Minggu, 24 Maret 2013

HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA



Masalah hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan peresoalan yang menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan Negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan Negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sedangkan paham akomodatif, lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana Negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kencenderungan memiliki kesamaaan untuk mengurangi konflik (M. Imam Aziz et.al., 1993: 105). Abdul Aziz Thaba menambahkan bahwa setelah hubungan antagonistic, terjadi hubungan agama dan Negara bersifat respirokal-krisis, yakni awal dimulainya penurunan “tensi” ketegangan antara agama dan Negara.

Hubungan Agama dan Negara Yang Bersifat Antagonistik
Ekstitensi Islam politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revormasi pernah dianggap sebagai persaingan kekuasaan yang dapat mengusik basisi kebangsaan Negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan Negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik Islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivitas politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideology dan atau agama Negara ( pada 1945 dan decade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideology Negara Pancasila (Bahtiar Effendy,2001:4).
Lebih lanjut Bahtiar mengatakan bahwa Indonesia, akar antagonism hubungan politik antara Islam dan Negara tak dapat dilepaskan dari konteks kencenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistic ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang keduduakn Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan Negara bergulir terus hingga periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Pada saat ini, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran ideology dan symbol sesuatu yang mencapai kelimaknya pada perdebatan di konstituante pada paruh kedua dasawarsa 1950-an dari pada substansi. Pergulatan ini telah memunculkan mitos tertentu sajauh yang menyangkut pemikiran dan praktik politik Islam.
Kendatipun ada upaya-upaaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistic, formalistic, dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan orde baru. Antara lain karena alasan-alasan seperti ini, Negara memberlakukan kebijkan the politics of containment agar wacana politik Islam yang formalistik, legalistic dan simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setalah pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaannya, terjadi control yang berlebihan yang diterapkan Orde baru terhadap kekuatan politik Islam, terutama terhadap kelompok radikal yang dikawatirkan semakin militant dan menandingi eksistensi Negara.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama dengan Negara pada masa ini dikenal dengan antagonistic, dimana Negara benar-benar mencurigai Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi Negara. Disisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan islam sebgai sumber ideology dalam menjalankan pemerintahan.

  Hubungan Agama dan Negara Yang Bersifat Akomodatif
Gejala menurunnya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara mulai terlihat pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi umat Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat sruktural, legislative, infrastructural, dan kultur (Bahtiar Effendy, 2001:35).
Kecenderungan akomodasi Negara terhadap Islam juga menurut Affar Gaffar ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kencenderungan politik umat Islam sendiri (M. Aziz et.el., 1993:105). Pemerintahan menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh karenanya Negara lebih memilih akomodasi terhadap Islam, karena jika Negara menempatkan Islam sebagai outsider Negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Thaba, munculnya sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan Negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Selain itu, munculnya kebijakan Negara terhadap Islam juga menjadi bagian ynag penting dalam memahami hubungan agama dan Negara di masa awal 1980-an, misalnya pengaruh RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama, munculnya ICMI serta munculnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang secara massif membangun ratusan masjid di hampir seluruh Indonesia.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa Negara melakukan akomodasi terhadap Islam setelah sekian lama terjadi ketegangan hubungan antara Negara dan Islam? Untuk menjawab ini, Affan Gaffar menjelaskan beberapa alasan mengapa Negara melakukan akomodasi terhadap Islam. Pertama, dari kacamata pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan yang pada akhirnya kalau diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalh politik yang cukup rumit. Oleh karena itu sudah sewajarnya diakomodasi, sehingga kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini.
Kedua, dikalangan pemerintahn sendiri terdapat sejumlah figure yang tidak terlalu fobi terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya, misalnya saja Emil Salim, B.J Habibie, Akbar Tandjung dan lain sebagainya. Mereka tentu saja berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah paling tidak untuk tidak menjauhi Islam. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik dikalangan Islam itu sendiri (M. Aziz et.el., 1993:105).
Lain halnya pendapat yang dikemukakan Bahtiar, ia mengatakan bahwa ada dua (2) alasan yang mendasari Negara melakukan akomodasi terhadap Islam. Pertama, selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi sosial-ekonomi-politik yang berarti. Hal ini disebabkan oleh pembangunan ekonomi dan meluasnya akses kependidikan tinggi modern. Mereka tertransformasiksan ke dalam entitas level menengah, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Kedua, adanya tansformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam. Umat Islam telah mengalami transformasi intelektual dan aktivisme yang semula bersifat legalistic-formalistik menjadi lebih substansialistik (Bahtiar Effendy, 2001:39-40).

1 komentar:

Unknown mengatakan...

TRIMA KASIH SMGA BERMANFAAT MENYSUN TGS SAYA

Posting Komentar