Minggu, 24 Maret 2013

TUGAS INTERGRASI NASIONAL



Soal : Perbuatan apa yang harus kita lakukan untuk mendekatkan diri pada Tuhan menurut    agama islam yang mana perbuatan tersebut dapat menjauhkan kita dari konflik antar agama, berbangsa dan bernegara?
Jawaban:
Bagi masyarakat awam yang mengharapkan rasa aman dan kedamaian, memang sering menjadi pertanyaan, yaitu mengapa harus ada konflik? Apalagi tindak kekerasan dengan berlatar agama? Mengapa agama yang katanya mengajak kita untuk berbuat baik dan menghindari keburukan, justru kental dengan nuansa konflik dan kekerasan? Pertanyaan tersebut bukanlah hal baru karena konflik dan tindak kekerasan berlatar sentimen keagamaan juga bukan hal baru. Memang, awalnya kehadiran agama dimaksudkan untuk mengajak manusia untuk berbuat baik dan benar.
Jika kita belajar sejarah agama-agama, mengenal para tokoh pembawa ajaran agama, semua pada awalnya karena berhadapan dengan suasana adanya kemungkaran atau keburukan, yang antara lain berbentuk konflik dan kekerasan. Jadi, sebetulnya jauh sebelum adanya agama yang kita anut dan yakini sekarang, konflik dan kekerasan sudah ada. Munculnya konflik dan kekerasan berlatar sentiment keagamaan banyak dipengaruhi oleh pemahaman terhadap agama, dalam arti adanya klaim bahwa agama, ajaran atau aliran yang dianut adalah paling benar, sementara yang lain adalah salah. Kalau sekadar klaim sebetulnya tidak menjadi masalah karena perbedaan adalah hal wajar. Dia menjadi masalah ketika perbedaan tersebut dirasa atau dinilai mengganggu, merendahkan atau menodai ajaran agama yang lain. Hal ini dapat kita lihat dari masalah ajaran Ahmadiyah.
Masalah lain juga banyak dipicu oleh sikap fanatisme dan radikalisme berlebihan dari segelintir orang atau kelompok agama. Fanatisme tersebut kian mengarah pada mengundang konflik atau bahkan memicu kekerasan, manakala terkait dengan pemahaman ajaran agama yang seolah-olah dapat membenarkan tindak kekerasan. Kegiatan misi atau dakwah yang jika diwarnai semangat fanatisme dan radikalisme berlebihan, selama ini selalu mengundang reaksi yang pada akhirnya berujung pada konflik  dan kekerasan.
Fanatisme dan radikalisme ada pada setiap penganut agamapun. Adalah salah, jika sikap fanatis dan radikal hanya ditujukan pada salah satu penganut agama tertentu saja, apalagi Islam. Jika di Indonesia terlihat menonjol, hal itu karena mayoritas penduduknya memang beragama Islam. Jadi, sebetulnya jika kita mau melihat ke masing-masing umat beragama, maka alan ditemukan orang-orang yang memiliki sikap fanatis dan radikal. Mereka ini selalu siap untuk berkonflik, melakukan tindak kekerasan, siap mati konyol, dengan dalih untuk mempertahankan agama dan keyakinannya.
Dengan demikian, dalam lingkungan yang majemuk, multi keragaman, ada baiknya para tokoh atau pemimpin agama, tidak hanya Islam dapat mengambil peran lebih besar untuk dapat mengendalikan mereka-mereka yang berpotensi mudah terpancing konflik dan kekerasan. Sikap fanatis dan radikal sudah jelas hanya dapat dikendalikan tetapi mustahil dapat dihapus, mengingat itulah kenyataan sepanjang sejarah kehidupan agama-agama.
Semangat Dialogis
Tampaknya untuk dapat mengerem konflik dan kekerasan, selain penekanan sebagaimana diserukan Presiden SBY, perlu secara khusus dikembangkan semangat dialogis yang dapat mempertemukan antar pemuka agama-agama dan antar internal pemuka agama. Masa Orde Baru, pernah dikembangkan secara intens forum dialog antar umat beragama. Masa itu, peran pemerintah memang sangat dominant dalam ikut mendorong forum dialog tersebut. Saat ini forum ini cenderung tidak lagi terlalu menonjol, sementara permasalahan antar umat beragama kini malah terlihat meningkat.
Perlu kita ingat bahwa awal reformasi banyak pula diwarnai oleh konflik bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Bukan kah kita masih ingat konflik dan tindak kekerasan di Ambon, Sampit dan Poso yang menelan banyak kerugian harta benda dan korban jiwa? Begitu pula berbagai tindak kekerasan yang bernuansa main hakin sendiri, seperti yang dikeluhkan terhadap FPI, hanya marak pada era reformasi sekarang ini? Semua konflik dan tindak kekerasan tersebut terkait dengan masalah agama, baik langsung maupun tidak langsung.
Ada baiknya semangat dialogis yang dikembangkan masa Orde Baru juga kembali ditingkatkan. Malahan tentu saja, semangat dialogis itu tidak didominasi oleh peran pemerintah, melainkan oleh lembaga-lembaga keagamaan yang ada. Namun, pemerintah tetap tidak boleh lepas tangan, setidaknya dalam ikut memfasilitasi terhadap kegiatan yang mendorong semangat dialogis tersebut. Jangan sampai dengan dalih pemerintah tidak ingin campur terlalu jauh dalam masalah umat beragama, lantas sama sekali tidak lagi memberikan fasilitas dalam kerangka membangun kerukunan intern dan antar umat beragama. Bukankah dampak dari ketidakrukunan, munculnya konflik dan tindak kekerasan, termasuk berlatar sentiment agama, tetap menjadi tanggungjawab pemerintah?
Bagaimana pun memang, upaya mengendalikan atau mengerem konfilk dan kekerasan, serta membangun suasana damai merupakan tugas dan tanggungjawab kita semua, baik dilihat dari sudut individu maupun kelompok masyarakat dan Negara. Dari sudut individu, tampaknya upaya menghindari konflik dan kekerasan, serta membangun kedamaian, tidak lain hanyalah dengan mengembangkan semangat spritualitas yang bersifat universal. Dalam hal ini, antara lain apa yang dikenal dengan semangat silaturahim bagi umat Islam dan cinta kasih bagi umat Kristiani.
Islam Adalah Agama Rahmat, Damai dan Penuh Toleransi.
Konflik dan kerusuhan yang hampir tiada henti di Indonesia, mau tidak mau membuat peran tokoh agama dan nilai-nilai agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang pluralist-religious banyak dipertanyakan orang. Sebagai masyarakat religius yang mencantumkan kepercayaan kepada Tuhan sebagai landasan utama hidup bermasyarakat, semestinya kerusuhan yang berbau sara tidak terjadi di Indonesia. Bukankah falsafah moral setiap agama mengajarkan manusia untuk saling hormat menghormati dan toleran. Ketikaternyata isu kerusuhan berbau sara terus berlanjut adalah wajar kalau nilai-nilai agama tentang toleransi dan pluralisme kembali diperdebatkan.
Untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pertanyaan
tentang bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang pluralisme dan toleransi agama
adalah sangat relevan. Kalau etika Al-Qur’an ternyata sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme dan toleransi, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apa yang salah dengan praktek keagamaan kita? Apakah karena kesalahan interpretasi nilai agama ataukah karena transformasi nilai agama yang diajarkan oleh para agamawan kurang bisa diterima oleh umatnya, sehingga nilai-nilai pluralisme dan toleransi tidak membumi?
Pluralisme dalam Al-Qur’an
Ide tentang pluralisme dalam Al-Qur’an sudah disebutkan sejak penciptaan manusia. Tuhan sebagai Zat yang transenden menciptakan manusia dari sepasang laki-laki dan perempuan, dan dari keduanya dijadikanlah manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (QS  al-Hujurat/49:13):
Manusia diciptakan oleh Tuhan sangat variatif dan berbeda. Mengapa Tuhan sebagai Zat yang Maha Tahu tidak menciptakan manusia dalam satu rumpun suku yang homogen? Selain untuk menguji manusia untuk berlomba-lomba menunjukkan usaha dan pengabdian terbaiknya kepada Tuhan di dunia yang plural, tujuan utama penciptaan manusia yang berbeda-beda adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan saling memahami. Bukankah dengan adanya perbedaan mendorong manusia untuk bertanya, menganalisa dan mencoba berfikir keras untuk saling memahami. Perbedaan juga menuntut manusia untuk saling mempromosikan harmonitas dan kerjasama. Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang berbeda bukan sebagai sumber perpecahan atau polarisasi masyarakat.
Al-Qur’an juga menekankan bahwa manusia di dunia, tanpa memandang
perbedaan suku dan ras, disatukan dalam perlunya ketaatan mereka kepada satu Tuhan Sang Pencipta. Dalam ayat yang lain, Quran menekankan prinsip persatuan dalam perbedaan (unity in diversity). “Sungguh komunitasmu adalah komunitas yang satu dan Aku adalah Tuhan-mu, maka mengabdilah kepada-Ku” (Qur’an al-Anbiya/21:92).
Penekanan tentang pesan Tuhan yang universal, bahwa tugas seluruh manusia adalah mengabdi kepada Tuhan, dengan jelas terrefleksi dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menyebutkan bahwa perintah pengabdian kepada Tuhan adalah pesan Tuhan kepada seluruh manusia, tak ada satu orang atau satu bangsa pun yang tertinggal (QS Fatir/35:24).
“Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaransebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan Telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”
Al-Qur’an juga mengakui adanya umat sebelum Muhammad dan kitab suci mereka. Berulangkali Al-Qur’an mengkonfirmasikan bahwa kebenaran yang ada pada kitab-kitab sebelum Muhammad adalah datang dari Tuhan yang sama, dan Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan terakhir yang bersifat penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya.
Katakanlah bahwa kami beriman kepada Tuhan dan kepada kitab  yang diturunkan-Nya, kami juga beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan kami juga beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain. Kami tidak membuat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dan hanya kepada
Allah lah kami beribadah (QS Ali Imran/ 3:84).
Lebih jauh Al-Qur’an menghormati dan mengakui adanya ahlul kitab,
sehingga apabila ada keraguan pada diri Muhammad tentang penunjukkan dirinya
sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai wahyu, Muhammad dipersilahkan untuk
bertanya kepada para Ahli Kitab (QS Yunus10:94 dan 29:46).
Dalam hal toleransi dan kebebasan beragama dengan jelas Al-Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS 2:256) dan dalam hal praktek keagamaan Al-Qur’an menyebutkan bahwa “untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS 109:6).
Nabi SAW dan Para Sahabatnya Sebagai Uswah Hasanah
Penerapan nilai-nilai toleransi dan pluralisme Al-Qur’an sudah dicontohkan oleh Rasul Muhammad ketika pertama kali hijrah ke Madinah. Sejarah mencatat bahwa Muhammad bukan hanya mampu mendamaikan dua suku Aus dan Khazraj yang senantiasa bertikai, tetapi juga mampu menerapkan jargon “no compulsion in religion” terhadap masyarakat Madinah ketika itu yang juga plural dengan berbagai agama, sehingga melahirkan apa yang di sebut dengan “Piagam Madinah” yang meletakan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat majemuk. Dalam piagam tersebut di atur hubungan antar sesama anggota komunitas Islam dan di antara komunitas Islam dengan komunitas lainnya, antara lain:
  • Saling membantu dalam pengamanan wilayah Madinah.
  • Membela warga yang teraniyaya.
  • Menghormati kebebasan beragama dan beribadah.
  • Menjaga hubungan bertetangga dengan baik.
  • Mengadakam musyawarah jika terjadi sesuatu diantara mereka.
Tradisi toleransi beragama ini dilanjutkan oleh Khulafaur Rashidin pasca Muhammad wafat. Sebagai contoh, sejarah mencatat bagaimana Ali Bin Abi Thalib sangat menekankan dan menghargai kebebasan beragama ketika dia menjadi khalifah keempat. Dalam salah satu suratnya kepada Malik al-Ashtar yang ditunjuk Ali menjadi Gubernur Mesir, dia mencatat: “Penuhi dadamu dengan cinta dan kasih sayang terhadap sesama, baik terhadap muslim (saudaramu seagama) atau non-Muslim (sebagai sesama ciptaan Tuhan)”. Dan juga bagaimana Umar Bin Khattab waktu menerima berita bahwa pasukan Islam telah mengusai al-Quds (Yerusalem), segera dikirimkan perintah kepada komandan pasukannya, yang berisi antara lain:
  1. Berikan jaminan keamanan kepada penduduk, baik jiwanya, harta miliknya maupun rumah-rumah ibadatnya.
  2. Jangan mengganggu dan merusak gereja-gerejanya atau salib-salibnya.
  3. Jangan mengganggu atau mengambil barang-barang fasilitas peribadatan yang mereka miliki.
  4. Jangan memaksakan agama kepada mereka.
Imam al-Thabari bercerita banyak tentang hal-hal seperti di atas dalam karyanya “Tarikh al-Umam wa al-Muluk”. Diantaranya bahwa di lingkungan mazhab Hanafi dikemukakan bahwa meskipun agama Islam melarang minuman keras dan daging babi, tapi seorang muslim tidak diperbolehkan memaksakan aturan tersebut kepada pemeluk agama lain. Bahkan bila seorang muslim merusak atau merampas seperti barang-barang tersebit di atas dari pemiliknya yang bukan muslim, maka ia harus menggantinya atau membayar nilai harganya.
Maka kalu kita tengok sejarah Umat Islam masa lalu,  akan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya konflik-konflik yang terjadi antara komunitas muslim dan non muslim, khususnya pada masa Nabi SAW tidak dipicu oleh konflik teologis atau masalah peribadatan, tetapi lebih disulut oleh pelanggaran komitmen politis dan terjadinya pelecehan etika sosial yang sebelumnya telah disepakati oleh keduabelah pihak.
Melihat tingginya apresiasi Al-Qur’an terhadap nilai-nilai toleransi dan mengakui pluralisme sebagai tanda kebesaran Tuhan, mengapa mesti ada permusuhan antar agama, apalagi antar suku, ras dan golongan yang terkadang masih dalam satu agama? Tatkala teks sacral berkata tidak ada pemaksaan dalam agama, mengapa kita harus memaksakan kehendak kepada orang lain untuk mempunyai ideologi dan kepercayaan yang sama dengan kita? Ketika sejarah awal Islam merekam bagaimana Muhammad dan para sahabatnya menerapkan nilai-nilai toleransi dan semangat pluralisme danlam kehidupan bermasyarakat, mengapa semangat itu seolah hilang di jaman sekarang?
Islam Agama Sulh( damai) dan Rahmah (kasih-sayang)
Islam memandang bahwa perdamaian adalah suatu hal yang prinsip dalam Islam, sebagaimana ditegaskan al-Qur’an dalam surat al-Nisa: 114;
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.”
Al-Shulh dalam Islam dan hukum Islam memiliki cakupan area yang cukup luas. Ada al-Shulh dengan orang-orang kafir (Harbi); Q.S. al-Nisa:89-90. al-Sulh antar sesama muslim yang bertikai; Q.S. al-Hujurat:9-10. al-Sulh antara pemberontak (muslim) dan pemerintah (muslim) yang adil. Al-Sulh dengan membayar diyat (tebusan sejumlah harta/uang) kepada ahli waris seseorang yang dibunuh oleh terpidana pembunuhan yang harus di qishas (eksekusi mati); Q.S. al-Baqarah:178. al-Shulh antara suami-isteri yang di ambang perceraian; dengan mengutus al-hakam (juru runding) dari kedua belah pihak; Q.S. al-Nisa:35. Dan lain-lain.
Beberapa ayat jihad dan perang dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak bisa dijadikan simpulan bahwa Islam senang peperangan dan benci perdamaian. Karena legalitas perang (jihad) dalam Islam adalah terhadap musuh (kafir) yang terlebih dahulu menyerang atau membuat makar, sebagaimana perintah Allah terhadap kaum muslimin dalam Q.S. al-Baqarah:190-192:
[2.190] “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
[2.191] “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”
[2.192] “Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Jelas dalam ayat di atas bahwa perang itu boleh dilakukan terhadap musuh yang memulai dan tidak boleh berlebihan (2:190). Namun jika mereka berhenti (mengajukan perdamaian), maka damailah, karena Allah pun maha pengampun dan penyayang (suka perdamaian). Dan nyatalah kesalahan musuh-musuh Islam yang yang menyebar fitnah bahwa Islam suka membunuh di mana saja dengan berdalih penggalan awal al-Baqarah:191; “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka..”
Begitupun yang Allah perintahkan kepada Nabi Muhammad untuk memerangi orang kafir yang sudah terlebih dahulu memulai; Q.S. Al-Taubah: 13-14:
“[9.13] Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
[9.14] Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman”,
Bukan seperti yang dituduhkan musuh-musuh Islam yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi yang keras dan kejam karena diperintahkam untuk selalu memerangi dan membunuh orang kafir dan munafik seperti perintah dalam Q.S. al-Tahrim: 9;
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”
Karena pada prakteknya saat Nabi di kota Madinah al-Munawwarah, Nabi SAW hidup berdampingan dengan damai dan aman bersama komunitas masyarakatnya yang sangat pluralistis antara berbagai suku (kabilah-kabilah arab), etnis (arab, yahudi dan persia) dan agama (Islam, yahudi, kristen dan paganisme/musyrik) dengan ikatan perjanjian damai yang tertulis yang lebih populer dengan sebutan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah, Dustur al-Madinah, The Constitution of Medina), walau sebenarnya Nabi SAW mampu untuk memerangi dan membunuh mereka semua yang bukan Islam.
Dan dikarenakan juga; dalam pandangan ilmu Ushul Fiqh bahwa  perintah dalam Q.S. al-Tahrim: 9 di atas adalah masih bersifat umum (‘am) dan harus di takhshish (dirinci dan diperjelas) oleh Q.S. al-Taubah: 13 dan al-Baqarah: 190. Sebab jika tidak di-takhshish akan menimbulkan pemahaman kontradiktif antara keduanya, sehingga harus dicarikan solusi, yang antara lain dengan di-takhshish.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Farid Wajdi; bolehnya peperangan dalam Islam harus memenuhi tiga syarat, yaitu; (1) merupakan tindakan defensif (pertahanan dan pembelaan diri), bukan karena hawa nafsu kekuasan, (2) dalam perangnya haruslah menampakkan bahwa Islam adalah rahmat dengan tidak boleh membunuh selain yang terlibat perang, seperti tidak boleh membunuh anak-anak, perempuan, orang tua dan penduduk sipil lainnya yang tidak bersenjata juga tidak boleh membakar rumah penduduk dan fasiitas umum bahkan pepohonnpun tidak boleh ditebang/dibakar sembarangan, dan (3) tidak boleh berlebihan dan melampaui batas dalam perang dan dan membunuh musuh dan tidak boleh merampas harta-benda mereka.
Walaupun Islam mempunyai prinsip konsep al-Sulh ini, namun di dalam al-Sulh tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, seperti menghalalkan yang haram atau sebaliknya; mengharamkan yang halal. Hal ini di tegaskan Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya sebagai berikut;
ــ حدثنا الْحَسَنُ بنُ عَلِي الْخَلاَّلُ. حدَّثَنَا أبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ. حدَّثنَا كَثِيرُ بنُ عَبْدِ الله بنِ عَمْرِو بنِ عَوْفٍ المُزْنِيُّ عنْ أبِيهِ ، عنْ جَدِّهِ ، أنَّ رَسُولَ الله قالَ: «الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ المُسْلِمِينَ. إلاَّ صُلْحاً حَرَّمَ حَلاَلاً أوْ أحَلَّ حَرَاماً. والمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إلاَّ شَرْطاً حَرَّمَ حَلاَلاً أوْ أحَلَّ حَرَاماً» .
قال أبو عيسى هَذَا حديثٌ حسنٌ صحيحٌ.
“al-Hasan bin Ali al-Hilal meriwayatkan hadits  kepada kami, dari Abu Amir al-Aqdi, dari Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin Auf al-Muzni, dari ayahnya, dari ayah-ayahnya (kakeknya), dari Rasulullah SAW bersabda: al-Sulh itu jaiz (boleh) antara (bagi) umat Islam, kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau sebaliknya (menghalalkan yang haram). Dan umat Islam boleh berdamai (dengan orang kafir) dengan syarat yang mereka ajukan, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau sebaliknya.” Abu Isa berpendapat bahwa Hadits ini tergolong Hasan-Shoheh.
Sedangkan al-Rahmah (kasih sayang) ini adalah merupakan konsep yang paling mendasar Islam dan ajarannya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW; Nabi yang diutus Allah SWT sebagai al-rahmah dan penebar al-rahmah bagi segenap alam semesta; baik makhluk hidup atau benda mati, baik manusia atau hewan sebagaimana digarisbawahi al-Qur’an dalam surat al-Anbiya; 107;
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Allah SWT. mengutus dan memberi predikat Nabi Muhammad sebagai al-rahmah dan penebar al-rahmah, maka sungguh sangatlah tepat, terbukti dengan banyak sabda dan prilaku beliau yang mencerminkan hal itu. Yang antara lain Hadits-Hadits berikut ini:
1) Hadits dalam sunan al-Turmudzi no. 1928;
حدَّثنا ابنُ أبِي عُمَر ، حدثنا سُفْيَانُ عن عَمْرِو بنِ دِينَارٍ عن أَبِي قَابُوسَ عن عَبْدِ الله بنِ عَمْرٍو ، قالَ: قال رَسُولُ الله : «الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ. ارْحَمُوا مَنْ في اْلأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ في السَّماءِ. الرَّحِمُ شِجْنَةٌ مِنَ الرحمَنِ فَمَن وَصَلَهَا وَصَلَهُ الله وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ الله» .
قال أبو عِيسَى: هذا حديثٌ حسنٌ صحيحٌ.
“Meriwayatkan Hadits kepada kami; Ibn abi Umar, dari Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Qabus, dari Abdillah bin ‘Amr RA. berkata: Nabi SAW bersabda: “Orang-orang yang memiliki sifat rahmah (kasih-sayang) akan dirahmati oleh yang Maha Rahmah (Allah SWT), maka kasih dan sayangilah siapa saja yang ada di muka bumi  ini, maka pasti kalian akan dikasihsayangi oleh Allah SWT dan malikat-malikat-Nya yang ada di langit. Al-Rahim (kata dan makna rahmah; termasuk juga makna rahim yang berarti hubungan keluarga/saudara) itu diambil dari sifat Allah SWT; al-Rahman, maka barangsiapa yang menyambungnya (tali kasih-sayang dan tali silaturahmi), pasti Allah menyambungnya (hubungannya dengan Allah), dan sebaliknya; siapasaja yang memutusnya, maka pasti Allah juga akan memutuskan (hubungannya dengan Allah SWT/Allah akan memutuskan rahmat baginya).” Abu Isa berpendapat bahwa Hadits ini Hasan-Shaheh.
Dalam Hadits di atas jelaslah bagaimana perintah Nabi SAW. untuk menebar kasih dan sayang itu tidak terbatas kepada sesama muslim saja atau manusia saja, melainkan secara umum dan menyeluruh. Hal ini dibuktikan dengan kata “man” yang berarti siapa saja secara umum, yang juga mencakup hewan, sebagaimana diceritakan dalam Hadits berikut ini.
2) Hadits dalam Shaheh Bukhori, no. 5872;
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْراً فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْراً فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menceritakan Hadits kepada kami Ismail, dari Malik, dari Sumaya (bekas budak Abu Bakar), dari Abu Shaleh al-Samman, dari Abu Hurerah RA. Bahwa Nabi SAW. pernah bersabda; Ketika seorang laki-laki sedang berjalan dalam sebuah perjalanan dan ia sangat kehausan, lantas ia menemukan sebuah sumur, kemudian turun dan minim dari sumur tadi dan keluar, namun tiba-tiba ia dapati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya dan memakan debu karena sangat kehausan. Laki-laki tersebut berpikir dan berkata (dalam hatinya); Sunguh hausnya anjing ini sama dengan hausnya tadi, lantas ia turun lagi ke dalam sumur itu dan mengisi penuh sepatunya dengan air, kemudian ia keluar dari sumur dengan menggigit sepatu yang penuh air tersebut dan memberi minum anjing tadi dengan. Maka Allah berterima kasih padanya dengan mengampuni dosa-dosanya.” Para sahabat RA. Bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah kami juga akan mendapatkan pahala sebab ternak-ternak kami (yang di berimakan dan minum)?” Jawab Nabi SAW.: “Ya betul! Bahkan disetiap sesuatu yang hidup dan bernyawa ada pahala (ketika memberi kebajikan padanya)”
Dalam Hadits di atas ditegaskan bahwa perbuatan rahmah dan kebaikan kepada siapa saja akan mendapatkan pahala, walaupun terhadap anjing sekalipun yang termasuk salah satu hewan yang hina dan tidak terhormat dalam Islam. Apalagi terhadap hewan ternak atau hewan peliharaan kita. Bahkan Nabi SAW. melarang sahabatnya untuk membebani hewannya diluar kemampuannya atau tanpa beristirahat, bahkan Beliau SAW. melarang punggung hewan tunggangan dijadikan sebagai mimbar (untuk pidato yang lama). Sampai-sampai Nabi SAW. melarang menyembelih hewan ternak dengan pisau yang tidak atau kurang tajam dan melarang menyembelihnya di depan hewan lain, karena itu akan sangat menyakitkan. Ini semua sangat cukup menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai rahmah dan penebar rahmah, juga bukti bahwa Islam adalah agama yang penuh rahmah dan sangat menghargai dan menganjurkan rahmah.
3) Hadits dalam Shaheh Bukhori, no. 5875:
حدّثنا عمرُ بن حَفصٍ حدثنا أبي حدّثنا الأعمشُ قال: حدَّثني زيدُ بن وَهب «قال: سمعت جَريرَ بنَ عبدِالله عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: «من لا يَرحمُ لا يُرحَم».
“Menceritakan Hadits pada kami Umar bin Hafas, dari ayahnya, dari al-A’amasy, dari Zaid bin wahab, dari Jarir bin Abdullah RA. Bahwa Nabi SAW. bersabda: ”Barang siapa yang tidak memilki (sifat dan prilaku) rahmah (kasih-sayang), maka pasti ia tidak akan dikasih-sayangi orang lain.”
Peran Tokoh Agama dalam Mencegah dan Mengatasi Konflik
Peran serta aktif tokoh agama (yang dalam Islam seperti ulama, kiayi, ustadz dan sejenisnya) adalah sangat diharapakan, karena mereka adalah para pemimpin informal yang sering kali lebih disegani, lebih dipatuhi dan lebih dicintai daripada  para pemimpin yang formal dalam masyarakat Indonesia khususnya pada masyarakat dunia pada umumnya.
Hal itu dikarenakan ada dua aspek utama, yaitu: pertama, aspek intelektual dalam bidang agama yang melatarbelakangi kemampuan lebih mereka. Kedua, aspek fungsional yang berkaitan dengan peran nyata mereka yang langsung di tengah-tengah masyarakat, seperti antara lain;
  • Memimpin penyelenggaraan upacara peribadatan (ritus) keagamaan.
  • Menjadi tempat bertanya bagi masyarakat dalam banyak hal, sperti kehidupan keluarga keamanan dan pengobatan.
  • Menjadi teladan dalam tingkah-laku sosial (qudwah hasanah).
Karena itulah, maka para tokoh agama, khususnya para ulama Islam bisa berperan dalam ikut menggerakan dinamika bangsa, seperti mencegah dan mengatasi konflik-konflik, khususnya konflik horizontal yang bernuansa SARA. Oleh sebab itu, mereka bisa ditunjuk dalam tiga penampilan peran sebagai berikut:
  • Sebagai pembimbing rohani bangsa.
  • Sebagai penampung dan perumus aspirasi masyarakat.
  • Sebagai pemimpin dan pengarah gerakan masyarakat.
Upaya Pencegahan Konflik
Pencegahan Konflik
Kategori Pencegahan
Upaya Nyata
Menghilangkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan konflik di suatu wilayah
·         Ø Menguatkan ideologis nasionalis sebagai bangsa yang sama dan negara yang sama.
·         Ø Pembauran alami dan sistematis dalam pengawasan ketat berfasilitas kesamaan kultur.
·         Ø Pembauran religius dan kekeluargaan dalam bentuk perkawinan silang.
Mengurangi faktor-faktor yang dapat menimbulkan bencana
·         Ø Melakukan penyuluhan sosial terhadap pendatang.
·         Ø Membuat aturan yang jelas dalam semangat keadilan dalam berusaha dan penguasaan sektor-sektor tertentu, misalnya, ekonomi, politik.
·         Ø Pemberlakukan aturan yang sama dalam penegakan hukum.
·         Ø Akulturasi budaya dalam kesepakatan aturan yang mengikat berbagai pihak yang terlibat.
·         Ø Mempererat silaturahmi di antara tokoh masyarakat dan anggota masyarakat.
·         Ø Menciptakan kegiatan-kegiatan bersama yang diekspor dalam media publikasi yang tersebar.
Menghindari terulang kembali konflik
·         Ø Mengkaji ulang akar permasalahan konflik lalu untuk dijadikan pedoman pemersatuan.
·         Ø Menghindari kegiatan-kegiatan yang dapat memicu kembali konflik.
·         Ø Mengekspos berbagai kegiatan bernuansa perdamaian di antara kedua belah pihak.
·         Ø Menjaga ekspos  berbagai peristiwa/insiden kecil yang melibatkan pihak-pihak yang pernah bertikai.
·         Ø Penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan.
Menghambat perkembangan terjadinya konflik
·         Ø Lokalisasi warga dalam kategori perbedaan etnis, agama, ideologi, dsb.
·         Ø Menjaga sentuhan langsung bernuansa rawan kepentingan di antara suku yang berbeda.
·         Ø Mempertinggi intensitas monitoring dari pemerintah.
·         Ø Penegakan hukum sedini dan secepat mungkin.
C. AL-IKHTITAM
Rambu-rambu kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat yang plural dan majemuk antara lain telah dikemukan dalam QS al-Hujurat:11-12;Yang inti dari ayat di atas adalah sbb;
  • Jangan sampai satu kelompok menghina kelompok lain.
  • Jangan saling mencela.
  • Jangan menyebut kelompok tertentu dengan kesan melecehkan.
  • Jangan suka berprasangka buruk terhadap pihak lain.
  • Jangan suka mencari-cari kesalahan kelompok/orang lain.
  • Jangan meyebar issu yang merugikan  kelompok/orang lain.
Namun rambu-rambu ini perlu disosialisasikan pada masyarakat luas oleh orang-orang yang dicintai dan dipatuhi oleh hampir seleruh masyarakat luas, yaitu para tokoh agama. Semoga , Amin. Wallahu a’alam bi al-Shawab.

0 komentar:

Posting Komentar