Agama
adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan
nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban
yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Agama sendiri ada dua kategori yaitu
agama samawi yaitu agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam,
Kristen dan Yahudi. Dan agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut
sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi
manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan
lain atau kepercayaan.( http://www.agil-asshofie.co.cc/2011/04/hubungan-politik-dan-agama.html)
Kekuasaan
politik terdiri dari kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota (polis). Sedangkan kuasa dan kekuasaan
dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa
(kekuasaan) tidak akan terjadi.( http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan_politik)
Adapun politik ialah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional. Namun disini politik juga dapat dipandang dari sisi
yang berbeda yaitu:
Usaha
yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik
Aristoteles)
Hal
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
Merupakan
kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
Segala
sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Perbedaan
agama dengan politik kekuasaan adalah agama digunakan oleh manusia sebagai
sarana untuk memurnikan jiwa bahkan agama menjadi pedoman hidup yang kekal,
sedangkan politik sejatinya digunakan untuk mengatur pemerintahan yang tujuan
akhirnya mensejahterahkan kehidupan rakyatnya. Singkatnya dalam konteks kehidupan
sosial bermasyarakat dan bernegara, hubungan antara agama dan politik memiliki
suatu keterkaitan, namun keduanya harus tetap dibedakan. Satu pihak, masyarakat
agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak terkontaminasi atau
dikotori kepentigan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik,
kita disini dapat berpikir dengan logis akan terjadi penyelewengan. Agama yang
awalnya bertujuan untuk membebaskan manusia dari bentuk penindasan dan ketidakadilan,
justru akan menjadi alat pemerintah yang menindas dan mengeksploitasi warganya
dan membawa kepada kesengsaraan. Politik tidak lagi tunduk pada agama, bahkan
sebaliknya agama dibuat tunduk tak berdaya melawan kekuatan politik.
Agama
di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “KeTuhanan Yang Maha
Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik,
ekonomi dan budaya. Di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia
adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4%
Buddha. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan
kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan
"menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau
kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui
enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan
Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Berikut adalah penjelasan dari agama-agama
tersebut.
ISLAM
Islam
(Arab: al-islām) adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan
lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan
Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam
memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada
Tuhan (Arab: الله, Allāh). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim
yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih
lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam
mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi
dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah
nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.( http://id.wikipedia.org/wiki/Islam).
KRISTEN
Agama
Kristen adalah sebuah kepercayaan yang berdasar pada ajaran, hidup, sengsara,
wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Agama ini meyakini Yesus Kristus adalah
Tuhan dan Mesias, juru selamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia
dari dosa. Mereka beribadah di gereja dan Kitab Suci mereka adalah Alkitab.
Murid-murid Yesus Kristus pertama kali dipanggil Kristen di Antiokia (Kisah
Para Rasul 11:26).( http://id.wikipedia.org/wiki/Kekristenan).
Pemeluk agama Kristen mengimani bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru
Selamat, dan memegang ajaran yang disampaikan Yesus Kristus. Dalam kepercayaan
Kristen, Yesus Kristus adalah pendiri jemaat (gereja) dan kepemimpinan gereja
yang abadi (Injil Matius 16: 18-19)
KATOLIK
Kata
Katolik berasal dari kata sifat bahasa Yunani, καθολικός (katholikos), artinya
"universal". (http://id.wikipedia.org/wiki/Katolik).
Katolik menganut perjanjian lama. Yang
disembah adalah Tuhan Yesus Kristus tapi juga mengagungkan Bunda Maria. Katolik
memilki 5 Kitab suci di antara Perjanjian Baru dan perjanjian Lama yang tidak
dimilki oleh agama Kristen.
BUDHA
Buddha
bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam
agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari
hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal. Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup
manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan
sejati dimana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir.
Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya.
Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah
kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru
bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan
rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Budha)
HINDU
Agama
Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन
धर्म
"Kebenaran Abadi", dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan
Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama
ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan
bangsa Indo-Iran (Arya). Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di
Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau
Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis -
Sidrap).
Hindu
seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja
banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa
bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya.
Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya
ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang
memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk. Dalam Agama
Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha.
Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu)
KONGHUCU
Agama
Khonghucu adalah istilah yang muncul sebagai akibat dari keadaan politik di
Indonesia. Agama Khonghucu lazim dikaburkan makna dan hakikatnya dengan
Konfusianisme sebagai filsafat. Agama
Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau
disebut "Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang
Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah
"Tian" atau "Shang Di". (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu).
Selain
enam agama tersebut, adapun dinamisme dan animisme, yaitu:
Kata
animisme berasal dari bahasa latin, yaitu anima yang berarti 'roh'. Kepercayaan
animisme adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh. Keyakinan ini banyak
dianut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan dengan agama wahyu. Paham
animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini (seperti laut, gunung,
hutan, gua, atau tempat-tempat tertentu), mempunyai jiwa yang mesti dihormati
agar jiwa tersebut tidak mengganggu manusia, atau bahkan membantu mereka dalam
kehidupan ini. Banyak kepercayaan animisme yang berkembang di masyarakat.
Seperti, kepercayaan masyarakat Nias yang meyakini bahwa tikus yang sering
keluar masuk rumah adalah jelmaan dari roh wanita yang meninggal dalam keadaan
melahirkan. Atau, keyakinan bahwa roh orang yang sudah meninggal bisa masuk
kedalam jasad binatang lain, seperti babi hutan dan harimau. Biasanya, roh
tersebut akan membalas dendam terhadap orang yang pernah menyakitinya ketika
hidup. Kepercayaan semacam ini hampir sama dengan keyakinan reinkarnasi.
Reinkarnasi sendiri tidak lain adalah pemahaman masyarakat Hindu dan Budha yang
percaya bahwa manusia yang sudah mati bisa kembali lagi ke alam dunia dalam
wujud yang lain. Jika orang tersebut baik selama hidupnya, biasanya ia akan
ber-reinkarnasi dalam wujud merpati. Namun, jika dikenal dengan perangainya
yang buruk, maka ia akan kembali hidup dalam wujud seekor babi. Diperkirakan
bahwa di provinsi Kalimantan Barat masih terdapat
7,5 juta orang Dayak
yang tergolong pemeluk animisme. (http://id.wikipedia.org/wiki/Animisme)
Dinamisme
Dinamisme (dalam kaitan agama dan
kepercayaan) adalah pemujaan terhadap roh (sesuatu yang tidak tampak mata).
Mereka percaya bahwa roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di
tempat-tempat tertentu, seperti pohon-pohon besar. Arwah nenek moyang itu
sering dimintai tolong untuk urusan mereka. Caranya adalah dengan memasukkan arwah-arwah
mereka ke dalam benda-benda pusaka seperti batu hitam atau batu merah delima.
Ada juga yang menyebutkan bahwa dinamisme adalah kepercayaan yang mempercayai
terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu benda. istilah tersebut
disebut dengan mana. (http://id.wikipedia.org/wiki/Dinamisme). Dalam Ensiklopedi umum, dijumpai
defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif yang ada pada zaman
sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga dengan nama
preanimisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai daya
dan kekuatan. Maksud dari arti tadi adalah kesaktian dan kekuatan yang berada
dalam zat suatu benda dan diyakini mampu memberikan manfaat atau marabahaya.
Kesaktian itu bisa berasal dari api, batu-batuan, air, pepohonan, binatang,
atau bahkan manusia sendiri.
Agama
itu memilki hubungan dengan politik kekuasaan pemerintah, contoh kongkritnya
ada partai politik. Yang dimaksud partai politik itu sendiri adalah organisasi politik yang
menjalani ideologi
tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik - (biasanya) dengan cara konstitusionil -
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Partai politik adalah sarana
politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan
politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial,
memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung
kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang
political development sebagai suprastruktur politik.
Sejarah
berkembangnya partai politik berbasis agama Indonesia
Pada tanggal
15 Desember 1955 dilaksanakan Pemilihan Umum pertama dalam sejarah Indonesia,
dan sesuai dengan amanat pasal 135 UUDS 1950 untuk membentuk Dewan Konstituante
sebagai perumus Konstitusi bagi Republik Indonesia yang baru, Soekarno kemudian
melantik Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Partai-partai Islam meraih
230 kursi; sedangkan partai-partai lainnya (Nasionalis, Protestan, Katolik,
Sosialis, dan Komunis) mendapat 286 kursi. Dengan demikian, perimbangan antara
kedua kelompok tersebut sekitar 4:5. Berdasarkan hasil pemilihan umum ini,
ternyatalah bahwa pihak Islam sama sekali tidak terwakili secara layak, baik
dalam Badan Penyelidik (25 persen) apalagi dalam Panitia Persiapan (12
persen); hanya dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta-lah
kelompok Islam terwakili secara memadai (44 persen) (Endang Saifudin Anshari,
1997).
Partai
|
Suara yang sah
|
% Suara yang sah
|
Kursi Parlemen
|
% Kursi Parlemen
|
PNI
|
8.434.653
|
22,3
|
57
|
22,2
|
Masyumi
|
7.903.886
|
20,9
|
57
|
22,2
|
NU
|
6.955.141
|
18,4
|
45
|
17,5
|
PKI
|
6.176.914
|
16,4
|
39
|
15,2
|
PSII
|
1.091.160
|
2,9
|
8
|
3,1
|
Parkindo
|
1.003.325
|
2,6
|
8
|
3,1
|
Partai Katolik
|
770.740
|
2,0
|
6
|
2,3
|
PSI
|
753.191
|
2,0
|
5
|
1,9
|
Murba
|
199.588
|
0,5
|
2
|
0,8
|
Lain-lain
|
4.496.701
|
12,0
|
30
|
11,7
|
Jumlah
|
37.785.299
|
100,0
|
257
|
100,0
|
Perolehan
Suara pada Pemilihan Umum 1955 (Sumber: M.C. Ricklefs, 1998)
Dewan
Konstituante menghadapi masalah-masalah berat dalam melaksanakan tugasnya
karena beragamnya aliran-aliran politik di dalam tubuh Majelis itu.
Kesepakatan-kesepakatan dalam merumuskan batang tubuh konstitusi lebih mudah
dicapai dibandingkan dengan usaha untuk mencapai kesepakatan mengenai dasar
negara, yaitu Pancasila, Islam, dan Sosial Demokrasi.
Dasar
Pancasila diusulkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis
Indonesia (PKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai
Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan
sejumlah partai kecil, dengan kekuatan 273 kursi. Sementara dasar Islam
diusulkan oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan empat partai kecil lain,
dengan dukungan 230 kursi. Sementara Partai Murba dan Partai Buruh, dengan
dukungan suara 9 kursi, mengusulkan dasar Sosial Ekonomi. Menyadar dukungan
suara kelompok terakhir ini sangat kecil, mereka kemudian menarik usulannya dan
bergabung dengan para pengusul dasar Pancasila.
Berdasarkan
komposisi dukungan di atas, tidak satupun usul tentang dasar negara itu yang
mendapatkan 2/3 suara untuk ditetapkan sebagai keputusan, sebagaimana
disyaratkan oleh pasal 137 ayat 2 UUD Sementara 1950. Meskipun para pendukung
dasar negara Pancasila lebih banyak daripada pendukung dasar Islam, jumlah
suara mereka belum mencapai mayoritas 2/3 suara. Oleh karena itu, tanpa adanya
usaha kompromi antara pendukung dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal
bahwa kemungkinan besar Konstituante tidak akan berhasil mengambil keputusan
mengenai dasar negara.
Usaha-usaha
untuk kompromi memang telah diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan
tentang dasar negara pada pertengahan tahun 1957. Setelah semua pihak diberikan
kesempatan seluas-luasnya mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan
Pancasila atau Islam, maka Konstituante akhirnya membentuk Panitia Perumus
Dasar Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili berbagai fraksi besar dalam
majelis itu. Pada tanggal 6 Desember 1957, Panitia menyampaikan rancangan
rumusan kompromi mengenai dasar negara kepada sidang paripurna Konstituante.
Rumusan
tersebut diantaranya menetapkan bahwa “agama yang dianut oleh jumlah rakyat
yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara...”. tokoh-tokoh golongan
Islam pada umumnya dapat menerima rumusan kompromi itu dan menganggapnya
sebagai itikad baik bersama untuk menyelesaikan masalah besar yang dihadapi
oleh Konstituante. Rumusan kompromi itu memang belum disahkan oleh sidang
paripurna Konstituante karena semua pihak bersepakat untuk menunda dahulu
pembicaraan mengenai dasar negara sambil menyelesaikan materi pasal-pasal dalam
batang tubuh konstitusi. Pada tanggal 18 Februari 1959., Ketua Majelis
Konstituante, Mr. Wilopo, mengemukakan keyakinannya bahwa majelis itu akan
mampu menyelesaikan tugasnya sampai batas akhir waktu yang telah disepakati
bersama.
Ketika
Konstituante memasuki masa sidang tahun terakhir pada tanggal 24 April 1959,
masih tersedia waktu sekitar delapan bulan bagi majelis ini untuk menyelesaikan
perkerjaannya. Tetapi suatu provokasi yang datang dari luar Majelis
Konstituante akhirnya membuat majelis itu terbelah menjadi dua kubu yang saling
berlawanan. Provokasi dari luar itu datang dari Presiden Soekarno, Dewan
Menteri pimpinan Perdana Menteri Djuanda, dan kalangan TNI Angkatan Darat yang
dipimpin oleh Mayjen A.H. Nasution.
Soekarno
sejak awal tahun 1957 telah gencar mengkampanyekan gagasannya untuk menerapkan
“Demokrasi Terpimpin” yang dianggapnya sebagai demokrasi Timur yang sesuai
dengan “jiwa dan kepribadian bangsa.” Soekarno tampaknya kurang puas dengan
perkembangan demokrasi di Indonesia ketika itu, yang dinilainya bercorak
“liberal” dan sering “menimbulkan gontok-gontokan” antara partai-partai politik
yang bersaing. Dengan bubarnya Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang dibentuk
sebagai hasil Pemilihan Umum 1955, Soekarno mulai menerapkan gagasan Demokrasi
Terpimpin itu. Mula-mula ia menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet,
yang disebutnya sebagai Kabinet Darurat Ekstra Parlementer. Kabinet ini
dipimpin oleh Ir. Djuanda dengan menyertakan semua golongan politik dan
golongan fungsional dari kalangan tentara, seperti Kolonel M. Nazir dan Kolonel
dr. Azis Saleh.
Meskipun
Kabinet ini secara teoritis bersifat nonpartai, namun pada hakekatnya kabinet
tersebut merupakan suatu koalisi antara PNI dan NU. Tidak satupun anggota PSI
atau PKI di dalamnya, tetapi pihak komunis mempunyai beberapa simpatisan. Dua
anggota Masyumi menjadi anggota kabinet tetapi partai tersebut mengeluarkan
keduanya karena menerima kedudukan itu (M.C. Ricklefs, 1998)
Di
samping membentuk Kabinet Djuanda, Soekarno juga membentuk sebuah dewan, yang
semula ingin dinamakannya Dewan Revolusioner, tetapi kemudian diganti dengan
Dewan Nasional. Dewan ini diketuai oleh Presiden, tetapi dalam praktik
sehari-hari, pimpinannya diserahkan kepada Roeslan Abdulgani. Walaupun Dewan
Nasional ini tidak ada dasarnya dalam konstitusi, perannya cukup menentukan
sebagai “penasihat” pemerintah, yang dalam praktiknya telah menjadi semacam DPR
bayangan di samping DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Ketidakpuasan sebagian tokoh
politik terhadap langkah-langkah inkonstitusional Presiden Soekarno ini
akhirnya semakin memperkeras tuntutan-tuntutan dari daerah.
Dalam
pada itu, sejalan dengan penerapan gagasan Demokrasi Terpimpin, kalangan
tentara di bawah Mayjen A.H. Nasution juga aktif berkampanye tentang perlunya
kembali kepada nilai-nilai dan semangat 1945. Nilai-nilai dan semangat demikian
menurut Nasution, akan tetap terpelihara jika negara kembali kepada UUD
Proklamasi, yakni UUD 1945. Ide Nasution ini tampaknya bertemu dengan ide
Soekarno dalam rangka menerapkan Demokrasi Terpimpin. Sebab demokrasi jenis itu
memang menghendaki adanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden, sementara UUD
1945 memungkinkan perwujudan hal itu. Sebaliknya, jika menunggu konstitusi baru
belum tentu sejalan dengan gagasan Demokrasi Terpimpin tadi.
Gabungan
ide Soekarno dan Nasution tadi akhirnya dibawa ke sidang Dewan Nasional. Dewan
ini akhirnya sependapat bahwa butir-butir Demokrasi Terpimpin sebagaimana
dirumuskan oleh Dewan itu, akan dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya jika
negara kembali ke UUD 1945. Pendapat Dewan Nasional ini kemudian disampaikan kepada
kabinet yang kemudian ternyata juga menyetujui gagasan tersebut. Wakil Perdana
Menteri Idham Chalid, seorang tokoh NU, tidak memberikan komentar apa-apa
terhadap usulan Dewan Nasional ini, sehingga Perdana Menteri Djuanda mengira,
NU setuju dengan gagasan itu.
Keputusan
Dewan Menteri itu disampaikan oleh Perdana Menteri Djuanda kepada sidang
paripurna DPR dalam bentuk keterangan pemerintah yang berjudul “Putusan Dewan
Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945.” Dalam keterangan itu, Perdana Menteri Djuanda
mengatakan, “Untuk mendekati hasrat golongan-golongan Islam, berhubung dengan
penyelesaian dan pemeliharaan keamanan, diakui adanya Piagam Jakarta tertanggal
22 Juni 1945 sebagai dokumen historis.” Dengan kembali ke UUD 1945, tambahnya,
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin akan lebih terjamin, di samping akan mampu
mengembalikan seluruh potensi nasional “termasuk golongan Islam”, guna
“diputuskan kepada penyelesaian keamanan dan pembangunan di seluruh bidang.”
Reaksi Golongan Islam
Setelah menyampaikan keterangan itu,
pemerintah secara resmi mengajukan usul kembali ke UUD 1945 itu kepada
Konstituante dengan suatu amanat presiden, di hadapan sidang paripurna luar
biasa, tanggal 22 April 1959. Dalam amanat yang menghabiskan waktu selama dua
jam sepuluh menit, Soekarno kembali menegaskan tekad pemerintah kembali ke UUD
1945 dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Ia menyarankan agar
Konstituante menerima naskah UUD 1945 secara utuh tanpa perubahan. Setiap usul
perubahan, menurut Presiden Soekarno, dapat disalurkan melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang akan dibentuk setelah UUD 1945 berlaku kembali.
Sekiranya Konstituante dapat menerima usul pemerintah ini, maka semua pihak:
Presiden, perdana menteri, seluruh anggota kabinet, dan semua anggota
Konstituante akan mendatangani naskah yang dinamakan “Piagam Bandung” yang
memuat kesepakatan semua pihak tadi untuk kembali ke UUD 1945.
Beragam reaksi muncul terhadap usul
pemerintah tadi. Fraksi PNI, PKI, Parkindo, Katolik, Murba, dan partai-partai
lain menyambut baik. Ada juga yang mengusulkan agar materi hak-hak asasi
manusia yang telah disepakati oleh Konstituante, dimasukkan ke UUD 1945 karena
konstitusi itu dianggap hanya sedikit memuat pasal-pasal mengenai materi itu.
Tetapi usul itu ditolak oleh pemerintah.
Reaksi keras yang cenderung menolak
usul pemerintah datang dari empat anggota Fraksi Masyumi, yaitu Prawoto
Mangkusasmito, Djamaluddin Datuk Singomangkuto, A. Kahar Muzakkir, dan Hamka.
Keempat tokoh Masyumi ini pada intinya meragukan itikad baik Soekarno
melaksanakan UUD 1945, melainkan untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin di
bawah payung UUD 1945 itu. Sedangkan Demokrasi Terpimpin itu, menurut keempat
tokoh Masyumi ini, tidak lain adalah “kediktatoran”.
Pemungutan suara tentang apakah
setuju kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen, dilakukan tiga kali. Pemungutan
suara terakhir (2 Juni 1959), menghasilkan 263 setuju dan 204 menolak. Jadi,
meskipun suara yang setuju kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen lebih banyak
dari suara yang menentangnya, suara itu belum mencapai jumlah 2/3 anggota untuk
sahnya suatu keputusan Konstituante. Dengan demikian, usul pemerintah untuk
kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen ditolak Konstituante.
Sesudah pemungutan suara tersebut,
Konstituante menjalani masa reses selama sebulan. Sebagian besar anggotanya
pulang ke daerahnya masing-masing, kecuali anggota Panitia Perumus Konstitusi.
Ketua Konstituante, Mr. Wilopo, masih berharap agar dalam masa reses itu,
berbagai pendekatan dapat dilakukan terhadap para pemimpin fraksi di
Konstituante untuk mencari jalan keluar agar Konstituante dapat melanjutkan
tugasnya menyusun konstitusi.
Tetapi, perkembangan politik rupanya
bergerak ke arah yang lain. Pada masa reses Konstituante itu, Mayjen Nasution
segera mengumumkan keadaan darurat (S.O.B). Rapat-rapat umum dilarang dan
pemberitaan pers mulai disensor. Namun, Nasution sendiri dengan leluasa
mengemukakan pendapatnya tentang perlunya UUD 1945 diberlakukan kembali untuk
mengatasi keadaan. Sebagian anggota Konstituante – terutama yang mendukung usul
pemerintah – menyatakan bahwa mereka tidak ingin lagi menghadiri sidang-sidang
Konstituante.
Demikianlah, sejak awal
keterlibatannya dalam politik, militer memang telah berusaha untuk menjegal demokrasi
dan pelaksanaan syari’at Islam untuk mendukung pembentukan kediktatoran
Demokrasi Terpimpin di bawah payung UUD 1945.
Tabel
hubungan antara agama di Indonesia dengan politik kekuasaan
No.
|
Agama
|
Hubungan
dengan Politik Kekuasaan
|
1.
|
Islam
|
Sepanjang sejarahnya setelah
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melaksanakan 8 kali
pemilu. Dari seluruh pemilu tersebut tidak pernah ketinggalan diikuti juga
oleh partai-partai Islam. Pemilu pertama yang dilaksanakan pada tanggal 29 September
1955 pada masa pemerintahan cabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap
(Masyumi), diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik,
organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi
DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat
5 partai islam, yaitu Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul
Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tharekat Islam
Indonesia (PTII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Sampai saat ini,
partai politik berbasis agama Islam masih ada dan memilki sejumlah partai
politik. Mendapatkan hak untuk mendirikan tempat ibadah, merayakan hari raya,
dan lain-lain.
|
2.
|
Kristen
|
Di
zaman Belanda, orang-orang Belanda yang memiliki agama Kristen memilki
kekuasaan yang luas dalam pemerintahan politik di Indonesia. Pada zaman orde
lama, Kristen ikut juga dalam pembentukan partai politik, contohnya Parkindo
(Partai Kristen Indonesia). Akan tetapi, pada saat ini kebanyakan orang
beragama Kristen ikut dalam partai-partai berbasis nasional. Mendapatkan hak
untuk mendirikan tempat ibadah, merayakan hari raya, dan lain-lain.
|
3.
|
Katolik
|
Pada
pemilu pertama di Indonesia ada partai katolik. Kemungkinan sekarang hanya
segelintir orang saja yang masuk dalam ranah politik kekuasaan di Indonesia.
Mendapatkan hak untuk mendirikan tempat ibadah, merayakan hari raya, dan
lain-lain.
|
4.
|
Hindu
|
Pada
zaman dulu pengaruh kepemimpinan agama Hindu, dapat dibaca pada batu tertulis
(Prasasti) di Kalimantan dan di Jawa Barat. Dari peninggalan itu dapat
disimpulkan bahwa gaya huruf dari tulusan ini yang digolongkan sebagai huruf
Pallawa dan bila diperhitungkan umurnya kira-kira abad keempat Masehi.
Kerajaan pribumi pada waktu itu, menjalin hubungan dengan perdagangan dengan
kerajaan India dan mengadopsi konsep-konsep Hindu, baik untuk mengatur negara
maupun kerohanian. Yang sangat mencolok adalah pengaruh kepada organisasi
negara, yang diatur sangat Hirarkis, berorientasi ke atas, sebagai
aktualisasi dari konsepsi "raja adalah keturunan Dewa". Melalui
konsep "raja adalah keturunan Dewa" maka kekuasaan raja menjadi
absolut.
Para
pemimpin waktu itu berusaha dengan bantuan para Pendeta Hindu, untuk menarik
garis keturunan kepada Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa dan Dewa lainnya) pada dirinya
guna melegitimasi kekuasaanya. Waktu itu diyakini, bahwa hanya keturunan Dewa
bisa menjadi pemimpin. Tetapi yang terjadi tidak selalu demikian. Pemimpin
yang ingin diakui oleh masyarakat adalah mereka yang berhasil "Mbrojol
selaning Garu" (Iolos dari seleksi yang ketat). Akan tetapi, sekarang orang-orang
beragama hindu jarang ikut dalam partai poltik. Kemungkinan hanya segelintir
orang saja yang masuk dalam ranah politik kekuasaan di Indonesia. Mendapatkan
hak untuk mendirikan tempat ibadah, merayakan hari raya, dan lain-lain.
|
5.
|
Budha
|
Orang-orang
beragama budha jarang ikut dalam partai poltik. Kemungkinan hanya segelintir
orang saja yang masuk dalam ranah politik kekuasaan di Indonesia. Peran agama
budha banyak berkembang di India, seperti perjuangan Ambedhar, seorang
pemimpin besar dan bapak konstitusi India. Di Indonesia agama budha mendapatkan
hak untuk mendirikan tempat ibadah, merayakan hari raya, dan lain-lain.
|
6.
|
Konghuchu
|
Pada
zamannya Pak Soeharto, agama Konghuchu tidak diakui, dan sangat terbatas di
wilayah Indonesia ini sehingga sulit untuk memilki kekuasaan politik. Orang-orang
beragama konghuchu jarang ikut dalam partai politik. Kemungkinan hanya
segelintir orang saja yang masuk dalam ranah politik kekuasaan di Indonesia.
Mendapatkan hak untuk mendirikan tempat ibadah, merayakan hari raya, dan
lain-lain.
|
0 komentar:
Posting Komentar