PENDAHULUAN
Membina
hukum nasional tidak berarti menciptakan hukum baru yang memenuhi tuntutan rasa
keadilan dan kepastian hukum saja, tetapi juga memenuhi tututan naluri
kebangsaan sesuai dengan falsafah negara kita Pancasila. Menciptakan
hukum-hukum baru itu nantinya bertujuan untuk mendirikan suatu masyarakat
Indonesia yang bersatu, bersifat nasional, berdaulat kultur, adil, makmur di
bidang sisosial dan ekonomi. Sehingga perundang-undangan yang baru nanti harus
sebanyak mungkin mendapatkan bahan-bahannya dari hasil penyelidikan hukum adat
dan etnografi.
Dalam membangun hukum yang baru nanti, hukum adat
sebagai modal dasarnya, artinya hukum yang akan tumbuh, tetap berakar pada
hukum adat, hukum yang baru tetap mengangkat hukum adat atau hukum yang tidak
tertulis. Pada pasal 23 ayat 1 bahwa “Segala putusan Pengadilan selain harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal
tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” atau hukum yang hidup dalam
masyarakat, pasal 27 ayat 1 UU nomor 14 tahun 1970 bahwa “Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.” Pada pasal 5 UU nomor 5 tahun 1960 bahwa “Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama”, penjelasan pasal 37 UU nomor 1 tahun 1974 bahwa
“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya
masing-masing”. Intinya, semua pasal-pasal tersebut mengangkat nama atau
memberi kedudukan hukum adat dalam perundangan yang baru.
PEMBAHASAN
Hukum
Adat merupakan sebuah aturan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan,
namun tetap ditaati dalam masyarakat karena mempunyai suatu sanksi tertentu
bila tidak ditaati. Dari pengertian Hukum Adat yang diungkapkan diatas, bentuk
Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis. Padahal, dalam sebuah negara hukum,
berlaku sebuah asas yaitu asas legalitas. Namun di suatu sisi bila hakim tidak
dapat menemukan hukumnya dalam hukum tertulis, seorang hakim harus dapat
menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat
merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu
daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai
daya ikat yang kuat dalam masyarakat.
Hukum
Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya
aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari
juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia
menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis,
ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat.
Artinya hakim juga harus mengerti perihal Hukum Adat. Adapun sumbangan atau konstribusi Hukum Adat
terhadap Pembangunan sistem Hukum Indonesia antara lain :
A. Hukum Adat Dalam Konsitusi.
UUD 1945 ada 4 pokok pikiran dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini
mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran
kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan
keadilan hukum. Maka asas-asas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam
mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujdukan dan disesusikan dengan
dengan tuntutan dan perekembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai
primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : pokok pikiran ini sangat fondamental
dan penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat dan pemimpinnyai,
artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum,
perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan
kepentingan umum melalui kepngambilan kebijakan publik. Pokok pikiran keempat
adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan
cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia,
masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan
negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya
semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya.
Namun setelah
amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
B. Hukum Adat
Dalam UU Drt No. 1 Tahun 1951.
Hukum adat
dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dimuat dalam pasal 1 dan pasal
5. Pasal 1, ditegaskan bahwa, “Kecuali pengadilan desa seluruh badan pengadilan
yang meliputi badan pengadilan gubernemenm badan pengadilan swapraja (Zellbestuurrechtspraak) kecuali pengadilan agama jika
pengadilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian dari pengadilan
swapraja, dan pengadilan adat (Inheemse rechtspraak in rechsreeks bestuurd
gebied) kecuali pengadilan agama jika pengadilan itu menurut hukum yang
hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari pengadilan adat yang telah
dihapuskan”.
C. Hukum Adat Dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Hukum adat
dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 merupakan pengaturan yang sangat bersentuan
langsung dengan masyarakat adat. Dalam pasal 5
UU No. 5 Tahun 1960 ditegaskan: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dengan peraturan undang-undang lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersumber pada hukum agama. Dalam
Penjelasan Undang-undang disebutkan: Hukum adat yang disempurnakan dan
disuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam
hubungannya dunia internasional serta sesuai dengan sosialisme Indonesia.
Hukum adat
yang dimaksud adalah adalah bukan hukum adat asli yang senyatanya berlaku dalam
masyarakat adat, melainkan melainkan hukum adat yang sudah direkontruksi, hukum
adat yang sudah: disempurnaka, desain, modern, yang menurut Moch.Koesnoe
menganggap hukum adat yang ada dalam UUPA telah hilang secara materiil, karena
dipengaruhi oleh lembaga-lembaga dan ciri-ciri hukum barat atau telah
dimodifikasikan oleh sosialisme Indonesia sehingga yang tersisa hanyalah
formulasinya (bajunya) saja.
D. Perkembangan
Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Indonesia
Dalam hukum
adat, yurisprudensi hukum, selain merupakan keputusan pengadilan yang telah
menjadi tetap dalam bidang hukum adat, juga merupakan sarana pembinaan hukum
adat, sesuai cita-cita hukum, sekaligus dari yurisprudensi dari masa ke masa
dapat dilacak perkembangan – perkembangan hukum adat, baik yang masih bersifat
local maupun yang telah berlaku secara nasional. Perkembangan-perkembangan
hukum adat melalui yurisprudensi akan memberikan pengetahuan tentang pergeseran
dan tumbuhnya hukum adat, melemahnya hukum adat local dan menguatnya hukum adat
yang kemudian menjadi bersifat dan mengikat secara nasional. Perkembangan hukum
adat melalui yurisprudensi dapat dilacak dalam hal Prinsip Hukum Adat.
Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras,
hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984
tanggal 29 April 1986. Hukum adat
antara lain bersandarkan pada azas: rukun, patut, laras, hal ini
ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29
April 1986.
Dalam Putusan MA-RI Nomor 2898 K/Pdt/1989 tanggal 19
Nomember 1989, berdasarkan sengketa adat yang dimbul di Pengadilan Kefamenanu,
Nusa Tenggara Timur, Mahkamah Agung menegaskan: “Dalam menghadapi kasus gugatan perdata yang fondamentum petendi dan
petitumnya berdasarkan pada pelanggaran hukum adat dan penegasan sanksi adat;
Bila dalam persidangan penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya, maka hakim
harus menerapkan hukum adat mengenai pasal tersebut yang masih berlaku di
daerah bersangkutan, setelah mendengar Tetua adat setempat.“
Kaedah
hukum selanjutnya: “Penyelesaian pelanggaran hukum adat, disamping melalui
gugatan perdata tersebut di atas, dapat pula ditempuh melalui tuntutan pidana
ig pasal 5 (3)b UU No. 1 Drt/1951“.
E. Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum
adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah
satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas
bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat
yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat
suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau
prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh
sala satu Hakim padaPerngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini
pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman Nomor 4 tahun 2004.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum
Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk
menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional
bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang
menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan
yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1.
Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
2.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan
hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah
ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya
(deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola
ketertiban di lingkungannya.
Ditinjau
secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan
atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi
dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 /
1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
F.
Hukum Adat
Dalam Pembangunan Tata Hukum Nasional
Masyarakat
Indonesia tengah berusaha menegakkan kembali nilai-nilai dasar Negara yang
berdasar atas hukum. Supremasi hukum menghendaki bahwa dalam menyelesaikan
setiap permasalahan yang dihadapi, sistem hukumlah yang harus dijadikan pegangan
sebagai satu-satunya ukuran yang tertinggi. Dengan demikian, penegakan
supremasi hukum tidak perlu mengabaikan perhatian terhadap aspek pembangunan
lainnya.
Semua
masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan, bagaimanapun
didefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang dipergunakan bagi
masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk
menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.
Law is a command of the
Lawgiver, dalam arti perintah dari mereka yang memiliki
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin,
seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hububngan hukum dan
politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut
aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari
produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari
kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari
dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan
sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung
pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum
yang hidup.
Memperhatikan
perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang
spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan
Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari
berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang
berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian
besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum
tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis.
Walaupun
demikian Belanda menganut politik hukum adat,
yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat
Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang
bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia
Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan
kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat.
Karena
itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan
sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat
perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia.
Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan
hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud
hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan
ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan
harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem
hukum Indonesia pada masa mendatang.
Memahami
hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam
kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang
diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian
terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan
sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme
dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus
mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun
nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan
sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru
melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baru.
Kenyataan
ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak
tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual),
sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis.
Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta
kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi
bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum
dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.
Hukum
Adat dimaknai dalam konteks yang lebih dalam dan lebih tinggi
sifatnya, yakni dalam bentuk asas-asas atau nilai-nilai yang
hidup sebagai suatu cita hukum dari masyarakat asli
Indonesia, yang sifatnya lebih abstrak sehingga bersifat
unversil (cth:asas gotong royong, fungsi sosial
manusia dan milik, persetujuan sebagai dasar kekuasaan
umum, asas perwakilan
dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan, dll)
Hukum
Adat dimaknai sebagai rasa keadilan rakyat Indonesia, sebagaimana
diungkapkan Djojodiguno: Hukum Adat adalah kaidah-kaidah
yang dapat disimpulkan
dari sumber hukum tertentu dan timbul langsung sebagai
pernyataan dari rasa keadilan orang Indonesia dalam
hubungan pamrih. Hukum adat dimaknai sebagai
semangat, jiwa dan kebudayaan Indonesia.
Hukum
Adat dalam konteks tersebut tidak lagi terbatas pada
sekat-sekat lokalitas, melainkan justru mampu menembus
sekat-sekat tersebut dan bersifat nasional. Oleh karena
itulah dalam keputusan kongres Sumpah Pemuda dahulu, hukum adat
tidak dipandang
sebagai unsur pemisah, melainkan justru dupandang
sebagai unsur pemersatu. Sehingga Hukum Adat jelas mampu dijadikan hukum
paling dasar dan sebagai sumber norma yang pertama dalam tata
Hukum Indonesia.
Jika
yang dikatakan rechtsidee dari UUD kita adalah hukum adat
(dalam makna yang baru dan luas), sedangkan sebagaimana dijelaskan
di muka (Penjelasan Umum UUD45 Bag III) bahwa rechtsidee ini
terwujud dari pokok-pokok pikiran yang berada dalam Pembukaan
yang tidak lain juga adalah Pancasila, maka Hukum Adat
dalam arti yang luas dan tingggi ini dapat dimaknai
pula sebagai.
Hukum
Pancasila, hal
inilah yang merupakan alasan ke (2) sekaligus alasan penguat
bahwa kedudukan Hukum Adat sebelum dan setelah amandemen UUD
45 secara logis tidak berubah. Dengan adanya istilah Hukum Adat
sebagai sinonim dari Hukum Pancasila, maka kedudukan
Hukum Adat bukanlah di dalam Hukum Indonesia / Hukum
Nasional, melainkan Hukum Adat adalah Hukum Indonesia /
Hukum Nasioanal.
Berkait
uraian di atas, maka dalam pembentukan dan pembangunan hukum Indonesia
yang sesungguhnya hal yang perlu dilakukan adalah dengan banyak
mengadakan penelitian terhadap nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia
asli oleh seluruh pengemban hukum di Indonesia, untuk nantinya disarikan
menjadi nilai-nilai dan asas-asas yang bersifat abstrak, bernilai universal,
serta berkarakter nasional.
Namun
pemerapan hal di atas dengan tetap bertahan pada bentuk Civil Law System
akan membawa kesulitan-kesulitan tersendiri yang cukup serius. Dalam
hal ini berkait dengan prinsip legisme yang ada di dalamnya, sehingga
akan potensial mengalami kesulitan jika dihadapkan pada budaya yang
bersifat dinamis sebagai wadah dari nilai-nilai yang hidup sebagai cita hukum
ini.
Sistem
Hukum Adat adalah tawaran (dan keharusan) bagi pembangunan Sistem
Hukum Indonesia yang sesungguhnya, sehingga jika konsisten dengan
apa yang telah terjabarkan dalam uraian ini yaitu Hukum adat sebagai
Hukum Nasional, maka perombakan total sistem hukum yang kita pakai
selama ini adalah merupakan konsekuensi logis, dan untuk itu penulis menyarankan
untuk melihat analogi yang terdekat, yakni kepada Common Law
dengan Sistem Jury dalam sistem peradilannya, sebagaimana juga diharapkan
oleh Ter Haar.
Dengan demikian, kontribusi hukum adat terhadap pembangunan
system hukum di Indonesia antara lain, dengan adanya hukum perkawinan,
hukum waris, hukum agraria (UUPA) dan hukum adat lainnya. Yang mana
menjadi acuan untuk membina hukum
nasional. Sehingga, secara normative pembangunan system hukum di Indonesia itu berpedoman
pada system hukum Negara-negara modern seperti Belanda (azas konkordansi) akan
tetapi tanpa mengabaikan kepentingan nasional dan tanpa menyisihkan hukum adat
yang merupakan penjelmaan dari kepribadian bangsa.
PENUTUP
Sumbangan
atau konstribusi Hukum Adat terhadap Pembangunan sistem Hukum Indonesia antara
lain :
1.
Hukum Adat Dalam Konsitusi.
2.
Hukum adat dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951
3.
Hukum adat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
4.
Perkembangan Hukum Adat
Dalam Yurisprudensi Indonesia
5.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
6.
Hukum Adat Dalam Pembangunan Tata Hukum Nasional
DAFTAR PUSTAKA
Ardinarto,
ES. 2007. Mengenal Adat Istiadat dan Hukum Adat di Indonesia. Surakarta: UNS
Perss.
file:///C:/Users/Wiwit/Documents/perkembangan-dan-kontribusi-hukum-adat.html
diakses tanggal 3 Mei 2012.
file:///C:/Users/Wiwit/Documents/urgensi-dan-kontribusi-hukum-adat-dalam.html
diakses tanggal 3 mei 2012.
http://www.gunungmaskab.go.id/informasi/ucapan-dirgahayu-ke-8-kab-gunung-mas-dari-pemprov-kalteng.html
diakses tanggal 5 Mei 2012.
http://wisnu.blog.uns.ac.id/2009/07/28/kedudukan-hukum-adat-dalam-hukum-nasional/html.
diakses tanggal 5 Mei 2012.
0 komentar:
Posting Komentar