dan agama. Serta ketidakadilan dan diskriminatif terhadap masyarakat. Kesinambungan politik juga merambah dalam melatarbelakangi masalah ini dimana pengasaan struktur pemerintahan oleh satu pihak dalam arti tidak ada keseimbangan jabatan dalam pemerintahan.
Konflik di Poso yang muncul di permukaan lebih terlihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konfli Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara. Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.
Langkah awal pemerintah dalam rangka penanganan pengungsi Poso pasca deklarasi Malino antara lain
1.      Penyelesaian permasalahan pengungsi melalui upaya rekonsiliasi yang intensif serta dukungan dari berbagai pihak baik yang tertikai, lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk mengupayakan situasi yang lebih kondusif.
2.      Sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana penyelesaian masalah pengungsi secara menyeluruh.
3.      Implementasi pelaksanaan deklarasi Malino yang meliputi rehabilitasi prasarana dan sarana umum serta rehabilitasi perumahan.

Faktor- faktor yang memicu konflik budaya:  
*      Perbedaan Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka adalah sifat negative terhadapsesuatu. Dalam kondisi prasangka untuk menggapai akumulasi materi tertentu atau untuk status social bagi suatu individu atau suatu kelompok social tertentu. Seorang yang berprasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkanya.
*      Etnosentrisme
Suku bangsa ras cenderung menganggap kebudayaan sebagai salah satu yang prima, riil, logis, sesuai kodrat alam,dsb. Etnosentrisme merupakan gejala social yang universal. Etnosentrik merupakan akibat etnosentrisme penyebab utama kesalah pahaman berkomunikasi. Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap Chauvinisme pernah dianut orang – orang Jerman zaman Nazi.

Sebab Timbulnya Prasangka :
*      Berlatar belakang sejarah.
*      Dilatar belakangi oleh perkembangan sosiokultural dan situsional.
*      Bersumber dari factor kepribadian.
*      Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan dan agama

Daya Upaya Untuk Mengurangi Prasangka dan Diskriminasi
Perbaikan kondisi social ekonomi, pemerataan pembangunan, dan usaha peningkatan pendapatan bagi WNI yang masih di bawah garis kemiskinan. Perluasan kesempatan belajar.
Sikap terbuka dan lapang harus selalu kita sadari.

Contoh Kasus :
Masalah diskriminasi antara umat Muslim dan Nasrani yang terjadi di Poso. Kasus Tibo adalah sebuah kasus mengenai penyelesaian Kerusuhan Poso. Tibo sendiri merupakan salah satu terdakwa dari tiga terdakwa dalam kasus ini. Tiga orang terdakwa dalam kasus ini adalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka ditangkap pada Juli dan Agustus 2000. Dan dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.

Solusi:
Pemerintah harus menangkap oknum-oknum dari pihak muslim dan nasrani sebagai dalang provokator masalah tersebut. Melakukan perundingan antara tokoh utama Muslim dan Kristen.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan landasan dalam mengelola sikap terhadap konflik, yaitu:
1.      Bersikap dan bertindak bijak terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain (orang tua, pasangan hidup, sahabat atau orang yang kurang kita sukai). Sikap bijak lahir dari kesadaran diri bahwa tiada manusia yang sempurna. Kekurangan orang lain kerap kali menyulut konflik ketika kita tidak siap dan tidak mau menerimanya. Kelebihan orang lain pun tak jarang membuat kita merasa iri, benci memusuhi dan akhirnya jadi dengki… Naudzubillah. Kekurangan seseorang, baik moral maupun material bukan untuk dihakimi. Kekurangan adalah sisi ketidaksempurnaan yang patut kita lengkapi dengan pengertian, serta keikhlasan untuk membantu memperbaikinya. Sedangkan kelebihan orang merupakan anugerah Alloh SWT yang sangat pantas kita syukuri. Berani mengakui kelebihan orang dan menghargainya adalah bagian dari memuliakan Yang Maha Bijaksana. Memang tidak mudah merealisasikannya karena butuh keikhlasan untuk melakukannya. Namun, dengan belajar dan berlatih memahami orang lain akan menuntun kita pada sikap dan tindakan yang bijak. (saya juga sedang belajar)
2.      Bersikap dan bertindak bijak terhadap diri sendiri dengan mensyukuri kelebihan yang kita miliki, memanfaatkan kelebihan diri dengan rendah hati di jalan kebaikan dan kebenaran, serta menyadari kekurangan diri dan selalu berupaya memperbaiki diri. Sebaik-baik manusia adalah yang tidak sibuk mengutuk kekurangan diri, tetapi selalu berusaha memperbaiki diri. Banyak di antara kita yang mungkin masih menganggap kekurangan (diri sendiri dan orang lain) sebagai aib yang harus di-genocida secara mutlak. Padahal, kekurangan bisa membuat kita dicintai selama kita terus berusaha memperbaikinya dan tidak selalu mengharap dikasihani. Menyadari kekurangan diri akan mmbenamkan hati kita ke dalam keinsyafan bahwa kita membutuhkan orang lain untuk berbagi, saling mengisi dan saling melengkapi.
3.      Melunakkan hati dan memaafkan. Untuk melakukan kedua hal ini diperlukan kesabaran dan ketulusan. Konflik seringkali membuat kita merasa tersakiti dan ingin mengakhiri sebuah hubungan dengan siapa saja. Itu mah jalan pintas. Nafsu harus dikendalikan agar tidak memicu konflik yang berkepanjangan.
Memaafkan kesalahan orang lain memang tidak mudah. Butuh waktu, kesabaran, keikhlasan dan lagi-lagi pengertian. Orang berbuat salah tidak selalu disengaja. Seperti yang pernah diungkapkan K.H. Abdullah Gymnastiar dalam tausyiahnya bahwa ada orang yang berbuat salah karena ia tidak menyadari bahwa ia salah dan ada orang yang melakukan kesalahan kemudian ia mengetahui perbuatannya salah, tetapi ia belum sanggup memperbaikinya. Mungkin orang lain yang berkonflik dengan kita juga menganggap kita yang salah dan tidak bisa dimaafkan. Makanya, agama menyuruh kita untuk saling memaafkan, selalu mengingat kebaikan orang lain terhadap kita dan melupakan jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain agar kita dapat melatih diri mengelola emosi (nafsu amarah). Dengan melupakan jasa diri terhadap orang lain, kita bisa menghilangkan rasa sakit hati ketika orang tersebut tidak menghargai kebaikan kita. Dengan mengingat kebaikan orang lain, kita dapat melunakkan hati kita untuk tidak memasung hati dalam kebencian. Bagaimanapun, kebencian yang kita tanam akan membuat hati semakin keras dan angkuh (merasa diri tak pernah berbuat salah).
Sejatinya, konflik merupakan pembelajaran sikap hidup, pendewasaan berpikir dan pematangan jiwa seseorang. Dengan adanya konflik, kita mengetahui sifat dan karakter seseorang yang mungkin selama ini tertutupi. Konflik juga mendidik kita untuk belajar memahami orang lain, menghargai perbedaan dan mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari yang berbhineka.
















DAFTAR PUSTAKA


Kompas, 17 Februari 2011
Sianturi, Eddy MT. Konflik Poso dan solusinya. (http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=7

0 komentar:

Posting Komentar