KASUS PERTAMA
Neoliberalisme Identik dengan
Kerusuhan Sosial
Jumat, 29 Mei 2009 |
06:02 WIB
MAKASSAR, KOMPAS.com
- Ekonomi neoliberalisme dikhawatirkan akan sama dengan menyulut kerusuhan
sosial. Ini karena isu-isu yang menyertai neoliberalisme itu.
Isu tersebut adalah demokrasi liberalisme, risiko negara (country risk), hak asasi manusia tanpa hak ekosob (memperoleh penghidupan yang layak, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, layanan publik, dan ekonomi konstitusi), lingkungan untuk menahan laju daya saing pesaing, gender, good corporate governance, indeks korupsi, indek persaingan, multikultur, kearifan lokal, dan pemerintah gagal serta buruk dalam penyediaan layanan publik.
Hal itu dikemukakan pengamat ekonomi, Dr Ichsanuddin Noorsy, dalam seminar nasional "Kupas tuntas sistem ekonomi neoliberalisme vs sistem ekonomi kerakyatan dan kebangsaan" yang dibuka Pembantu Rektor IV Unhas, Dwia Aries Tina NK atas nama Rektor Unhas dan dilaksanakan Forum Akademisi Perguruan Tinggi di Kampus Unhas Makassar, Kamis (28/5).
"Ekonomi neoliberalisme mengandalkan mekanisme pasar. Globalisasi tidak lebih dari pemusatan kebijakan dan penyebaran barang dan jasa," katanya.
Dalam sajian yang berlangsung sekitar satu jam lebih itu, Ichsanuddin Noorsy yang tampil bersama Prof Dr Halide dan Ir Muslimin mengatakan, ekonomi neoliberalisme menggambarkan pemerintah dan birokrasi tidak lebih dari pesuruh pemodal yang menempatkan sistem ekonomi dalam hubungan patron-client.
"Ekonomi liberalisme berbasis individual, mekanisme pasar dan pasar bebas," ujar Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM tersebut. Motivasi utama ekonomi liberalisme, katanya, adalah akumulasi modal.
Ia memberi contoh, di Indonesia dari sisi penyerapan tenaga kerja, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menyedot tenaga kerja sekitar 96,1%, sementara usaha besar hanya 3,9%. Namun, dari aspek penyerapan kredit, UMKM hanya memperoleh kucuran tidak lebih 20%, sementari porsi terbesar tersedot oleh usaha besar.
Prof Halide mengatakan, Indonesia sebenarnya hanya mengenal dua sistem ekonomi, yakni liberalisme/kapitalisme, dan sistem ekonomi komunisme dan sosialisme. "Dalam Tap MPRS yang berkaitan dengan demokrasi ekonomi ditekankan mengamankan dan melindungi demokrasi dengan berpegang teguh pada bukan liberalisme, bukan etatisme, dan bukan monopoli," kata Halide.
Isu tersebut adalah demokrasi liberalisme, risiko negara (country risk), hak asasi manusia tanpa hak ekosob (memperoleh penghidupan yang layak, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, perumahan, layanan publik, dan ekonomi konstitusi), lingkungan untuk menahan laju daya saing pesaing, gender, good corporate governance, indeks korupsi, indek persaingan, multikultur, kearifan lokal, dan pemerintah gagal serta buruk dalam penyediaan layanan publik.
Hal itu dikemukakan pengamat ekonomi, Dr Ichsanuddin Noorsy, dalam seminar nasional "Kupas tuntas sistem ekonomi neoliberalisme vs sistem ekonomi kerakyatan dan kebangsaan" yang dibuka Pembantu Rektor IV Unhas, Dwia Aries Tina NK atas nama Rektor Unhas dan dilaksanakan Forum Akademisi Perguruan Tinggi di Kampus Unhas Makassar, Kamis (28/5).
"Ekonomi neoliberalisme mengandalkan mekanisme pasar. Globalisasi tidak lebih dari pemusatan kebijakan dan penyebaran barang dan jasa," katanya.
Dalam sajian yang berlangsung sekitar satu jam lebih itu, Ichsanuddin Noorsy yang tampil bersama Prof Dr Halide dan Ir Muslimin mengatakan, ekonomi neoliberalisme menggambarkan pemerintah dan birokrasi tidak lebih dari pesuruh pemodal yang menempatkan sistem ekonomi dalam hubungan patron-client.
"Ekonomi liberalisme berbasis individual, mekanisme pasar dan pasar bebas," ujar Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM tersebut. Motivasi utama ekonomi liberalisme, katanya, adalah akumulasi modal.
Ia memberi contoh, di Indonesia dari sisi penyerapan tenaga kerja, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menyedot tenaga kerja sekitar 96,1%, sementara usaha besar hanya 3,9%. Namun, dari aspek penyerapan kredit, UMKM hanya memperoleh kucuran tidak lebih 20%, sementari porsi terbesar tersedot oleh usaha besar.
Prof Halide mengatakan, Indonesia sebenarnya hanya mengenal dua sistem ekonomi, yakni liberalisme/kapitalisme, dan sistem ekonomi komunisme dan sosialisme. "Dalam Tap MPRS yang berkaitan dengan demokrasi ekonomi ditekankan mengamankan dan melindungi demokrasi dengan berpegang teguh pada bukan liberalisme, bukan etatisme, dan bukan monopoli," kata Halide.
Kamis, 25 Juni 2009 |
14:55 WIB
Laporan wartawan KOMPAS
Nina Susilo
SURABAYA, KOMPAS.com —
Neoliberalisme sudah diterapkan di Indonesia sejak Orde Baru dan diikuti
komersialisasi di segala bidang kehidupan pada masa reformasi. Penerapan
mekanisme pasar di semua bidang ini hanya memberikan kebebasan kepada
masyarakat yang mampu membayar. Karenanya, neoliberalisme harus dilawan.
Hal ini terungkap dalam diskusi terbuka bertajuk "Indonesia dalam Kepungan Neoliberalisme" di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (24/6). Hadir sebagai pembicara diskusi ini, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Herry Priyono dan Sudaryanto dari Pergerakan Kebangsaan.
Herry menjelaskan, penerapan mekanisme pasar di semua bidang harus dilawan, tetapi mekanisme pasar dalam bidang ekonomi dengan dimensi sosial bisa diterima. Orientasinya adalah pada kesejahteraan masyarakat. Karenanya, perlu ada revitalisasi gagasan sosial dan pembuatan serta pelaksanaan kebijakan publik atas dasar visi "kontrak sosial" harus dikawal.
Neoliberalisme atau penerapan pasar bebas di segala bidang, menurut Herry, akan mengorbankan masyarakat dengan daya beli lemah termasuk anak dan perempuan. Kebebasan hanya bisa dinikmati bila bisa membelinya. Hal ini menimbulkan pergeseran, hubungan warga negara dan negara tidak lagi terkait hak, tetapi warga negara menjadi konsumen.
Secara antropologis, lanjut Herry, neoliberalisme mereduksi manusia menjadi hanya sebagai makhluk ekonomi. Padahal, sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk estetis, makhluk politis, makhluk kultural, dan makhluk religius yang seperti taman keragaman.
Akibat neoliberalisme, pendidikan bukan lagi menjadi hak asasi, tetapi masalah apakah seseorang bisa membelinya atau tidak. Hal ini tampak pada Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang disahkan tahun 2008.
Hal ini terungkap dalam diskusi terbuka bertajuk "Indonesia dalam Kepungan Neoliberalisme" di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (24/6). Hadir sebagai pembicara diskusi ini, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Herry Priyono dan Sudaryanto dari Pergerakan Kebangsaan.
Herry menjelaskan, penerapan mekanisme pasar di semua bidang harus dilawan, tetapi mekanisme pasar dalam bidang ekonomi dengan dimensi sosial bisa diterima. Orientasinya adalah pada kesejahteraan masyarakat. Karenanya, perlu ada revitalisasi gagasan sosial dan pembuatan serta pelaksanaan kebijakan publik atas dasar visi "kontrak sosial" harus dikawal.
Neoliberalisme atau penerapan pasar bebas di segala bidang, menurut Herry, akan mengorbankan masyarakat dengan daya beli lemah termasuk anak dan perempuan. Kebebasan hanya bisa dinikmati bila bisa membelinya. Hal ini menimbulkan pergeseran, hubungan warga negara dan negara tidak lagi terkait hak, tetapi warga negara menjadi konsumen.
Secara antropologis, lanjut Herry, neoliberalisme mereduksi manusia menjadi hanya sebagai makhluk ekonomi. Padahal, sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk estetis, makhluk politis, makhluk kultural, dan makhluk religius yang seperti taman keragaman.
Akibat neoliberalisme, pendidikan bukan lagi menjadi hak asasi, tetapi masalah apakah seseorang bisa membelinya atau tidak. Hal ini tampak pada Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang disahkan tahun 2008.
Sementara itu, menurut Sudaryanto yang mantan
anggota DPR RI, liberalisme sudah terjadi mulai Orde Baru dengan ekonomisasi
segala bidang kehidupan. Pada era reformasi, komersialisasi segala bidang
kehidupan dilanjutkan. Sebab, banyak tokoh-tokoh Orde Baru yang dengan mudah
melompat menjadi tokoh di era reformasi.
Untuk melawan neoliberalisme yang terjadi dan diputarbalikkan oleh para akademisi yang menjadi tim kampanye para calon presiden, menurut Herry, diperlukan penjernihan konsep neoliberalisme oleh intelektual sejati. Selanjutnya, diperlukan transformasi kultural secara kolosal dalam waktu lama sehingga terbentuk kebiasaan baru dengan dimensi sosial.
Untuk melawan neoliberalisme yang terjadi dan diputarbalikkan oleh para akademisi yang menjadi tim kampanye para calon presiden, menurut Herry, diperlukan penjernihan konsep neoliberalisme oleh intelektual sejati. Selanjutnya, diperlukan transformasi kultural secara kolosal dalam waktu lama sehingga terbentuk kebiasaan baru dengan dimensi sosial.
Analisis
Menurut pendapat
saya masalah yang diangkat pada bacaan diatas sesuai dengan teori liberalisme
karena dalam bacaan diatas menjelaskan bahwa perekonomian dibiarkan berjalan
secara bebas atau membiarkan pasar berjalan dengan sendirinya selain itu setiap
persoalan ekonomi yang ada dibiarkan terselesaikan dengan sendirinya atau
membiarkan mekanisme pasar menyelesaikan persoalan ekonomi yang ada. Paham neoliberalisme yang diungkapkan diatas
sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari paham liberalism klasik di
dalam paham neoliberalisme memuat beberapa pernyatan-pernyataan yang
diungkapkan dalam paham liberalisme klasik seperti membiarkan pasar berjalan
dengan sendirinya, setiap persoalan ekonomi yang ada diselesaikan oleh
mekanisme pasar tanpa ada kebijakan dari pemerintah, campur tangan pemerintah
hanya sebagai regulator saja.
Menurut saya konsep
neoliberalisme kurang tepat diterapkan dalam perekonomian Indonesia karena para
pelaku kegiatan ekonomi di Indonesia masih belum bisa mandiri dan terpaku pada
prosedur yang dibuat pemerintah sehingga apabila konsep neoliberalisme
diterapkan di Indonesia akan menimbulkan shock bagi para pelaku ekonomi karena
adanya pergeseran paradigma roda perekonomian. Konsep yang cocok untuk
diterapkan di Indonesia adalah konsep perekonomian yang dapat menjangkau
berbagai kalangan pelaku ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara bersama-sama bukan hanya tertuju pada kalangan tertentu akan
tetapi merata ke berbagai kalangan. Pemerintah harus bertindak aktif sebagai
pemicu /trigger suatu kegiatan perekonomian yang dapa t meningkatkan
kesejahteraan rakyat seperti menjalankan program KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang
dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Meningkatnya produktivitas
masyarakat akan meningkatkan produk domestic bruto, kenaikan PDB tentunya akan
meningkatkan pendapatan personal. Tingginya pendapatan personal akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
KASUS KEDUA
Industri
Besar Modern VS Industri Kecil Tradisional
Ichdinas Shirotol Mustaqim - detikNews
Sabtu, 10/12/2011 19:46 WIB
Jakarta - Seberapa besarkah manfaat yang
didapat oleh masyarakat industri kecil menengah dari terciptanya industri besar
modern di Indonesia?
Di jaman globalisasi seperti sekarang, industri besar dan modern merupakan pilar utama pada setiap sektor pembangunan. Industri dipercaya sebagai sebuah instrumen penting yang dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat dunia.
Dengan dalil itulah, istilah industri besar modern disegala bidang dan menyangkut kebutuhan masyarakat luas tercipta dan terus "dikembang-biakkan" keberadaannya. Hingga kian hari, ia terus merebak menjadi serupa prajurit tempur yang siap dan terus menggerus peran manusia.
Industri itu sendiri sebenarnya terbagi atas beberapa klasifikasi, diantaranya; industri kecil, menengah dan besar. Masing-masing keberadaannya pun tidak luput dari persaingan ketat. Dalam persaingannya itu akan dapat diperkirakan, siapa kira-kira yang akan menjadi pemenang. Industri besar modern tentunya. Produk industri beragam jenisnya. Ada yang murni buah karya pradaban modern, kontemporer dan tradisional.
Dengan keberadaan industri besar modern pada suatu kehidupan masyarakat, suka atau tidak, akan melahirkan sebuah pradaban baru. Maka konsekwensi logis yang harus diterima adalah; pradaban lama (tradisional) akan terkikis dan kemudian hilang digerus laju jaman. Begitulah sepertinya hukum alam berlaku.
Sebagian besar negara-negara maju di dunia, mengandalkan industri besar modern untuk kemajuan bangsanya. Jepang misalnya. Pada umumnya, produk industri yang mereka ciptakan berupa produk modern yang mengembangkan atau melahirkan kebudayaan baru pada kehidupan manusia, seperti; handphone, televisi, radio, komputer dan lain sebagainya.
Keberadaannya dan perkembangannya pun mampu menjadikan masyarakatnya mapan, baik ekonomi maupun intelektual. Sebab lembaga-lembaga kebudayaan seperti pendidikan mereka turut mendorong masyarakatnya untuk memiliki spirit mengembangkan atau menciptakan sebuah produk baru.
Dari situ, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari keberadaan industri besar dan modern pada sebuah negara, bukan saja hanya memenuhi kebutuhan manusia, atau memberikan keuntungan kepada penyelenggaranya, tetapi industri besar modern, juga harus mampu mendorong kemapanan kehidupan ekonomi dan intelektual pada masyarakatnya menjadi lebih baik.
Industri di Indonesia
Keberadaan industri di Indonesia, berbeda terbalik. Umumnya industri besar modern kita berbasis pradaban tradisional yang dimodernkan. Sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya (karya cipta, rasa, dan karsa manusia) tradisional sejak dulu, untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat kita telah banyak membangun industri kebudayaan di daerahnya (tradisional) masing-masing. Biasanya industri kecil menengah tradisional yang mampu menerobos pangsa pasar nasional, akan menjelma menjadi industri besar dan modern. Peluang mendapatkan keuntungan besar pun tercipta.
Biasanya fenomena seperti ini secara perlahan-lahan akan mengubah penyelenggaraan industrinya. Baik pemilik maupun teknologinya. Dari industri kecil menengah, menjadi industri besar modern yang diselenggarakan oleh para pemilik modal besar. Oleh sebab itu industri kecil menengah yang mampu menerobos pasar nasional sebenarnya adalah ’petaka’. Karena pada umumnya eksistensi mereka secara tidak langsung akan 'dirampas' oleh industri besar modern.
Ambil contoh pengrajin batik misalnya. Setelah industri ini mampu menembus pangsa pasar nasional dan UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia—tehnik pembuatan karya ini, kian hari kian terus dikembangkan (menjadi modern). Maka konsekwensinya yang harus dirasakan oleh penggiat batik tradisional, seperti batik tulis Gajah Oling di Banyuwangi adalah keberadaannya akan terus tergilas gulung tikar oleh batik painting (Detik Surabaya 16/10/2009).
Saat ini industri batik memang dominan masih dikuasai kelompok usaha kecil menengah. Tetapi, suatu saat nanti, tidak menutup kemungkinan industri ini akan dikuasai oleh pemilik modal besar dan menjadi industri besar modern yang akan mematikan keberlangsungan industri kecil menengah.
Atau contoh lain, seperti industri jamu dan obat-obatan tradisional yang disuarakan Ketua GP Jamu Indonesia Charles Saerang misalnya. Mereka dikabarkan merugi hingga 90% dari total pendapatan per-bulan yang nilainya mencapai Rp 100 miliar dan terancam bangkrut dengan keberadaan industri modern jamu berbahan kimia (Liputan6.com 16/05/2006).
Atau contoh lain seperti industri kecil rokok di Madiun dan Kediri yang gulung tikar dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penyebab tak lain, karena kalah bersaing pasar dengan industri besar.
Dan kondisi itu pun semakin diperparah menjelang diterapkannya kebijakan pemerintah yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 tahun 2008, yang salah satu isinya mewajibkan industri rokok kecil memiliki tempat usaha minimal 200 meter persegi (Kompas.com 29/11/2011).
Atau contoh kecil lain yang mungkin luput dari perhatian kita, seperti terasi misalnya. Sebuah produk kebudayaan yang jelas dan sejak dulu ada dan berkembang di kalangan masyarakat tradisional, kini keberadaannya terus digrogoti oleh industri besar modern terasi pabrikan. Sebut saja Markhamah seorang pemilik usaha industri kecil menengah terasi di Desa Ngaglik, Kecamatan Palang, Jawa Timur.
Ia mengaku, tak sebatang pun terasi produknya terkirim sebulan ini. Kondisi itu disebabkan oleh kondisi pasar yang makin tidak berpihak dan membanjirnya produk terasi pabrikan di pasaran (Kotatuban.com 17/08/2011). Belum lagi hantaman isu higienis yang kerapkali muncul dan dipropagandakan televisi atau media-media lain, pada industri tradisional. Masalah klasik seperti minimnya modal dan pengetahuan masyarakat, akhirnya menyebabkan mereka menyerah dan kalah pada jaman.
Semua itu hanyalah sedikit dari contoh kecil "perampasan-perampasan" industri kecil menengah kebudayaan tradisional masyarakat kecil menengah oleh pemilik modal besar di negeri kita. Naif memang. Tetapi begitulah realitas keberadaan industri kecil menengah yang mampu menembus pasar nasional di negeri kita. Industri kecil dan menengah karya masyarakat tradisional Indonesia, yang sejak dulu merupakan pendapatan ekonomi masyarakat kecil menengah, satu-persatu akan terus berubah menjadi industri besar dan modern, dan menjadi mesin pencetak uang pemilik modal besar!
Ancaman
Keadaan itu jelas ancaman bagi masyarakat kelas menengah kebawah, yang notabene sejak dulu menciptakan, merintis dan membangun industri kecil menengah tradisional. Keberadaan industri besar modern memang melahirkan pradaban baru. Tetapi di negeri kita, umumnya tak lebih hanya kepanjangan dari industri modern asing. Ada beberapa memang, diantaranya industri modern alutista, alat pertanian dan beberapa lagi.
Tetapi selebihnya adalah ekplorasi budaya tradisional yang pemilik modal besar 'rampas' dari industri kecil dan menengah menjadi industri besar modern. Hingga akhirnya masyarakat kecil menengah kita akan semakin jauh dari kesan "mapan" seperti di negara-negara maju. Semakin langkanya, terasi, jamu tradisional dan batik tulis, di tengah-tengah keseharian kita adalah bukti nyata!
Hari ini, mungkin para pemilik dan karyawan industri-industri kecil menengah tradisional itu sudah benar-benar telah gulung tikar. Dan imbas paling menakutkan dari semua ini; adalah bangsa kita menjadi bangsa buruh.
Minimnya produktifitas kretifitas anak negeri karena banyak yang beralih profesi sebagai buruh pabrik, tukang ojek motor atau kuli bangunan. Jaman Industri besar modern di negeri kita tidak mampu mendorong terciptanya kemapanan ekonomi dan intelektual masyarakat. Lembaga kebudayaan (pendidikan) kita juga seperti tidak sanggup memberikan inpirasi dan spirit untuk menciptakan karya.
Akan tetapi satu-satunya ilmu yang diajarkan oleh sistem pendidikan kita adalah: lulus ujian nasional dan dapat ijazah! Pakar pendidikan, Prof. Winarno Surakhmad, menyimpulkan, pendidikan nasional kita hanya menggiring bangsa Indonesia pada "tragedi nasional" (Kompas 19/11/2011)
Belum lagi, pemberlakuan ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) sejak 1 Januari 2010 lalu, menjadi sosok hantu bagi keberlangsungan hidup industri kecil, menengah tradisional kita. Entah berapa banyak lagi mereka yang gulung tikar sekarang. Entahlah.
Sejak dulu jaman memang selalu memperkenalkan kita kepada persaingan, keserakahan dan pertarungan. Hingga "menang dan kalah" merupakan kejadian biasa. Terlebih lagi, itu kekalahan bagi rakyat kecil. Meskipun bagi mereka, batik, jamu dan terasi bukan saja sekedar kehidupan perut bagi keluarga, melainkan nafas dari keberlangsungan hidup sebuah negeri!
Di jaman globalisasi seperti sekarang, industri besar dan modern merupakan pilar utama pada setiap sektor pembangunan. Industri dipercaya sebagai sebuah instrumen penting yang dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat dunia.
Dengan dalil itulah, istilah industri besar modern disegala bidang dan menyangkut kebutuhan masyarakat luas tercipta dan terus "dikembang-biakkan" keberadaannya. Hingga kian hari, ia terus merebak menjadi serupa prajurit tempur yang siap dan terus menggerus peran manusia.
Industri itu sendiri sebenarnya terbagi atas beberapa klasifikasi, diantaranya; industri kecil, menengah dan besar. Masing-masing keberadaannya pun tidak luput dari persaingan ketat. Dalam persaingannya itu akan dapat diperkirakan, siapa kira-kira yang akan menjadi pemenang. Industri besar modern tentunya. Produk industri beragam jenisnya. Ada yang murni buah karya pradaban modern, kontemporer dan tradisional.
Dengan keberadaan industri besar modern pada suatu kehidupan masyarakat, suka atau tidak, akan melahirkan sebuah pradaban baru. Maka konsekwensi logis yang harus diterima adalah; pradaban lama (tradisional) akan terkikis dan kemudian hilang digerus laju jaman. Begitulah sepertinya hukum alam berlaku.
Sebagian besar negara-negara maju di dunia, mengandalkan industri besar modern untuk kemajuan bangsanya. Jepang misalnya. Pada umumnya, produk industri yang mereka ciptakan berupa produk modern yang mengembangkan atau melahirkan kebudayaan baru pada kehidupan manusia, seperti; handphone, televisi, radio, komputer dan lain sebagainya.
Keberadaannya dan perkembangannya pun mampu menjadikan masyarakatnya mapan, baik ekonomi maupun intelektual. Sebab lembaga-lembaga kebudayaan seperti pendidikan mereka turut mendorong masyarakatnya untuk memiliki spirit mengembangkan atau menciptakan sebuah produk baru.
Dari situ, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari keberadaan industri besar dan modern pada sebuah negara, bukan saja hanya memenuhi kebutuhan manusia, atau memberikan keuntungan kepada penyelenggaranya, tetapi industri besar modern, juga harus mampu mendorong kemapanan kehidupan ekonomi dan intelektual pada masyarakatnya menjadi lebih baik.
Industri di Indonesia
Keberadaan industri di Indonesia, berbeda terbalik. Umumnya industri besar modern kita berbasis pradaban tradisional yang dimodernkan. Sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya (karya cipta, rasa, dan karsa manusia) tradisional sejak dulu, untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat kita telah banyak membangun industri kebudayaan di daerahnya (tradisional) masing-masing. Biasanya industri kecil menengah tradisional yang mampu menerobos pangsa pasar nasional, akan menjelma menjadi industri besar dan modern. Peluang mendapatkan keuntungan besar pun tercipta.
Biasanya fenomena seperti ini secara perlahan-lahan akan mengubah penyelenggaraan industrinya. Baik pemilik maupun teknologinya. Dari industri kecil menengah, menjadi industri besar modern yang diselenggarakan oleh para pemilik modal besar. Oleh sebab itu industri kecil menengah yang mampu menerobos pasar nasional sebenarnya adalah ’petaka’. Karena pada umumnya eksistensi mereka secara tidak langsung akan 'dirampas' oleh industri besar modern.
Ambil contoh pengrajin batik misalnya. Setelah industri ini mampu menembus pangsa pasar nasional dan UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia—tehnik pembuatan karya ini, kian hari kian terus dikembangkan (menjadi modern). Maka konsekwensinya yang harus dirasakan oleh penggiat batik tradisional, seperti batik tulis Gajah Oling di Banyuwangi adalah keberadaannya akan terus tergilas gulung tikar oleh batik painting (Detik Surabaya 16/10/2009).
Saat ini industri batik memang dominan masih dikuasai kelompok usaha kecil menengah. Tetapi, suatu saat nanti, tidak menutup kemungkinan industri ini akan dikuasai oleh pemilik modal besar dan menjadi industri besar modern yang akan mematikan keberlangsungan industri kecil menengah.
Atau contoh lain, seperti industri jamu dan obat-obatan tradisional yang disuarakan Ketua GP Jamu Indonesia Charles Saerang misalnya. Mereka dikabarkan merugi hingga 90% dari total pendapatan per-bulan yang nilainya mencapai Rp 100 miliar dan terancam bangkrut dengan keberadaan industri modern jamu berbahan kimia (Liputan6.com 16/05/2006).
Atau contoh lain seperti industri kecil rokok di Madiun dan Kediri yang gulung tikar dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penyebab tak lain, karena kalah bersaing pasar dengan industri besar.
Dan kondisi itu pun semakin diperparah menjelang diterapkannya kebijakan pemerintah yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 tahun 2008, yang salah satu isinya mewajibkan industri rokok kecil memiliki tempat usaha minimal 200 meter persegi (Kompas.com 29/11/2011).
Atau contoh kecil lain yang mungkin luput dari perhatian kita, seperti terasi misalnya. Sebuah produk kebudayaan yang jelas dan sejak dulu ada dan berkembang di kalangan masyarakat tradisional, kini keberadaannya terus digrogoti oleh industri besar modern terasi pabrikan. Sebut saja Markhamah seorang pemilik usaha industri kecil menengah terasi di Desa Ngaglik, Kecamatan Palang, Jawa Timur.
Ia mengaku, tak sebatang pun terasi produknya terkirim sebulan ini. Kondisi itu disebabkan oleh kondisi pasar yang makin tidak berpihak dan membanjirnya produk terasi pabrikan di pasaran (Kotatuban.com 17/08/2011). Belum lagi hantaman isu higienis yang kerapkali muncul dan dipropagandakan televisi atau media-media lain, pada industri tradisional. Masalah klasik seperti minimnya modal dan pengetahuan masyarakat, akhirnya menyebabkan mereka menyerah dan kalah pada jaman.
Semua itu hanyalah sedikit dari contoh kecil "perampasan-perampasan" industri kecil menengah kebudayaan tradisional masyarakat kecil menengah oleh pemilik modal besar di negeri kita. Naif memang. Tetapi begitulah realitas keberadaan industri kecil menengah yang mampu menembus pasar nasional di negeri kita. Industri kecil dan menengah karya masyarakat tradisional Indonesia, yang sejak dulu merupakan pendapatan ekonomi masyarakat kecil menengah, satu-persatu akan terus berubah menjadi industri besar dan modern, dan menjadi mesin pencetak uang pemilik modal besar!
Ancaman
Keadaan itu jelas ancaman bagi masyarakat kelas menengah kebawah, yang notabene sejak dulu menciptakan, merintis dan membangun industri kecil menengah tradisional. Keberadaan industri besar modern memang melahirkan pradaban baru. Tetapi di negeri kita, umumnya tak lebih hanya kepanjangan dari industri modern asing. Ada beberapa memang, diantaranya industri modern alutista, alat pertanian dan beberapa lagi.
Tetapi selebihnya adalah ekplorasi budaya tradisional yang pemilik modal besar 'rampas' dari industri kecil dan menengah menjadi industri besar modern. Hingga akhirnya masyarakat kecil menengah kita akan semakin jauh dari kesan "mapan" seperti di negara-negara maju. Semakin langkanya, terasi, jamu tradisional dan batik tulis, di tengah-tengah keseharian kita adalah bukti nyata!
Hari ini, mungkin para pemilik dan karyawan industri-industri kecil menengah tradisional itu sudah benar-benar telah gulung tikar. Dan imbas paling menakutkan dari semua ini; adalah bangsa kita menjadi bangsa buruh.
Minimnya produktifitas kretifitas anak negeri karena banyak yang beralih profesi sebagai buruh pabrik, tukang ojek motor atau kuli bangunan. Jaman Industri besar modern di negeri kita tidak mampu mendorong terciptanya kemapanan ekonomi dan intelektual masyarakat. Lembaga kebudayaan (pendidikan) kita juga seperti tidak sanggup memberikan inpirasi dan spirit untuk menciptakan karya.
Akan tetapi satu-satunya ilmu yang diajarkan oleh sistem pendidikan kita adalah: lulus ujian nasional dan dapat ijazah! Pakar pendidikan, Prof. Winarno Surakhmad, menyimpulkan, pendidikan nasional kita hanya menggiring bangsa Indonesia pada "tragedi nasional" (Kompas 19/11/2011)
Belum lagi, pemberlakuan ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) sejak 1 Januari 2010 lalu, menjadi sosok hantu bagi keberlangsungan hidup industri kecil, menengah tradisional kita. Entah berapa banyak lagi mereka yang gulung tikar sekarang. Entahlah.
Sejak dulu jaman memang selalu memperkenalkan kita kepada persaingan, keserakahan dan pertarungan. Hingga "menang dan kalah" merupakan kejadian biasa. Terlebih lagi, itu kekalahan bagi rakyat kecil. Meskipun bagi mereka, batik, jamu dan terasi bukan saja sekedar kehidupan perut bagi keluarga, melainkan nafas dari keberlangsungan hidup sebuah negeri!
Indonesia Siap Hadapi Ekonomi Global
Tim Liputan 6 SCTV
12/06/2011 17:23
Liputan6.com, Jakarta: Pertemuan
tahunan World Economic Forum (WEF) ke-20 berlangsung di Jakarta pada Ahad
(12/6) hingga besok. Dalam forum ekonomi ini, pemerintah dan sejumlah pimpinan
tertinggi grup usaha dunia sepakat untuk menindaklanjuti investasi bidang
ekonomi seperti pangan serta energi.
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa dalam forum-forum terbatas WEF, para akademis hingga pimpinan CEO grup usaha dunia kini tengah mempelajari peluang dan kesempatan berinvestasi di Indonesia. Sementara kalangan akademisi menilai ajang pertemuan ini makin mendudukan posisi Indonesia di mata dunia.
Dalam pertemuan World Economic Forum kali ini dihadiri tidak kurang 600 peserta yang terdiri dari pimpinan kalangan dunia usaha hingga pimpinan negara. Pemerintah Indonesia dan sejumlah CEO grup perusahaan dunia mencatat sudah ada 14 perusahaan global yang siap berinvestasi bidang pangan dan energi.(JUM)
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa dalam forum-forum terbatas WEF, para akademis hingga pimpinan CEO grup usaha dunia kini tengah mempelajari peluang dan kesempatan berinvestasi di Indonesia. Sementara kalangan akademisi menilai ajang pertemuan ini makin mendudukan posisi Indonesia di mata dunia.
Dalam pertemuan World Economic Forum kali ini dihadiri tidak kurang 600 peserta yang terdiri dari pimpinan kalangan dunia usaha hingga pimpinan negara. Pemerintah Indonesia dan sejumlah CEO grup perusahaan dunia mencatat sudah ada 14 perusahaan global yang siap berinvestasi bidang pangan dan energi.(JUM)
SBY: Asia Harus Jadi Pusat Globalisasi Baru
Valerina Daniel
12/06/2011 15:06
Liputan6.com, Jakarta: World
Economic Forum (WEF) yang diselenggarakan mulai Ahad (12/6) ini telah membahas
berbagai isu terkait dengan tantangan Asia di bidang ekonomi, lingkungan hidup,
pangan dan ketahanan dari segi energi.
Selanjutnya akan dibahas pula mengenai peran pentingnya sosial media dan teknologi informasi dalam rangka meningkatkan Asia sebagai satu kekuatan ekonomi baru di dunia.
Dalam acara pembukaan yang dihadiri Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato. Di sana, SBY mengatakan, globalisasi harus inklusif bukan eksklusif, harus pragmatis bukan dogmatis, harus bersatu daripada terbagi, globalisasi harus diarahkan untuk mengatasi tantangan global yang bersifat umum daripada diarahkan pada kelompok negara tertentu.
Menurut SBY, "Asia harus berada di pusat globalisasi baru. Karena Asia saat ini berbeda dengan Asia beberapa dekade atau beberapa abad yang lalu. Modernisasi, pembangunan, demokrasi, keterbukaan masyarakat, konektivitas, ini semua secara dramatis mengubah wajah Asia."
Asia tidak hanya membutuhkan ide tetapi juga konsensus untuk menyambut era global baru yang tanpa nama, sementara masih ada ketegangan dan tarik ulur antara dunia lama dan baru. Hal ini dianggap sebagai sebuah transisi dan ini normal, lanjut SBY.(ARE/YUS)
Selanjutnya akan dibahas pula mengenai peran pentingnya sosial media dan teknologi informasi dalam rangka meningkatkan Asia sebagai satu kekuatan ekonomi baru di dunia.
Dalam acara pembukaan yang dihadiri Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato. Di sana, SBY mengatakan, globalisasi harus inklusif bukan eksklusif, harus pragmatis bukan dogmatis, harus bersatu daripada terbagi, globalisasi harus diarahkan untuk mengatasi tantangan global yang bersifat umum daripada diarahkan pada kelompok negara tertentu.
Menurut SBY, "Asia harus berada di pusat globalisasi baru. Karena Asia saat ini berbeda dengan Asia beberapa dekade atau beberapa abad yang lalu. Modernisasi, pembangunan, demokrasi, keterbukaan masyarakat, konektivitas, ini semua secara dramatis mengubah wajah Asia."
Asia tidak hanya membutuhkan ide tetapi juga konsensus untuk menyambut era global baru yang tanpa nama, sementara masih ada ketegangan dan tarik ulur antara dunia lama dan baru. Hal ini dianggap sebagai sebuah transisi dan ini normal, lanjut SBY.(ARE/YUS)
Analisis
Masalah
diatas membahas tentang globalisasi, globalisasi sendiri adalah fenomena
meluasnya dan meningkatnya hubungan ekonomi, social, dan budaya yang melewati
batas-batas internasional.
Menurut
saya, Indonesia memang harus terjun dalam globalisasi karena jika tidak
mengikuti arus globalisasi yang ada, akan membuat Indonesia semakin
terbelakang. Akan tetapi dalam terjun ke arena global Indonesia harus mempunyai
suatu temeng dan persiapan yang matang agar mampu bersaing dalam dunia intrenasional.
Hal yang perlu dipersiapkan matang-matang adalah sumber daya manusia yang
berkualitas. Hal ini dikarenakan peran sdm sangat penting dalam menunjang
kesuksesan suatu negara di dunia internasional. Jika sdm kita kurang
berkompeten tentu saja akan mengalami kesulitan dalam bersaing dengan
negara-negara lain.
0 komentar:
Posting Komentar