BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara untuk menjamin jalannya
organisasi suatu negara. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi
pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam
masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam menilai
kebijkansanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.[1] Demokrasi dalam negara
hukum formal menimbulkan suatu gagasan tentang tata cara membatasi kekuasaan
pemerintah melalui pembuatan konstitusi, baik tertulis maupun yang tidak
tertulis. Hal ini dilatarbelakangi dengan isu saat itu bahwa masalah hak
politik rakyat dan hak asasi manusia secara individu merupakan dasar pemikiran
politik dalam ketatanegaraan. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia, menurut
konstitusi undang-Undang Dasar 1945, berdasarkan penjelasan dinyatakan bahwa
daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan
dibagi ke dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom
(streek dan locale rechtsgemeenshachappen)
atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang
ditetapkan dengan undang-undang.[2]
Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti
“keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi yaitu hak untuk memerintah dan
menentukan nasibnya sendiri.
Di Indonesia, otonomi daerah sebenarnya mulai bergulir sejak keluarnya UU
No.1 Tahun 1945, kemudian UU No.2 Tahun 1984 dan UU No.5 Tahun 1974 tentang
pokok-pokok pemerintahan di daerah. Semuanya berupaya menciptakan pemerintahan
yang cenderung ke arah disentralisasi. Namun pelaksanaannya mengalami pasang
surut, sampai masa reformasi bergulir. Pada masa ini keluarlah UU No.2 Tahun
1999 tentang pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Sejak itu, penerapan
otonomi daerah berjalan cepat.
Kemudian terjadi perubahan tentang otonomi pemerintah yaitu UU
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mendasari bahwa kepala daerah
mulai gubemur, bupati dan walikota. Prinsip otonomi daerah
adalah pemerintahan daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri.
Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu
agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan, moneter atau fiscal, politik luar
negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (meliputi
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian
Negara, pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).
Otonomi
daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan langkah
strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah,
di samping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia.
Kebijakan pembangunan yang sentralistis pada masa lalu dampaknya sudah
diketahui, yaitu adanya ketimpangan antardaerah. Namun demikian, pembangunan
daerah tidak akan terjadi dengan begitu saja, tanpa adanya proses-proses
pelaksanaan pemerintahan yang baik yang dilakukan oleh para penyelenggara
pemerintahan di daerah, yaitu pihak legislatif (DPRD Provinsi, Kabupaten, dan
Kota) dan Eksekutif di Daerah (Gubernur, Bupati, dan Wali Kota). Kebijakan
otonomi daerah memiliki implikasi sejumlah kewenangan yang dimiliki pemerintah
daerah. Pasca reformasi 1998 setelah Bangsa Indonesia menganut sistem
Desentralis meninggalkan sistem sebelumnya yaitu sentralis yang terbukti justru
menimbulkan ketimpangan antar daerah, maka pemerintahan otonomi daerah
diharapkan mampu untuk dapat dijadikan jalan keluar dalam menghadapi
permasalahan nasional, khususnya masalah kesejahteraan. Untuk dapat menjalankan
pemerintahan yang baik sebagai cerminan otonomi daerah yang sesuai dengan
harapan maka perlu adanya suatu pemilihan umum yang dimaksudkan untuk memilih
Gubernur maupun Bupati yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi daerah
otonom sehingga mampu mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar daerah. Sistem
pemilihan ini disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) atau pemilukada.
Pemilukada
yang terjadi di Indonesia masih banyak diwarnai masalah-masalah yang mengganggu
terwujudnya tujuan pemilukada itu sendiri. Money politic yang sudah tidak asing
terdengar di telinga kita, golput yang sering terjadi, dan masih banyak lagi.
Walaupun seperti itu, kelebihan sendiri dengan adanya pemilukada langsung
dianggap salah satu cara yang paling efektif untuk mewujudkan demokrasi rakyat.
Oleh karena itu, penulis akan mengungkapkan lebih jelas lagi masalah mengenai
kelebihan dan kekurangan pemilukada serta masa depan pemilukada di Indonesia
dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses
pemilihan, penetapan, dan pengesahan pengangkatan kepala daerah
dan wakilnya (gubernur, wakil gubernur, bupati, dan calon bupati) ?
2.
Bagaimana
cara mengawasi pemilihan umum kepala daerah agar terhindar dari penyimpangan
aturan yang berlaku?
3.
Apa saja kelebihan dan kekurangan
pemilukada yang terjadi Indonesia sekarang ini?
4.
Bagaimana masa depan pemilukada di
Indonesia jika dilihat dari perspektif sejarahnya?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mendeskripsikan bagaimana proses
pemilihan, penetapan, dan pengesahan pengangkatan kepala daerah dan wakilnya
(gubernur, wakil gubernur, bupati, dan calon bupati).
2.
Untuk mendeskripsikan bagaimana cara mengawasi pemilihan umum
kepala daerah agar terhindar dari penyimpangan aturan yang berlaku.
3.
Untuk mendeskripsikan apa saja kelebihan
dan kekurangan pemilukada yang terjadi Indonesia sekarang ini.
4.
Untuk mendeskripsikan bagaimana masa
depan pemilukada di Indonesia jika dilihat dari perspektif sejarahnya.
BAB II
ISI
A.
Pemilihan,
penetapan, dan pengesahan pengangkatan kepala daerah dan wakilnya (gubernur,
wakil gubernur, bupati, dan calon bupati)
Menurut UU No. 22 Tahun 1999, Bupati dan Wali kota dipilih
dan diberhentikan oleh DPRD, tetapi secara administratif di lakukan oleh presiden.
Sedangkan UU No. 32 Tahun 2004, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat
melalui pilkada langsung. Penetapan calon terpilih apabila pasangan calon kepal
daerah dan wakil kepala daerah memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah
ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuan tidak terpenuhi,
pasangan calon kepal daerah dan wakil kepala daerahyang memperoleh suara lebih
dari 25% dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar
dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih. Dalam hal pasangan calon yang
perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calonterpilih dilakukan berdasarkan
wilayah perolehan suara yang lebih luas. Apabila ketentuan tersebut tidak
terpenuhi atau tidak ada yang mencapai 25% dari jumlah suara sah, dilakukan
pemilihan putaran keduayang diikuti oleh pemenang pertama dan kedua.
Apabila pemenang
pertama diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak
mengikuti pemilihan putaran kedua. Apabila pemenang pertama diperoleh oleh tiga
pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan
berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Apabila pemenang kedua
diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan
berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak pada putaran
kedua dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.
Dalam hal wakil kepala
daerah terplih berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih dilantik menjadi
kepala daerah. Kepala daerah mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada
DPRD untuk dipilih. Dalam hal calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap,
calon wakil kepala daerah terpilih dan dilantik menjadi kepala daerah. Kepala
daerah mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.
Dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala
daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari.
Pengesahan pengangkatan
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih dilakukan oleh presiden
selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari. Pengesahan pengangkatan pasangan calon
bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota terpilih dilakukan
oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30
hari. Pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD
provinsi, selambat lambatnya dalam waktu 3 hari, kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih
dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan. Pasangan calon
bupati dan wakil bupati diusulkan oleh DPRD kabupaten selambat lambatnya 3 hari
, kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur berdasarkan berita acara
penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan
pengesahan pengangkatan. Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku
jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah atau janji yang dipandu oleh
pejabat yang melantik. Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh Menteri Dalam
Negeri atas nama Presiden. Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil
walikota dilantik gubernur atas nama Presiden. Pelantikan dilaksanakan dalam
Rapat Paripurna DPRD. Biaya kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakilnya
dibebankan pada APBD.
B.
Pengawasan
Pemilihan Umum Kepala Daerah
Pelaksanaan
pemilu kepala daerah tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan aparat
pelaksana pemilu itu sendiri, khususnya yang telah berlangsung pada masa
sebelum pergeseran rezim pemilihan kepala daerah ke rezim pemilihan umum. Dalam
pelaksanaannya, penyelengaraan pemilu oleh pemerintah secra teknis
diselenggarakan oleh kementrian dalam negeri yang dipimpin oleh Menteri Dalam
Negeri (kedudukannya sebagai pembantu presiden). Pada perkembangannya,
dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan tindakan lembaga yang
pada awal pembentukannya beranggotakan orang-orang yang nonpartisipan dan
kebanyakan dari kalangan Perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Tugas KPU adalah adalah menyelenggarakan Pemilihan Presiden dan wakil Presiden,
pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Pemilu Kepala daerah baik pada tingkat
provinsi maupun kabupaten atau kota di seluruh wilayah NKRI. Sepeti yang
tercantum pada pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 bahwa “pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.” [3]
Pada
perkembangan zaman yang mulai berubah menyesuaikan pola masyarakat, dalam
kegiatan pilkada secara langsung, ketentuan pasal 57 ayat 1dan 2 UU Nomor 32
tahun 2004 menetapkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam pelaksanaan
tugasnya KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah kepada DPRD. Sedangkan posisi KPUD kabupaten atau kota
diatur pada pasal 66 ayat 2 dan 3 bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan bupati
dan wakil bupati atau walikota dan wakil
walikota ditentukan oleh KPUD kabupaten atau kota. Sedangakan pemilihan
gubernur dan wakil gubernur ditentukan oleh KPUD provinsi.
Dalam
pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
penyelenggaraannya dipercayakan kepada KPUD
baik provinsi maupun kabupaten, secara mandiri menyelenggaralan pemilukada,
hal ini sesuai dengan asas otonomi desentralisasi yang berlaku. Namun demikian,
sebagai lembaga penyelenggaraan pemilu tetap berkoordinasi dan berkonsultasi
dengan KPU pusat yang secara structural adalah atasannya. Dipilihnya KPUD
sebagai penyelenggara secara mandiri bukan hanya untuk efisiensi dan
profesionalisme saja. Akan tetapi, alasan yang paling mendasar adalah untuk
menciptakan lebih independensi dan imparsial. Maksudnya, dalam menyelenggarakan
pemilukada tidak ada kendali suatu golongan, kelompok preman yang menjadi tim
sukses, pasangan calon, partai olitik pemerintahan daerah, dan DPRD melainkan
sepenuhnya berdasarka peraturan perundangan-undangan dan Kode Etik Pelaksana
Pemilu.
Pengawasan
pemilu sendiri ada badan khusus yang dibuat oleh pemerintah yaitu Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk pusat sedangkan untuk tingkat provinsi dan
kabupaten atau kota ada Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Esensi
pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslu bersifat prejudice dan subyektif. Mereka
melaksanakan pengawasan dengan asumsi bahwa di dalam penyelengaraan pemilu
dimulai dari penjaringan calon, masa kampanye sampai pada penghitungan suara
diprediksi akan terjadi kecurangan. Oleh karena itu, panwaslu sebagai lembaga
pengawas melaksanakan pengawasan tersebut serta menindaklanjuti berdasarkan
jalur hukum yang tersedia jika benar-benar terjadi pelanggaran pemilu.
C.
Kelebihan
dan Kekurangan Pemilihan Umum Kepala Daerah
Kelebihan diadakannya pilkada langsung adalah kepala
daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat, kepala
daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi
politik yang telah mencalonkannya, sistem pilkada langsung lebih akuntabel
karena adanya akuntabilitas politik, Check and balances antara lembaga
legislatif dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang, kriteria calon kepala
daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya,
pilkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat, kancah pelatihan dan
pengembangan demokrasi, pilkada langsung sebagai persiapan untuk karir politik
lanjutan, membangun stabilitas poilitik dan mencegah separatisme, kesetaraan
politik dan mencegah konsentrasi di pusat.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung antara lain sebagai berikut :
1.
Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan
aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan
kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.
Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi
dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur,
Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur
dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.
Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran
demokrasi (politik) bagi rakyat .Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif
segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nurani.
4.
Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat
otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada
langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.
Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi
proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock
kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih
dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka
sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004.
Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada
langsung ini.
Sedangkan kelemahan pilkada langsung antara lain: Dana
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraannya relative tinggi (mahal) apalagi ada
putaran kedua apabila belum terpilih calon pada putaran pertama, membuka
kemungkinan konflik elite dan massa, dan aktivitas rakyat terganggu,
khususnya pada masa kampanye.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali
ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti:
1.
Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan
pilkada.Dengan
memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka
dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu
di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal
tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang
kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah
hanya karena uang.
Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi
calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biayaini, biaya itu.
2.
Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah
melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini
sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
3.
Pendahuluan start
kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat
jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan
seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon
yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah.
Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat
berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering
digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam
acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4.
Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya
sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian
masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya
“manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas
daerah tersebut.
D.
Masa
Depan Pemilihan Umum Kepala Daerah
Setelah Indonesia merdeka, undang - undang yang menyinggung
kedudukan kepala daerah adalah undang - undang nomor 1 tahun 1945, tentang
peraturan mengenai kedudukan komite nasional daerah yang diundangkan pada
tanggal 23 November 1945. Dalam undang - undang tersebut dinyatakan bahwa
kepala daerah menjalankan fungsi eksekutifnya sebagai pemimpin komite nasional
daerah, juga menjadi anggota dan ditetapkan sebagai ketua legislatif dalam
badan perwakilan daerah. Pada masa undang -undang nomor 1 tahun 1945, kepala
daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya, hal itu
dilakukan karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan pada saat
itu tidak baik. UU nomor 1 tahun 1945 hanya berusia 3 tahun saja, karena pada
tahun 1948, dibuatlah penggantinya yaitu UU nomor 22/1948 tentang pemerintahan
di daerah. Dalam undang - undang ini yang dimaksud pemerintahan daerah adalah
propinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil), nagari atau marga.
Pengaturan tentang kepala daerah dalam undang - undang ini tertulis dalam pasal
18. dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kepala daerah propinsi (gubernur)
diangkat oleh presiden dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi. Untuk kepala daerah kabupaten, diangkat oleh menteri dalam
negeri dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten.
Demikian juga untuk kepala daerah desa (kota kecil) yang diangkat oleh kepala
daerah propinsi dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa
(kota kecil).
Berubahnya konstitusi negara menjadi Republik Indonesia
Serikat dan ditetapkannnya Undang - Undang Sementara Tahun 1950 sebagai dasar
negara menyebabkan terjadinya perubahan pada undang - undang yang mengatur
tentang pemerintahan daerah, yaitu undang - undang nomor 1 tahun 1957. didalam
undang - undang ini, tingkatan - tingkatan daerah dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu; daerah tingkat I dipimpin oleh gubernur, daerah tingkat II
dipimpin oleh bupati atau walikota dan daerah tingkat III dipimpin oleh camat.
Kepala daerah adalah orang yang dikenal baik oleh rakyat di daerahnya, oleh
karena itu harus dipilih langsung oleh rakyat. Atas dasar itu, dibandingkan
dengan UU terdahulu dan bahkan setelahnya, nuansa demokrasi dalam arti membuka
akses rakyat berpartisipasi sangat tampak dalam pilkada yang diatur UU No.1
tahun 1957. Dalam undang - undang ini, sistem pemerintahan kepala daerah
langsung telah dijabarkan namun dalam prosesnya. Berdasarkan keterangan itu,
sistem pilkada langsung dalam UU nomor 1/1957 benar - benar merupakan
introduksi dalam pentas politik karena secara empirik belum dapat dilaksanakan.
Selain undang - undang, presiden pertama Republik Indonesia
membuat sebuah peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala daerah.
Peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 yang mengatur
tentang mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Oleh karena itu
undang - undang ini kelihatan lebih bersifat darurat dalam rangka retooning
sebagai tindak lanjut berlakunya kembali Undang - Undang 1945. dalam undang -
undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri
dalam negeri. Pengangkatan dilakukan terhadap salah seorang yang diajukan oleh
DPRD. Peran DPRD dalam perundangan ini terbatas, karena DPRD hanya berwenang
mengajukan calon kepala daerah.
Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak
pada keluarnya undang - undang nomor 18/1965 tentang pokok - pokok pemerintahan
daerah. dalam undang - undang nomor 18/1965, bertolak belakang dengan undang -
undang nomor 1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai
implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia
Serikat) menjadi sistem kesatuan. Dalam undang - undang ini, kepala daerah
diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui
calon - calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat
atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan
daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai
pegawai negara, yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah. Seorang
kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD,
pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur
dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota.
Pemerintahan Orde Baru menerbitkan undang - undang nomor 5
tahun 1974 tentang pokok - pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan
pada undang - undang 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan
atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu,
termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden
dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut
diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala
daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam
pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat
siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan
pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama
dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih
bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985,
kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang
merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2
Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati.
Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan
suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang - undang nomor 22 tahun
1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang - undang ini
menimbulkan perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. perubahannya
tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan
antara pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah undang - undang ini
diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis. Menurut undang - undang
nomor 22 tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat
daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai
badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa
sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. Undang - undang nomor 22
tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. berbeda dengan di masa - masa
sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama - nama
calon kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden
dari calon - calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai
dengan undang - undang ini, sistem rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta
demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi
rahasia umum, bahwa calon kepala dareah selalu mengobral uang untuk membeli
suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok -
kelompok social dalam rangka menciptakan opini publik.
Undang - undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam
tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu,
tidaklah mengejutkan bila UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga
menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi. Untuk menggantikan undang -
undang nomor 2 tahun 1999, ditetapkanlah undang - undang nomor 32 tahun 2004.
Undang - undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung,
hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang
pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus
berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya undang - undang nomor 32 tahun
2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus
melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang - undang
tersebut, kemudian pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang
- undang (perpu) No. 3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada
perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP
No.17/2005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara
langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi
DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif
sebelumnya. Pemilu kepada daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini
terlaksana pertama kali pada tanggal 1 juni 2005.
Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam
undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di
Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa
kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan
sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang nomor 32 tahun
2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang - undang yang
baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Revisi undang
- undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang nomor 12 tahun 2008.
Undang - undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap undang -
undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling
berbeda dari Undang - undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. dimana
didalam undang undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan
partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang - undang
ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon
tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang
dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis
dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk
meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah
terutama dalam hal pemilihan kepala daerah. Pada tanggal 19 April 2007
terbitlah Undang - undang No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan
umum. Di Undang - undang ini Pemilihan kepala daerah dimasukkan pada rezim
pemilu. maka kemudian masyarakat mulai menenal pemilihan kepala daerah dengan
sebutan PEMILUKADA.[4]
Perjalanan Pemilukada pun tidak semulus yang diperkirakan
masih ada beberapa hal yang menjadi permasalahannya. Salah satu contoh
permasalahan yang terjadi di pemilukada dikutip dari http://www.kpu.go.id bahwa:
“Dua
Provinsi di ujung Timur Indonesia menunda pelaksanaan pilkada gubernur dan
wakil gubernur yaitu, Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) yang direncanakan
pada tanggal 29 Agustus 2005 yang lalu dan Provinsi Papua yang dijadwalkan pada
10 Oktober 2005, hal itu lantaran pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) belum
terbentuk. Mundurnya jadwal pembentukan MRP berimplikasi pada pelaksanaan
tahapan pilkada di kedua provinsi tersebut, demikian dikatakan Sudarsono
Hardjasoekarta Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbagpol)
Depdagri. Namun Sudarsono tidak mengatakan kapan pelaksanaan pilkada Gubernur
di kedua provinsi tersebut. Idealnya pelaksanaan pilkada dilaksanakan setelah
terbentuk MRP. Kemungkinan pembentukan MRP antara tanggal 7 hingga 10 Oktober
2005. Ketua Panitia Pengawas Pilkada Gubernur-Wakil Gubernur Papua Max Mirino,
mengatakan mundur atau majunya jadwal pilkada pihaknya terus melakukan
pengawasan dan pembentukan panwas kabupaten/kota di Papua. Pelaksanaan Pilkada
putaran kedua yang akan digelar tanggal 26 September 2005 di Kabupaten Seram
Bagian Barat (SBB), Maluku di tunda kembali. Penundaan Pilkada tahap kedua
berkaitan dengan kasus yang dihadapi oleh salah satu calon Kepala Daerah
Soebeno, yang tersangkut dugaan ijazah palsu. Sehingga KPUD Kabupaten SBB
memutuskan penundaan menunggu sampai adanya keputusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Sedangkan tahapan Pilkada di Kota Bitung, menurut JJ
Mongkaren Kepala Badan Kesbang dan Linmas Prov. Sulawesi Utara (Sulut)
sebaiknya di status quo (tetap dipertahankan) oleh KPUD dan pemerintah, hal ini
untuk mengantisipasi tindakan anarkis menjelang pelaksanaan pemungutan suara
ulang tanggal 29 September 2005 di 12 (dua belas) TPS. Berdasarkan kajian
sementara Badan Kesbang dan Limnas Prov. Sulut, kondisi keamanan di Kota Bitung
masih mencekam, akibat adanya kelompok-kelompok pendukung dari masing-masing
calon yang menggelar aksi menentang dan menerima hasil Pilkada. Menurutnya
kewenangan ada di tangan KPUD dan Pemerintahan Kota (Pemkot) Bitung untuk
segera mencari solusi terbaik guna meredam situasi yang tidak kondusif.Ada 4
(empat) opsi yang ditawarkan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk dikaji
ulang, yakni pelaksanaan pilkada ulang, penetapan atau pleno hasil pilkada,
status quo hasil pilkada dan pemilihan ulang secara keseluruhan oleh Kesbang
dan Limnas Prov. Sulut, Muspida Bitung, KPUD Bitung dan Pemkot Bitung”
Pemilu yang dilaksanakan tahun 2004 menggunakan UU Pemilu
yang pada intinya cukup memberikan kebebasan berpendapat kepada Warga Negara.
Sehubungan dengan adanya perubahan yang cukup signifikan mengenai pemilu,
adanya system otonomi desentralisasi pada daerah daerah di Indonesia membawa
dampak yang berbeda mengenai pemilihan kepala daerah dan wakilnya yang secara
langsung oleh rakyat lagi. Perjalanan demokrasi dengan pelaksanaan pemilu yang
LUBER dan JURDIL ternyata tak menghasilkan pemerintahan sebagaimana yang
diharapkan, dalam hal inilah sejarah bangsa-bangsa menyatakan bahwa proses
demokratisasi dengan pemilu yang baik dan berkualitas memerlukan sebuah proses
pembelajaran, yang kadang menjadi permasalahan-permasalahan sulit dan pelik,
sebagaimana yang kita saksikan saat ini ketidakpuasan public atas pemerintah
dan penyelenggara pemilu sangat besar.
Untuk itulah diperlukan pemikiran dan upaya keras untuk
melahirkan sebuah system demokrasi dengan pelaksanaan pemilu yang semakin baik.
Penyederhanaan pemilu dan pembentukan penyelenggara pemilu yang kuat dan
akuntable menjadi sebuah keniscayaan untuk menjawab persoalan tersebut, bahkan
hal-hal teknis seperti sistim pendataan pemilih, proses pencalonan dan
pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sampai rekapitulasi secara
berjenjang perlu dipikirkan bukan sekadar sebuah masalah teknis kepemiluan.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demokrasi mempunyai arti
penting dalam suatu negara untuk menjamin jalannya organisasi suatu negara.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya
termasuk dalam menilai kebijkansanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Otonomi daerah sebagai komitmen dan
kebijakan politik nasional merupakan langkah strategis yang diharapkan akan
mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah. Untuk dapat menjalankan
pemerintahan yang baik sebagai cerminan otonomi daerah yang sesuai dengan
harapan maka perlu adanya suatu pemilihan umum yang dimaksudkan untuk memilih
Gubernur maupun Bupati yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi daerah
otonom sehingga mampu mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar daerah. Sistem
pemilihan ini disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) atau pemilukada.
Kelebihan diadakannya pilkada langsung adalah kepala daerah terpilih akan
memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat, kepala daerah terpilih tidak
perlu terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah
mencalonkannya, sistem pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya
akuntabilitas politik, Check and balances antara lembaga legislatif dan
eksekutif dapat lebih berjalan seimbang, kriteria calon kepala daerah dapat
dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya, pilkada
langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat, kancah pelatihan dan
pengembangan demokrasi, pilkada langsung sebagai persiapan untuk karir politik
lanjutan, membangun stabilitas poilitik dan mencegah separatisme, kesetaraan
politik dan mencegah konsentrasi di pusat. Sedangkan kelemahan
pilkada langsung antara lain: Dana
yang dibutuhkan dalam penyelenggaraannya relative tinggi (mahal) apalagi ada
putaran kedua apabila belum terpilih calon pada putaran pertama, membuka
kemungkinan konflik elite dan massa, dan aktivitas rakyat terganggu,
khususnya pada masa kampanye. Walaupun masih banyak terjadi penyimpangan pada
pemilukada dengan sitem otonomi desentralisasi sekarang ini belrlaku, tapi hal
inilah yang dipandang sebagai satu jalan yang terbaik dari pemilu sebelumnya
yang pernah ada. namun masih diperlukan beberapa tindakan untuk menyempurnakan
pemilukada yang diharapkan mampu memenuhi kriteria “perfect” bagi pemerintah
maupun rakyat itu sendiri.
B. Saran
Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di
tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan
mekanisme bagi pengaturan hukum
tambahan atas bidang-bidang
tertentu danpenyelesaian perselisihan.
Selain itu, pemerintah pusat juga harus
menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi
kedua kawasan yang bertikai, demikian
pula tentang pertimbangan keamanan.
Kalau perlu, sebaiknya pemerintah pusat membuat suatu
lembaga independen ditingkat daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Tidak hanya mengawasi dan menindak pelanggaran
korupsi seperti yang tengah gencar dilakukan KPK, tetapi juga mengawasi
setiap kebijakan dan jalannya pemerintahan dimana lembaga ini dapat melaporkan
segala tidakan-tindakan pemeritah daerah yang dianggap merugikan rakyat
didaerah itu sendiri.
Perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang
dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga jangan sampai terjadi berbagai
kebijakan yang merusak lingkungan yang terjadi di setiap kabupaten atau
kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga pembangunan
yang berwawasan lingkungan dapat dijalankan dengan baik oleh
pemerintah Indonesia baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
[1]
Delia, noer. Pengantar ke pemikiran
politik, Jakarta, rajawali, cetakan ke-1, 1983,hlm. 207
[2]
Sunarni, siswanto. Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, cetakan ketiga, 2008, hlm 1
[3] Wahidin, syamsul. 2008. Hukum Pemerintah daerah
Mengawasi pemilihan Umum kepala daerah. Yogyakarta: Pustaka Belajar, hal 47
[4] http://politik.kompasiana.com/2010/11/30/sejarah-pemilu-kepala-daerah-di-indonesia-322769.html
DAFTAR PUSTAKA
Sunarno,
siswanto. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta : Sinar
Grafika.
Simanjutak,
Bungaran Antonius. 2011. Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Wahidin, syamsul.
2008. Hukum Pemerintah daerah Mengawasi pemilihan Umum kepala daerah.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Chimad,
Tataq. 2004. Kritik Terhadap Pemilihan Langsung. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Ubaedillah,
dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Hak asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Miriam Budiardjo. 2008.
Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gamedia Pustaka Utama.
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
. “Pemilihan
Umum di Indonesia”.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia (diakses tanggal 24 Desember 2012)
. “Sejarah
Pemilu Kepala Daerah di Indonesia”.
http://politik.kompasiana.com/2010/11/30/sejarah-pemilu-kepala-daerah-di-indonesia-322769.html
(diakses tanggal 24
Desember 2012)
. “Pelaksanaan
Pilkada di Daerah-Daerah”.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5639
(diakses tanggal 24
Desember 2012)
. “Pemilukada
Seabagai Cerminan Demokrasi di Tingkat Lokal”. http://shubuha.blog.fisip.uns.ac.id/2010/12/05/pemilukada-sebagai-cerminan-demokrasi-di-tingkat-lokal/
(diakses tanggal 24
Desember 2012)
. “Perkembangan
Pemilu dan Masa Depan demokrasi di Indonesia”. http://kpud-subangkab.go.id/perkembangan-pemilu-dan-masa-depan-demokrasi-di-indonesia.html (diakses tanggal 24 Desember 2012)
0 komentar:
Posting Komentar