Istilah
konflik dalam ilmu politik sering kali dikaitkan dengan kekerasan, seperti
kerusuhan, kudeta, tetorisme, dan revolusi. Pada dasarnya konflik politik disebabkan
oleh dua hal, yaitu kemajemukan horisontal dan kemajemukan vertikal. Kemajemukan horisontal adalah struktur
masyarakat yang majemuk secara kultural (suku bangsa, daerah, agama, dan ras);
majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekejaan dan profesi; dan dalam arti
perbedaan karakteristik tempat tinggal. Kemajemukan horisontal kultural dapat
menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan
identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain. Kemajemukan vertikal ialah struktur
masyarakat yang berbeda menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.
Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik karena sebagian besar masyarakat
yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan, dan
kekuasaan akan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil
masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa konflik
terjadi apabila terdapat benturan kepentingan antar pihak.
Konflik
politik dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu konflik positif dan konflik
negatif. Konflik positif adalah
konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya melalui
parpol, badan-badan perwakilan politik, pengadilan, pemerintah, dll untuk
menyelesaikan konflik. Sedangkan konflik
negatif adalah kebalikan dari konflik negatif sehingga dapat mengancam
eksistensi sistem politik, biasanya melaui kudeta, separatisme, terorisme, dan
revousi. konflik juga memiliki stuktur, ada dua struktur konflik. Pertama, konflik menang-kalah memiliki ciri-ciri
tidak ada kerjasama, pihak yang menang akan mendapatkan semuanya sedangkan yang
kalah akan kehilangan semuanya (seperti
harga diri, kercayaan, hidup-mati, dan jabatan pemerintahan). Kedua, konflik menang-menang memilki ciri-ciri
adanya kerjasama sehingga semua pihak mendapatkan bagian, hal yang
dipertaruhkan ialah hal yang dianggap penting maka harus diadakan dialog dan
kompromi. Konflik memilki tujuan yaitu
mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber. Maksud dari kalimat
tersebut adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang
sama, yakni sama-sama berupaya mendapatkan; disatu pihak hendak mendapatkan,
sedangkan di pihak yang lain berupaya keras mempertahankan apa yang dimiliki.
Konflik
yang intens tidak selalu sama artinya dengan konflik yang mengandung kekerasan.
Intensitas konflik cenderung pada energi yang dikeluarkan dan tingkat
keterlibatan partisipan dalam konflik. Ada dua faktor yang mempengaruhi
intensitas konflik dan violence pada konflik, yaitu aspek eksternal (meliputi
kondisi organisasi, stratifikasi sosial, kelas, dan perubahan status); dari
segi internal (meliputi besar-kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dan
besar-kecilnya resiko yang timbul dari konflik tersebut). Pengaturan konflik
berupa bentuk-bentuk pengendalian konflik, karena konflik tidak bisa
diselesaikan ataupun dibasmi. Menurut Dahrendorf ada tiga bentuk pengaturan
konflik, pertama bentuk konsiliasi, kedua bentuk mediasi, dan yang terakhir
arbitrasi.
Saya
sependapat dengan apa yang diutarakan penulis dalam buku ini. Konflik merupakan
gejala yang sering hadir di kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apabila
konflik diselesaikan dengan memberikan sanksi negatif, maka akan menimbulkan
kekerasan yang berkepanjangan. Sehingga, konflik harus diselesaikan tanpa
adanya kekerasan melalui beberapa tahap, yakni pertama tahap
politisasi/koalisi, kedua tahap pembuatan keputusan, dan tahap pelaksanaan dan
integrasi. Tahap politisasi/koalisi terjadi apabila dalam masyarakat terdapat
konflik politik diantara berbagai pihak, maka masing-masing pihak
memasyarakatkan tuntutannya melalui media massa (politisasi). Kemudian memutuskan
untuk berkoalisi atau tidak dengan kelompok lain. Selanjutnya, berusaha untuk
mempengaruhi pembuat keputusan politik, agar mengabulkan tuntutannya. Akan
tetapi, tidak semudah itu pemerintah mengabulkan tuntutan, masih ada seleksi
ketat. Ada tiga alasan pemerintah untuk menolak tuntutan, yaitu alasan
subyektif(karena tidak menyenangkan dirinya), alasan pragmatik(tuntutan
tersebut menempati urutan prioritas rendah), dan alasan konstitusi(bertentangan
dengan ideologi). Apabila bertentangan dengan ideologi, maka tuntutannya pasti
ditolak. Sebaliknya, jika tuntutan itu dapat diterima tapi anggaran kurang
mencukupi maka kemungkinan sebagian dari tuntutan itu ditolak. Kemudian,
pemerintah melaksanakan keputusan yang diambil dari tuntutan yang diterimanya
(sebagian/seluruhnya) dalam kenyataan politik. Akan tetapi, kadangkala suatu
keputusan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah tidak mampu menyelesaikan
konflik dengan tuntas karena sebagian pihak kurang puas. Sementara itu, suatu
keputusan pemerintah berhasil menimbulkan peningkatan dan perubahan sosial,
ekonomi, dan politik ke arah yang positif. Maka, akan menimbulkan konflik-konflik
baru (feedback).
1 komentar:
anak unimed bang?
Posting Komentar