Masalah hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan peresoalan yang
menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan Negara yang mayoritas
warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang
muncul. Mengkaji hubungan agama dan Negara di Indonesia, secara umum dapat
digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik
dan hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan
antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara
Negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Sedangkan paham akomodatif, lebih
dipahami sebagai sifat hubungan dimana Negara dan agama satu sama lain saling
mengisi bahkan ada kencenderungan memiliki kesamaaan untuk mengurangi konflik (M.
Imam Aziz et.al., 1993: 105). Abdul Aziz Thaba menambahkan bahwa setelah
hubungan antagonistic, terjadi hubungan agama dan Negara bersifat
respirokal-krisis, yakni awal dimulainya penurunan “tensi” ketegangan antara
agama dan Negara.
Hubungan
Agama dan Negara Yang Bersifat Antagonistik
Ekstitensi Islam politik (political Islam) pada masa kemerdekaan dan sampai
pada pasca revormasi pernah dianggap sebagai persaingan kekuasaan yang dapat
mengusik basisi kebangsaan Negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi
terhadap keinginan Negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi
terhadap gerak ideologis politik Islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam
ini, bukan saja para pemimpin dan aktivitas politik Islam gagal untuk
menjadikan Islam sebagai ideology dan atau agama Negara ( pada 1945 dan decade
1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara
politik “minoritas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam
sering dicurigai sebagai anti ideology Negara Pancasila (Bahtiar Effendy,2001:4).
Lebih lanjut Bahtiar mengatakan bahwa Indonesia, akar antagonism hubungan
politik antara Islam dan Negara tak dapat dilepaskan dari konteks
kencenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang
antagonistic ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elit
politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang keduduakn Islam di alam
Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan
antara Islam dan Negara bergulir terus hingga periode kemerdekaan dan pasca
revolusi. Pada saat ini, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran
ideology dan symbol sesuatu yang mencapai kelimaknya pada perdebatan di
konstituante pada paruh kedua dasawarsa 1950-an dari pada substansi. Pergulatan
ini telah memunculkan mitos tertentu sajauh yang menyangkut pemikiran dan
praktik politik Islam.
Kendatipun ada upaya-upaaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan
ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistic, formalistic, dan
simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa
pertama pemerintahan orde baru. Antara lain karena alasan-alasan seperti ini,
Negara memberlakukan kebijkan the politics of containment agar wacana politik
Islam yang formalistik, legalistic dan simbolistik itu tidak berkembang lebih
lanjut.
Setalah pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaannya, terjadi control
yang berlebihan yang diterapkan Orde baru terhadap kekuatan politik Islam,
terutama terhadap kelompok radikal yang dikawatirkan semakin militant dan menandingi
eksistensi Negara.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama
dengan Negara pada masa ini dikenal dengan antagonistic, dimana Negara
benar-benar mencurigai Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi
eksistensi Negara. Disisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki
ghirah yang tinggi untuk mewujudkan islam sebgai sumber ideology dalam
menjalankan pemerintahan.
Hubungan Agama dan Negara Yang Bersifat Akomodatif
Gejala menurunnya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara mulai
terlihat pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya
peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya
kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi umat Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut
berspektrum luas, ada yang bersifat sruktural, legislative, infrastructural,
dan kultur (Bahtiar Effendy, 2001:35).
Kecenderungan akomodasi Negara terhadap Islam juga menurut Affar Gaffar
ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan
keagamaan serta kondisi dan kencenderungan politik umat Islam sendiri (M. Aziz
et.el., 1993:105). Pemerintahan menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan
politik yang potensial, yang oleh karenanya Negara lebih memilih akomodasi
terhadap Islam, karena jika Negara menempatkan Islam sebagai outsider Negara,
maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas
terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Thaba, munculnya sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih
disebabkan oleh adanya kecenderungan bahwa umat Islam Indonesia dinilai telah
semakin memahami kebijakan Negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan
penerimaan asas tunggal Pancasila. Selain itu, munculnya kebijakan Negara
terhadap Islam juga menjadi bagian ynag penting dalam memahami hubungan agama
dan Negara di masa awal 1980-an, misalnya pengaruh RUU Pendidikan Nasional,
pengesahan RUU Peradilan Agama, munculnya ICMI serta munculnya Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila yang secara massif membangun ratusan masjid di hampir
seluruh Indonesia.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa Negara melakukan akomodasi
terhadap Islam setelah sekian lama terjadi ketegangan hubungan antara Negara
dan Islam? Untuk menjawab ini, Affan Gaffar menjelaskan beberapa alasan mengapa
Negara melakukan akomodasi terhadap Islam. Pertama, dari kacamata
pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan yang pada
akhirnya kalau diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalh politik
yang cukup rumit. Oleh karena itu sudah sewajarnya diakomodasi, sehingga
kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini.
Kedua, dikalangan
pemerintahn sendiri terdapat sejumlah figure yang tidak terlalu fobi terhadap
Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari
latar belakangnya, misalnya saja Emil Salim, B.J Habibie, Akbar Tandjung dan
lain sebagainya. Mereka tentu saja berperan dalam membentuk sikap politik
pemerintah paling tidak untuk tidak menjauhi Islam. Ketiga, adanya perubahan
persepsi, sikap dan orientasi politik dikalangan Islam itu sendiri (M. Aziz
et.el., 1993:105).
Lain halnya pendapat yang dikemukakan Bahtiar, ia mengatakan bahwa ada dua
(2) alasan yang mendasari Negara melakukan akomodasi terhadap Islam. Pertama, selama
dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi
sosial-ekonomi-politik yang berarti. Hal ini disebabkan oleh pembangunan
ekonomi dan meluasnya akses kependidikan tinggi modern. Mereka
tertransformasiksan ke dalam entitas level menengah, baik secara sosial,
ekonomi maupun politik. Kedua, adanya tansformasi pemikiran dan tingkah politik
generasi baru Islam. Umat Islam telah mengalami transformasi intelektual dan
aktivisme yang semula bersifat legalistic-formalistik menjadi lebih substansialistik
(Bahtiar Effendy, 2001:39-40).
1 komentar:
TRIMA KASIH SMGA BERMANFAAT MENYSUN TGS SAYA
Posting Komentar