Senin, 25 Maret 2013

KONSTRIBUSI HUKUM ADAT BAGI PEMBANGUNAN SISTEM DI INDONESIA



PENDAHULUAN
Membina hukum nasional tidak berarti menciptakan hukum baru yang memenuhi tuntutan rasa keadilan dan kepastian hukum saja, tetapi juga memenuhi tututan naluri kebangsaan sesuai dengan falsafah negara kita Pancasila. Menciptakan hukum-hukum baru itu nantinya bertujuan untuk mendirikan suatu masyarakat Indonesia yang bersatu, bersifat nasional, berdaulat kultur, adil, makmur di bidang sisosial dan ekonomi. Sehingga perundang-undangan yang baru nanti harus sebanyak mungkin mendapatkan bahan-bahannya dari hasil penyelidikan hukum adat dan etnografi.
Dalam membangun hukum yang baru nanti, hukum adat sebagai modal dasarnya, artinya hukum yang akan tumbuh, tetap berakar pada hukum adat, hukum yang baru tetap mengangkat hukum adat atau hukum yang tidak tertulis. Pada pasal 23 ayat 1 bahwa “Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” atau hukum yang hidup dalam masyarakat, pasal 27 ayat 1 UU nomor 14 tahun 1970 bahwa “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Pada pasal 5 UU nomor 5 tahun 1960 bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”, penjelasan pasal 37 UU nomor 1 tahun 1974 bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”. Intinya, semua pasal-pasal tersebut mengangkat nama atau memberi kedudukan hukum adat dalam perundangan yang baru.



PEMBAHASAN
Hukum Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan, namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu bila tidak ditaati. Dari pengertian Hukum Adat yang diungkapkan diatas, bentuk Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum, berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Namun di suatu sisi bila hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat.
Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal Hukum Adat. Adapun sumbangan atau konstribusi Hukum Adat terhadap Pembangunan sistem Hukum Indonesia antara lain :
A.  Hukum Adat Dalam Konsitusi.
UUD 1945 ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka asas-asas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujdukan dan disesusikan dengan dengan tuntutan dan perekembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat dan pemimpinnyai, artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui kepngambilan kebijakan publik. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
B.  Hukum Adat Dalam UU Drt No. 1 Tahun 1951.
Hukum adat dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimuat dalam pasal 1 dan pasal 5. Pasal 1, ditegaskan bahwa, “Kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan yang meliputi badan pengadilan gubernemenm badan pengadilan swapraja (Zellbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan swapraja, dan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat yang telah dihapuskan.
C.  Hukum Adat Dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Hukum adat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 merupakan pengaturan yang sangat bersentuan langsung dengan masyarakat adat. Dalam pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan undang-undang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber pada hukum agama. Dalam Penjelasan Undang-undang disebutkan: Hukum adat yang disempurnakan dan disuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dunia internasional serta sesuai dengan sosialisme Indonesia.
Hukum adat yang dimaksud adalah adalah bukan hukum adat asli yang senyatanya berlaku dalam masyarakat adat, melainkan melainkan hukum adat yang sudah direkontruksi, hukum adat yang sudah: disempurnaka, desain, modern, yang menurut Moch.Koesnoe menganggap hukum adat yang ada dalam UUPA telah hilang secara materiil, karena dipengaruhi oleh lembaga-lembaga dan ciri-ciri hukum barat atau telah dimodifikasikan oleh sosialisme Indonesia sehingga yang tersisa hanyalah formulasinya (bajunya) saja.
D.  Perkembangan Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Indonesia
Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum, selain merupakan keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat, juga merupakan sarana pembinaan hukum adat, sesuai cita-cita hukum, sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan – perkembangan hukum adat, baik yang masih bersifat local maupun yang telah berlaku secara nasional. Perkembangan-perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi akan memberikan pengetahuan tentang pergeseran dan tumbuhnya hukum adat, melemahnya hukum adat local dan menguatnya hukum adat yang kemudian menjadi bersifat dan mengikat secara nasional. Perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi dapat dilacak dalam hal Prinsip Hukum Adat.
Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras, hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986. Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras, hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986.
Dalam Putusan MA-RI Nomor 2898 K/Pdt/1989 tanggal 19 Nomember 1989, berdasarkan sengketa adat yang dimbul di Pengadilan Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur, Mahkamah Agung menegaskan: “Dalam menghadapi kasus gugatan perdata yang fondamentum petendi dan petitumnya berdasarkan pada pelanggaran hukum adat dan penegasan sanksi adat; Bila dalam persidangan penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya, maka hakim harus menerapkan hukum adat mengenai pasal tersebut yang masih berlaku di daerah bersangkutan, setelah mendengar Tetua adat setempat.
Kaedah hukum selanjutnya: “Penyelesaian pelanggaran hukum adat, disamping melalui gugatan perdata tersebut di atas, dapat pula ditempuh melalui tuntutan pidana ig pasal 5 (3)b UU No. 1 Drt/1951“.
E.  Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim padaPerngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1.     Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
2.     Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3.     Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Ditinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
F.   Hukum Adat Dalam Pembangunan Tata Hukum Nasional
Masyarakat Indonesia tengah berusaha menegakkan kembali nilai-nilai dasar Negara yang berdasar atas hukum. Supremasi hukum menghendaki bahwa dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi, sistem hukumlah yang harus dijadikan pegangan sebagai satu-satunya ukuran yang tertinggi. Dengan demikian, penegakan supremasi hukum tidak perlu mengabaikan perhatian terhadap aspek pembangunan lainnya.
Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan, bagaimanapun didefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang dipergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.
Law is a command of the Lawgiver, dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis.
Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat, yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat.
Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.
Hukum Adat dimaknai dalam konteks yang lebih dalam dan lebih tinggi sifatnya, yakni dalam bentuk asas-asas atau nilai-nilai yang hidup sebagai suatu cita hukum dari masyarakat asli Indonesia, yang sifatnya lebih abstrak sehingga bersifat unversil (cth:asas gotong royong, fungsi sosial manusia dan milik, persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan, dll)
Hukum Adat dimaknai sebagai rasa keadilan rakyat Indonesia, sebagaimana diungkapkan Djojodiguno: Hukum Adat adalah kaidah-kaidah yang dapat disimpulkan dari sumber hukum tertentu dan timbul langsung sebagai pernyataan dari rasa keadilan orang Indonesia dalam hubungan pamrih. Hukum adat dimaknai sebagai semangat, jiwa dan kebudayaan Indonesia.
Hukum Adat dalam konteks tersebut tidak lagi terbatas pada sekat-sekat lokalitas, melainkan justru mampu menembus sekat-sekat tersebut dan bersifat nasional. Oleh karena itulah dalam keputusan kongres Sumpah Pemuda dahulu, hukum adat tidak dipandang sebagai unsur pemisah, melainkan justru dupandang sebagai unsur pemersatu. Sehingga Hukum Adat jelas mampu dijadikan hukum paling dasar dan sebagai sumber norma yang pertama dalam tata Hukum Indonesia.
Jika yang dikatakan rechtsidee dari UUD kita adalah hukum adat (dalam makna yang baru dan luas), sedangkan sebagaimana dijelaskan di muka (Penjelasan Umum UUD45 Bag III) bahwa rechtsidee ini terwujud dari pokok-pokok pikiran yang berada dalam Pembukaan yang tidak lain juga adalah Pancasila, maka Hukum Adat dalam arti yang luas dan tingggi ini dapat dimaknai pula sebagai.
Hukum Pancasila, hal inilah yang merupakan alasan ke (2) sekaligus alasan penguat bahwa kedudukan Hukum Adat sebelum dan setelah amandemen UUD 45 secara logis tidak berubah. Dengan adanya istilah Hukum Adat sebagai sinonim dari Hukum Pancasila, maka kedudukan Hukum Adat bukanlah di dalam Hukum Indonesia / Hukum Nasional, melainkan Hukum Adat adalah Hukum Indonesia / Hukum Nasioanal.
Berkait uraian di atas, maka dalam pembentukan dan pembangunan hukum Indonesia yang sesungguhnya hal yang perlu dilakukan adalah dengan banyak mengadakan penelitian terhadap nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia asli oleh seluruh pengemban hukum di Indonesia, untuk nantinya disarikan menjadi nilai-nilai dan asas-asas yang bersifat abstrak, bernilai universal, serta berkarakter nasional.
Namun pemerapan hal di atas dengan tetap bertahan pada bentuk Civil Law System akan membawa kesulitan-kesulitan tersendiri yang cukup serius. Dalam hal ini berkait dengan prinsip legisme yang ada di dalamnya, sehingga akan potensial mengalami kesulitan jika dihadapkan pada budaya yang bersifat dinamis sebagai wadah dari nilai-nilai yang hidup sebagai cita hukum ini.
Sistem Hukum Adat adalah tawaran (dan keharusan) bagi pembangunan Sistem Hukum Indonesia yang sesungguhnya, sehingga jika konsisten dengan apa yang telah terjabarkan dalam uraian ini yaitu Hukum adat sebagai Hukum Nasional, maka perombakan total sistem hukum yang kita pakai selama ini adalah merupakan konsekuensi logis, dan untuk itu penulis menyarankan untuk melihat analogi yang terdekat, yakni kepada Common Law dengan Sistem Jury dalam sistem peradilannya, sebagaimana juga diharapkan oleh Ter Haar.
Dengan demikian, kontribusi hukum adat terhadap pembangunan system hukum di Indonesia antara lain, dengan adanya hukum perkawinan, hukum waris, hukum agraria (UUPA) dan hukum adat lainnya. Yang mana menjadi  acuan untuk membina hukum nasional. Sehingga, secara normative pembangunan system hukum di Indonesia itu berpedoman pada system hukum Negara-negara modern seperti Belanda (azas konkordansi) akan tetapi tanpa mengabaikan kepentingan nasional dan tanpa menyisihkan hukum adat yang merupakan penjelmaan dari kepribadian bangsa.



PENUTUP

Sumbangan atau konstribusi Hukum Adat terhadap Pembangunan sistem Hukum Indonesia antara lain :
1.        Hukum Adat Dalam Konsitusi.
2.        Hukum adat dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
3.        Hukum adat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
4.        Perkembangan Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Indonesia
5.        Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
6.        Hukum Adat Dalam Pembangunan Tata Hukum Nasional













DAFTAR PUSTAKA
Ardinarto, ES. 2007. Mengenal Adat Istiadat dan Hukum Adat di Indonesia. Surakarta: UNS Perss.


0 komentar:

Posting Komentar