No
|
Kutipan
|
Sumber
|
Komentar
|
1.
|
Multiculturalism
can be defined as, “A philosophical position and movement that deems that
the
gender, ethnic, racial, and cultural diversity of a pluralistic society
should be reflected in all
of the
institutionalized structures of educational institutions, including the
staff, the norms, and
values,
the curriculum, and the student body” (Banks & Banks, 1997: 435).
|
Multicultural Education
Banks, J. A., & McGee Banks, C. A. (Eds.).
(1997).
Multicultural education: Issues and Perspectives (3rd ed).
Boston: Allyn and Bacon
|
Multikulturalisme
dapat digambarkan sebagai, "Suatu posisi dan gerakan yang dianggap filosofis
bahwa gender, kesukuan, rasial, dan keanekaragaman budaya dari
suatu
masyarakat plural harus dicerminkan di semua lembaga pendidikan,
termasuk staf, norma-norma, nilai-nilai, kurikulum, dan siswa".
|
2.
|
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural
adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun
secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000).
|
Fay, Brian, 1996,
Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford:
Blackwell
|
Dari kutipan (Fay
1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000) dapat kita ketahui bahwa
multikulturalisme merupakan acuan utama untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang multikultural.
|
3.
|
Pendidikan multikultural (multicultural education) sesungguhnya
bukanlah pendidikan khas Indonesia. Pendidikan multikultural merupakan
pendidikan khas Barat. Kanada, Amerika, Jerman, dan Inggris adalah beberapa contoh negara yang
mempraktikkan pendidikan multikultural. Ada beberapa nama dan istilah lain
yang digunakan untuk menunjuk pendidikan multikultural. Beberapa istilah
tersebut adalah: intercultural education, interetnic education, transcultural
education, multietnic education, dan cross-cultural education (L.H. Ekstrand
dalam Lawrence J. Saha, 1997: 345-6).
|
Ekstrand, L.H. “Multicultural Education,” dalam Saha, Lawrence J.
(eds.). 1997. International Encyclopedia of the Sociology of Education. New
York: Pergamon.
|
Dari kutipan
(L.H. Ekstrand dalam Lawrence J. Saha, 1997: 345-6) dapat
disimpulkan
jika pendidikan multikultural bukan pendidikan khas Indonesia tetapi
pendidikan khas Barat. Akan tetapi, dalam perkembangannya Indonesia
menggunakan pendidikan multikultural karena adanya perbedaan di dalam
masyarakat Indonesia. Pendidikan multikultural di Indonesia berbeda dengan
yang lain, karena menggunakan acuan “Bhinneka Tunggal Ika” yang disesuaikan
dengan bangsa Indonesia ini.
|
4.
|
Alasan lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural
adalah keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar
belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama
(religion), gender, dan kelas sosial (social class). Keragaman latar belakang
individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang
peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan (James A. Bank, 1989: 14).
|
Banks, James A. (ed.). 1989. Multicultural Education: Issues and
Perspectives. Boston-London: Allyn and Bacon Press.
|
Dari kutipan (James
A. Bank, 1989: 14) dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu alasan yang
melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural di Indonesia adalah keragaman latar belakang
siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, yaitu keragaman pada paham
keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis
kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).
|
5.
|
Alasan lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural
dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan
diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar
belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan
pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa
lokal (lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi (Leo Suryadinata,
dkk., 2003: 30, 71, 104, dan 179).
|
Leo Suryadinata, dkk. 2003. Indonesia’s Population: Etnicity and
Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies.
|
Dari kutipan (Leo Suryadinata, dkk.,
2003: 30, 71, 104, dan 179) dapat disimpulkan bahwa alasan lain yang
melatarbelakangi pendidikan multikultural di Indonesia karena adanya semboyan bangsa Indonesia:
“Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang sangat adil dan demokratis ini memiliki
pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang terdiri
dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama yang
berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan ini mengandung seni
manajemen untuk mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity),
yang terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka),
13.000 pulau, 5 agama resmi, dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam.
Dengan semboyan ini diharapkan masing-masing individu dan kelompok yang
berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama dapat bersatu dan bekerjasama untuk
membangun bangsanya secara lebih kuat.
|
6.
|
Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas dan diwacanakan
pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh
gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement).
Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik driskriminasi
di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di
lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat
hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang
Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat
tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka
(Pardi Suparlan, 2002: 2-3).
|
Parsudi Suparlan. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang
Multikultural,” dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium Internasional
ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli.
|
Dari kutipan (Pardi
Suparlan, 2002: 2-3) dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan multikultural
dibentuk pertama kali oleh gerakan civil right movement untuk mengurangi
diskriminasi kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas di Amerika dan
Eropa tahun 1960-an.
|
7.
|
Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,
toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan
kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan
pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997:
348).
|
Ekstrand, L.H. “Multicultural Education,” dalam Saha, Lawrence J.
(eds.). 1997. International Encyclopedia of the Sociology of Education. New
York: Pergamon.
|
Menurut kutipan
(Lawrence J. Saha, 1997: 348) dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural
dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih
dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau
kriteria rasial. Pendidikan multikultural dapat berlangsung dalam setting
pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung. Dari hal ini
dapat diwujudkan dengan kesadaran , toleransi,pemahaman, dan pengetahuan
pertimbangan keragaman.
|
8.
|
No
single moment of birth can be assigned to multicultural education. The links
of the chain (the historical events)
are scattered across the United States (and throughout the world), as were
those who sought the democratic society
that Gay espouses. For
instance, it can be
argued that multicultural education
was born when
enslaved African Americans
people began to educate
themselves about their
history in Africa and the United
States and how their role
and participation in these histories, as well
as their racial
identity dictated their treatment in U. S. Society (Banks, 1994;
Ladson-Billings, 1994).
|
Banks, J. A.
(1995). Multicultural
education: Historical development, dimensions, and practice. In
the Handbook of research on multicultural education, New York:
Macmillan. Ladson-Billings, G.
(1995). Toward a theory of
culturally relevant pedagogy. American
Educational Research Journal, 32(30,
465-492. Lee, S. (1997). Asian
American as model-minorities? A look at their academic performance. American
Journal of Education, 103, 121-159.
|
Pendidikan multikultural
tidak akan terbentuk jika tidak ada peristiwa yang melatarbelakanginya.
Peristiwa sejarahnya tersebar di seluruh Amerika Serikat (dan di seluruh
dunia), seperti mereka yang mencari masyarakat demokratis untuk mendukung
Gay. Contohnya, pendidikan multikultural lahir ketika orang Afrika diperbudak
oleh orang Amerika kemudian mereka mulai mendidik dirinya sendiri tentang
sejarah di Afrika dan Amerika Serikat, bagaimana peran dan partisipasi mereka
dalam sejarah, serta identitas rasial mereka didikte pengobatan di masyarakat
Amerika Serikat.
|
9.
|
Pada awal tahun 1977, dokumen konsultatif, Pendidikan di Sekolah,
mengungkapkan harus mengenali keragaman dalam masyarakat yang menyatakan
bahwa "Negara kita adalah, multi-budaya satu multi-ras, dan kurikulum harus
mencerminkan pemahaman yang simpatik dari berbagai budaya dan ras yang
sekarang membuat masyarakat.”(Amma 1989 hal 4).
|
Amma (1989) Multi-Budaya dan Anti Hari Pendidikan rasis.
|
Dari kutipan
(Amma 1989 hal 4), dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia memiliki
keragaman budaya, keragaman ras, dan kurikulum, sehingga diperlukan pemahaman
masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan ini.
|
10.
|
Movements
of various historically oppressed groups. Many trace the history of
multicultural education back to the social action of African Americans and
other people of color who challenged discriminatory practices in public
institutions during the civil rights struggles of the 1960s (Banks, 1989;
Davidman & Davidman, 1997).
|
Banks, J. (1989). Multicultural education: Characteristics and
goals.The historical roots of multicultural education lie in the civil rights
Davidman, L., & Davidman, P. (1997). Teaching with a multicultural
perspective: A practical guide. New York: Longman.
|
Akar sejarah pendidikan multikultural terletak pada sejarah
gerakan hak-hak sipil berbagai kelompok yang tertindas. Banyak jejak sejarah
pendidikan multikultural kembali ke aksi sosial Afrika Amerika dan dari orang
lain yang memilki kulit berwarna menentang praktek diskriminasi di lembaga-lembaga
publik selama memperjuangan hak-hak sipil tahun 1960 (Bank, 1989; Davidman
& Davidman, 1997).
|
11.
|
Institutions
of Higher Education are Models for Multicultural Societies In a country that
champions equal rights and opportunities for all individuals to improve the
conditions of living for all, educators’ major concerns at institutions of
higher education should be to promote the academic, social, and political
success of all students (Green, 1989).
|
Green,
M.F. (1989). Minorities on campus: A handbook for enhancing diversity.
Washington DC: American Council on Education.
|
Lembaga Pendidikan Tinggi adalah Model untuk Masyarakat
Multikultural di negara yang memperjuangkan persamaan hak dan kesempatan bagi
semua individu untuk meningkatkan kondisi kehidupan semua, kekhawatiran utama
para pendidik di lembaga pendidikan tinggi adalah harus meningkatkan prestasi
akademik, sosial, dan politik dari semua siswa (Green, 1989).
|
12.
|
Tujuan pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
macam tujuan, yaitu: tujuan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan
pembelajaran (Lawrence J. Saha, 1997: 349).
|
Ekstrand, L.H. “Multicultural Education,” dalam Saha, Lawrence J.
(eds.). 1997. International Encyclopedia of the Sociology of Education. New
York: Pergamon.
|
Dari kutipan (Lawrence J. Saha,
1997: 349) dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan multikultural ada tiga,
yaitu sikap, pengetahuan, dan pembelajaran. Maksudnya, tujuan pendidikan multikultural yang
berkaitan dengan aspek sikap (attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan
kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap
identitas kultural, sikap responsif terhadap budaya, keterampilan untuk
menghindari dan meresolusi konflik. Tujuan pendidikan multikultural yang
berkaitan dengan aspek pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk memperoleh
pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk
menganalisis dan menerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang
kesadaran perspektif kultural. Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang
berkaitan dengan pembelajaran (instructional goals) adalah untuk memperbaiki
distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku
teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan
perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi
antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan
teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika
kultural.
|
13.
|
Most institutions of higher education have become models
of the communities in which they are located, and as such have become pillars
for academic excellence, models for multicultural competence in society, and
models for an interdependent world, as well as models for equity and democratic
values. Institutions of Higher Education Are Models for Academic Excellence
The principles and tenets of multicultural education make it possible to
promote excel-lence in performance of all students (Sleeter & Grant,
1999).
|
McGraw-Hill Inc. Sleeter, C.E., & Grant, C.A.
(1999). Making choices for multicultural education: Five ap-proaches to race,
class, and gender (3rd ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall
|
Sebagian besar institusi pendidikan tinggi telah menjadi model
masyarakat di mana mereka
berada, dengan demikian telah menjadi pilar untuk keunggulan akademis, model multikultural kompetensi dalam masyarakat, dan model untuk sebuah dunia yang saling bergantung, serta sebagai model untuk ekuitas dan nilai-nilai demokrasi. Lembaga Pendidikan Tinggi adalah Model untuk Keunggulan Akademik Prinsip-prinsip pendidikan multikultural memungkinkan untuk mempromosikan keunggulan di kinerja semua siswa (Sleeter & Grant, 1999). |
14.
|
At
least we would not be made confused by the theory
of
melting pot, salad bowl, and others. Actually, Indonesia pay good attention
to
multi ethnic education which has been common platform in designing a type
of
learning based on Bhineka Tunggal Ika (Azra, 2003:19).
|
Azra, Azyumardi. (2003). "Pendidikan Multikultural:
Membangun Kembali Indonesia Yang
Bhineka Tunggal Ika "dalam Tsaqofah, Vol.I, No.2 |
Sebenarnya, Indonesia memberikan perhatian yang baik
untuk pendidikan multi etnis yang telah platform bersama dalam merancang sebuah tipe pembelajaran berdasarkan Bhineka Tunggal Ika (Azra, 2003:19). |
15.
|
Principally,
multiculturalism is the final concept to
build
the strength of a nation by respecting their civil rights, especially those
of
minority groups. This attitude can improve their participation in building
a
nation. Basically, they become big because of the greatness of the nation of
which
they are proud (Rosyada, 2010:2).
|
Rosyada,
D. (2010). “Pendidikan Multikultural Melalui Pendidikan Agama: Sebuah Gagasan
Konsepsional”.
|
Pada prinsipnya, multikulturalisme adalah konsep akhir untuk
membangun kekuatan bangsa dengan menghormati hak-hak sipil mereka, terutama yang kelompok minoritas. Sikap ini dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam membangun bangsa. Pada dasarnya, mereka menjadi besar karena kebesaran bangsa yang mereka bangga. |
16.
|
Actually, there is significant difference between the multicultural
and Bhineka Tunggal Ika education. In multicultural education, learners are
encouraged to give mutual respect on the basis of their place of origin.
While multicultural education as applied the United States or Australia
belongs to critical multiculturalism, and that practiced in Indonesia with
Bhineka Tunggal Ika approach a soft multiculturalism (Watson, 2004:20)
|
Watson, B. (2004). “Multiculturalism: Its Strength and Weaknesses”
in Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (JPIPS), No.23, XIII [December].
|
Sebenarnya, ada perbedaan yang signifikan antara multikultural
dan pendidikan Bhineka Tunggal Ika. Dalam pendidikan multikultural, peserta
didik didorong untuk memberikan saling menghormati berdasarkan tempat asal
mereka. Sementara pendidikan multikultural yang diterapkan Amerika Serikat
atau Australia memiliki multikulturalisme kritis, yang dipraktekkan di
Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika pendekatan multikulturalisme lunak
(Watson, 2004:20).
|
17.
|
It is so surprising, that "immediately"
Australian emerges and recognized world widely as one of the most
multicultural country, not only by Muslim people, but also by most people of
the world. Australia has been found and regarded as
more culturally friendly. The recognition
and appreciation of the Australian strong multiculturalism is becoming much
more apparent, especially after the World Trade blast of 11 September.
|
Conference on "Muslim Students In Australia
Universities", University of West Sydney, 3 September2007.
|
Hal ini begitu mengejutkan, bahwa "segera"
muncul Australia dan diakui dunia secara luas sebagai salah satu negara yang
paling multikultural, tidak hanya oleh orang Muslim, tetapi juga oleh
kebanyakan orang di dunia. Australia telah ditemukan dan dianggap sebagai
lebih ramah budaya. Pengakuan dan apresiasi terhadap multikulturalisme yang
kuat Australia menjadi jauh lebih jelas, terutama setelah ledakan World Trade
11 September.
|
18.
|
Pentingnya pendidikan multikultural ini didasarkan pada lima
pertimbangan: (1) incompatibility (ketidakmampuan hidup secara harmoni), (2)
other languages acquisition (tuntutan
bahasa lain), (3) cultural pluralism (keragaman kebudayaan), (4) development
of positive self-image (pengembangan citra diri yang positif), dan (5)
equility of educational opportunity (kesetaraan memperoleh kesempatan
pendidikan) . (Jose A. Cardinas (1975: 131).
|
Cardinas, Jose A.. 1975. Multicultural Education: A
Generation of Advocacy. America: Simon & Schuster Custom Publishing.
|
Dari kutipan Jose
A. Cardinas (1975: 131) dapat disimpulkan bahwa pentingnya pendidikan
multikultural didasarkan pada ketidakmampuan hidup secara harmoni, tuntutan
bahasa, keragaman kebudayaan, pengembangan citra diri yang positif,dan
kesetaraan memperoleh kesempatan pendidikan.
|
19.
|
“Dengan
pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental
bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak
mudah patah dan retak”. (Musa Asy’arie)
|
Musa
Asy’arie
|
Di sini
terlihat jelas salah satu pentingnya pendidikan multikultural bagi bangsa
Indonesia, yaitu untuk menjaga keutuhan bangsa, persatuan dan kesatuan tetap
terjaga, dan yang pasti integritas bangsa semakin kuat.
|
20.
|
‘we are all multiculturalists now’ (Glazer,
Nathan, 1997)
|
Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists
Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press.
|
Dia
menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika
Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses
pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.
|
21.
|
Pentingnya pendidikan multikultural dilatarbelakangi
oleh beberapa asumsi: (1) bahwa setiap budaya dapat berinteraksi dengan
budaya lain yang berbeda, dan bahkan dapat saling memberikan kontribusi; (2)
keragaman budaya dan interaksinya merupakan inti dari masyarakat Amerika
dewasa ini; (3) keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi semua
orang merupakan hak bagi semua warga
negara; (4) distribusi kekuasaan dapat dibagi secara sama kepada semua
kelompok etnik; (5) sistem pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap
kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi kelangsungan masyarakat
demokratis; serta (6) para guru dan
para praktisi pendidikan dapat mengasumsikan sebuah peran kepemimpinan dalam
mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan multikultural. (Donna M.
Gollnick (1983: 29))
|
Gollnick, Donna M. 1983. Multicultural Education in
a Pluralistik Society. London: The CV Mosby Company.
|
Dari kutipan Donna M. Gollnick (1983: 29), dapat
disimpulkan bahwa beberapa alasan yang melatarbelakangi pendidikan
multikultural yaitu: pertama, tiap budaya dapat berinteraksi dengan budaya
lain; kedua, keragaman budaya dan interaksinya merupakan inti dari masyarakat
Amerika dewasa ini; ketiga, semua warga negara berhak memperoleh keadilan dan
kesempatan sosial; keempat, tiap kelompok etnik memiliki konstribusi yang
sama; kelima, pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap kebutuhan
masyarakat; keenam, para pendidik dapat mengasumsikan sebuah peran
kepemimpinan dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan
multikultural.
|
22.
|
Pendidikan multikultural dapat dilihat dari 3 (tiga)
aspek: konsep, gerakan, dan proses (James A. Bank, 1989: 2-3)
|
Banks, James A. (ed.). 1989. Multicultural
Education: Issues and Perspectives. Boston-London: Allyn and Bacon Press
|
Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural
dipahami sebagai ide yang memandang semua siswa—tanpa memperhatikan gender
dan kelas sosial mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau
karakteristik-karakteristik kultural lainnya—memiliki kesempatan yang sama
untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya, pendidikan multikultural
didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan
institusi-institusi pendidikan sehingga siswa dari semua kelas sosial,
gender, ras, dan kelompok-kelompok kultural memiliki kesempatan yang sama
untuk belajar. Perubahan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum,
tetapi juga aspek lain seperti metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan
lingkungan sekolah. Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat
dipahami sebagai proses untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan
dapat dicapai oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan
dan keadilan tidak mudah dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung
terus-menerus.
|
0 komentar:
Posting Komentar